Jangan Sampai Jokowi Keluarkan Perppu KPK Hanya karena Desakan

Sabtu, 28 September 2019 – 23:38 WIB
Demo mahasiswa dari berbagai universitas di depan kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/9). Aksi mahasiswa itu menolak UU KPK dan pengesahan RUU KUHP. Foto : Ricardo

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat politik Sulthan Muhammad Yus mengharapkan Presiden Joko Widodo tidak mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) KPK hanya karena desakan sejumlah pihak.

Menurut Sulthan, apabila hal itu terjadi maka akan menjadi preseden buruk bagi negara ini.

BACA JUGA: Pak Jokowi, Please Jangan Bikin Preseden Buruk Lewat Perppu KPK

Sulthan mengatakan, adanya usulan dan desakan agar presiden mengeluarkan Perppu terhadap revisi UU KPK sangat salah kaprah.

Dia menilai perppu menurut konstitusi murni kewenangan legislasi yang dimiliki presiden tanpa melibatkan DPR dan pihak manapun. Tetapi tidak serta-merta presiden bisa mengeluarkan Perppu secara serampangan.

BACA JUGA: Sikap Terbaru Jokowi Terkait Desakan Penerbitan Perppu KPK

"Ada kriteria agar Perppu bisa dikeluarkan, yaitu Perppu bisa dilakukan jika dalam keadaan darurat serta adanya kegentingan yang memaksa, terjadi kekosongan hukum, dan atau ada undang-undang tapi tidak cukup untuk mengatur kondisi yang sedang berjalan," kata Sulthan dalam keterangan yang diterima, Sabtu (28/9).

Direktur Politik Hukum Wain Advisory Indonesia ini melanjutkan, bernegara itu ada ketentuannya, ada sistemnya.

BACA JUGA: Jokowi Pengin Pelantikannya Dipercepat, Begini Respons KPU

Tidak bisa karena ada gejolak, lantas itu diasumsikan sebagai kegentingan yang memaksa sehingga perppu bisa dikeluarkan begitu saja. Alasan subjektivitas presiden juga harus kuat dan memenuhi kriteria tersebut.

"Oleh karena itu, saya tidak melihat keharusan sama sekali bagi presiden untuk mengeluarkan Perppu. Konstitusi kita telah mengatatur tentang mekanisme jika sebuah regulasi dianggap bermasalah. Ada legislatif review, ada eksekutif review juga ada judicial review," kata dia.

Sementara itu, lanjut Sulthan, UU KPK yang baru dilahirkan belum ada nomornya dan belum masuk dalam lembaran negara.

Seharusnya semua pihak menunggu dahulu terbit, baru kemudian memberikan pertentangan lewat jalur yang diatur konstitusi.

"Beginilah idealnya cara kita dalam bernegara. Negara tidak boleh terjebak pada penggiringan opini bahwa UU KPK adalah bentuk pelemahan, dicoba dahulu KPK berjalan dengan UU baru, lalu disimpulkan. Tolong jangan suuzan berlebihan," jelas dia.

Dia mengatakan, pemaksaan pengeluaran perppu karena desakan bisa jadi preseden buruk ke depan. Dia juga menganggap selama ini KPK dalam menangani perkara selalu mengatakan jika berkeberatan jangan bermain dengan opini.

Ada jalur hukum yang bisa ditempuh. Misalnya praperadilan, lalu jika merasa tidak bersalah silahkan buktikan di persidangan.

"Nah, ini di soal revisi UU KPK kok standar ganda. Pakai logika yang sama dong, tempur saja jalur konstitusional yang tersedia. Dan bagi saya, perppu bukan salah satu dari jalur yang tersedia tersebut dalam masalah revisi UU KPK ini," jelas dia.

Di samping itu, Sulthan juga mengingatkan gelombang demonstrasi yang terjadi belakangan ini tidak bisa digeneralisasi pada soal penolakan UU KPK semata.

Lebih dari itu gerakan ini bentuk akumulasi kekecewaan kolektif pada cara-cara menyelenggarakan kekuasaan.

"Dan akhir-akhir ini justru aksi tersebut mulai berubah dari substansi menjadi solidarity karena sikap represif dalam penanganan masa aksi. Saya mendorong presiden agar jernih dalam melihat permasalahan," tutup dia. (tan/jpnn)


Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler