Jangan Terulang Kutukan 1000 Eksemplar

Minggu, 24 April 2016 – 04:20 WIB

jpnn.com - Yogyakarta – Dalam dunia penerbitan buku dikenal sebuah kutukan. Yaitu kutukan 1000 eksemplar. Hal ini menggambarkan bagaimana susahnya menjual sebuah buku lebih dari 1000 buah.

Ada banyak sebab. Selain harga kertas, pajak, sampai minat baca, mempengaruhi penjualan buku.

BACA JUGA: Tanam Pohon, Tanda Tangan Kesepakatan Paris

“Jangan sampai Kutukan ini terjadi terus-menerus. Misalnya bisa tidak masing-masing kabupaten kota memiliki toko buku. Sedikit sekali kabupaten memiliki toko buku. Bahkan kota yang lumayan besar. Kalau pun ada hanya toko buku pelajaran. Di kota Kediri yang lumayan besar saja, belum ada Gramedia. Padahal toko-toko ini bisa menjadi inisiasi awal. Dengan adanya toko buku, buku dapat terdistribusi lebih luas” usul Muhidin Dahlan, seorang pengelola Radiobuku di Yogyakarta.

Hal ini disampaikan Muhidin dihadapan 6 orang Anggota Komite III DPD RI yang mengadakan dengar pendapat tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Perbukuan di Kantor DPD RI Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, di Jalan Kusumanegara, Yogyakarta (22/4). Rapat Dengar Pendapat ini menghadirkan Ikatan Penerbit Indonesia DIY, Penerbit Buku, Penulis Buku dan tokoh masyarakat. Dan anggota DPD yang hadir adalah : Fahira Idris (DKI), Hj. Daryati Uteng (Jambi), KH. Muslihuddin Abdurrasyid (Kaltim), KH. Muhammad Syibli Sahabuddin (Sulbar) dan Hj. Suriati Armaiyn (Malut) dan Baiq Diyah Ratu Ganefi (NTB).

BACA JUGA: Ini Kabar Gembira dari Zulkifli untuk Para Pekerja Seni

Lebih lanjut, Muhidin memaparkan beberapa permasalahan yang dihadapi dalam perbukuan adalah bagi penulis. Kalau ada penulis yang berhasil go internasional semata-mata adalah karena usaha pribadi penulis sendiri. Tak ada peran pemerintah.

“Bayangkan penulis sudah membuat buku, kemudian mengurusin hal lainnya. Bisa tidak misalnya, Dewan Perbukuan yang nanti dibentuk dengan adanya UU Perbukuan ini, setiap tahunnya memilih 100 buku terbaik dari penulis Indonesia. Kemudian diterjemahkan, dan dibagikan ke semua kedutaan besar. Pemerintah menjadikan buku menjadi cenderamata untuk diberikan kepada negara-negara lain. Jadi ada peranan untuk membantu penulis dan penerbit dalam memasarkan buku,” kata Muhidin.

BACA JUGA: Tutup Pertemuan ICAPP, Megawati Serukan Solidaritas Tanpa Batas

Adapun Fahira Idris yang memimpin jalannya diskusi dan dengar pendapat mengatakan bahwa Pemerintah saat ini memberikan keringanan pajak untuk bisnis pertunjukan. Tidak ada lagi PPN bagi pertunjukan musik. Tidak ada lagi PPN untuk pertandingan sepak bola, karaoke, dan sebagainya. Tetapi kenapa tidak ada penghapusan pajak dalam penerbitan buku.

“Harusnya teman-teman (Ikapi, penulis dan penerbit) marah. Kita harus menanyakan bagaimana perhatian pemerintah terhadap buku. Bagaimana peran pemerintah terhadap minat baca. Karena saya melihat pemerintah kita belum memperlakukan buku  sebagai sebuah industri. Saya kagum sama Asma Nadia dan hely tiana misalnya yang memiliki 1500 perpustakaan. Kan bisa pemerintah membeli banyak buku kemudian distribusikan ke daerah-daerah,” kata Senator Jakarta ini.

Herlina P. Dewi dari Penerbit Stletto Book berpendapat bahwa sebaiknya kita juga memupuk minat baca dari kecil untuk anak-anak kita. Kenapa misalnya sekolah-sekolah dasar dan smp yang mengadakan mini tour tidak ke perpustakaan daerah atau toko buku? Sehingga perpustakaan bisa hidup, kemampuan dan minat baca meningkat.

“Kita harus mendekatkan buku dengan masyarakat. Dulu 2009 saya mencetak buku 3000 eksemplar itu, bisa cetak ulang 2 sampai 3 kali. Sekarang, buku yang baru kita kirim ke gramedia, sudah dikirim lagi ke kita (return) karena gak laku,” kata Herlina.(fri/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Di ICAPP, Cak Imin Bicara Demokrasi Indonesia Pasca-Orba


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler