Jangan Sampai Omnibus Law Dibahas Pakai Jurus SKS

Rabu, 08 April 2020 – 23:24 WIB
Anggota MPR Fraksi Gerindra Elnino M. Husein Mohi saat pengarahan pada acara Sosialisasi Empat Pilar MPR di Gorontalo, Sabtu malam (1/12/2018). Foto: Humas MPR RI

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR Elnino M Husein Mohi mengatakan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law adalah jenis RUU yang bersifat menyederhanakan regulasi dengan cara merevisi dan mencabut banyak undang-undang sekaligus.

"Sederhananya, RUU sapu jagat. For everything! Hanya 174 pasal memang, tetapi secara subtansi RUU ini memuat perubahan, penghapusan dan pembatalan atas 79 undang-undang yang terkait dengan pembangunan dan investasi," ujar Elnino dalam pesan tertulisnya, Rabu (8/4).

BACA JUGA: Pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja Jalan Terus

Menurut anggota Fraksi Partai Gerindra ini, RUU Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja yang diajukan pemerintah, mencakup banyak isu penting dan strategis yang perlu dikaji betul. Misal, lingkungan hidup, otonomi daerah, ketenagakerjaan, penyederhanaan prosedur investasi, dan banyak hal lain.

"Meski tujuannya fokus untuk merampingkan regulasi bagi penciptaan kerja, tetapi jangan sampai short-cut-nya salah. Alih-alih menyederhanakan, ruu ini malah bikin ribet. Dimaksudkan untuk menghapus over-lapping dan over-regulated, malah justru sebaliknya," kata Elnino.

BACA JUGA: Pandemi Corona, Arief Poyuono Sarankan Luhut dan Said Didu Berdamai dan Batalkan Omnibus Law

Menurutnya, dalam RUU Cipta Kerja tercatat mensyaratkan 500-an aturan turunan (peraturan pemerintah) yang justru berpotensi melahirkan regulasi yang sangat banyak. Karena itu, harus dikaji secara mendalam. Jangan sampai mengabaikan perlidungan terhadap tenaga kerja, prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, dan kepemilikan negara terhadap cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup rakyat banyak.

Selain itu juga, jangan sampai mengabaikan kepemilikan negara terhadap bumi, dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

BACA JUGA: Seharusnya DPR Fokus Penanganan Pandemi Covid-19, Bukan Bahas Omnibus Law

"Untuk itu, pembahasan RUU Cipta Kerja ini tak boleh dilakukan lewat sistem kebut semalam (SKS), hanya 3 ,4, 5 bulan. Kalau harus lima tahun, why not," katanya.

Elnino menegaskan, pembahasan harus dilakukan lewat kajian yang komprehensif, melibatkan partisipasi yang menyangkut kepentingan masyarakat luas, dan memenuhi seluruh aspek formal pembentukan undang-undang yang telah diatur UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan perubahannya.

"Memang tak ada undang-undang yang sempurna. Namun, tugas konstitusional kita memperhatikan semua hal secara menyeluruh dalam hal melakukan penyempurnaan untuk sebesar-besarnya memenangkan kepentingan nasional, kepentingan rakyat banyak. Penyempurnaan aspek investasi, jangan malah mengorbankan aspek yang lain," katanya.

Elnino mengaku pernah terlibat dalam perancangan Draft RUU Penyiaran, dari awal 2015 hingga september 2019. Hanya sekitar 160 pasal sederhana, tetapi gagal diundangkan, bahkan gagal menjadi RUU, sehingga masa jabatan DPR saat itu berakhir.

"Kenapa bisa lama begitu? Karena proses akademiknya lama, melibatkan banyak orang. Proses politiknya juga lama, karena melibatkan banyak fraksi di DPR yang berbeda perspektif satu dengan yang lain. Padahal, saat itu semua orang sepakat agar UU Penyiaran 2002 harus segera diganti dengan undang-undang baru, karena perkembangan teknologi informasi dan penyiaran," tuturnya.

Lebih lanjut Elnino mengatakan, kondisi saat ini, dimana dilakukan penerapan work from home, juga akan menghambat jalannya perdebatan dan diskusi untuk penyempurnaan RUU.

"Kalau ingin undang-undang ini benar-benar pro rakyat, pro negara, dan pro masa depan bangsa, maka butuh waktu yang cukup untuk DPR membahasnya secara akademik dan secara politik," pungkas Elnino. (gir/jpnn)


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler