jpnn.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Institute for Security and Strategic Studies (ISSES) Khairul Fahmi mengatakan, proses hukum kasus dugaan korupsi pembelian Helikopter Agusta Westland (AW) 101 terlalu dilokalisasi.
Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI, menurut Fahmi, seharusnya memeriksa dan mendalami pihak yang diduga terlibat dari instansi lain selain Angkatan Udara (AU).
BACA JUGA: PP Manajemen PNS Cegah Serbuan TNI dan Polri
"Anehnya, konstruksi kasus ini diarahkan insubordinasi sebagai bentuk ketidaktaataan pada perintah pimpinan karena tetap melanjutkan pengadaan helikopter meskipun presiden telah meminta dihentikan," kata Fahmi dalam rilis yang diterima redaksi, Jumat (19/8).
Padahal, Fahmi menilai, hampir tidak mungkin seorang tentara, apalagi perwira, berani mempertaruhkan karier dengan membantah atau bertindak di luar perintah atasan.
BACA JUGA: CATAT! Tak Ada Lagi Alih Status TNI dan Polri ke Sipil
"Kecuali mungkin ada kongkalikong atau jaminan tertentu dari pihak yang jauh lebih berkuasa," ujarnya.
Artinya, kata Fahmi melanjutkan, TNI AU selaku pelaksana teknis dari suatu kebijakan tidak akan mudah memerintahkan pengadaan helikopter tanpa persetujuan atau arahan pembuat kebijakan, dalam hal ini jabatan yang lebih tinggi.
BACA JUGA: TNI Harus Jadi Perekat Kemajemukan Bangsa
"Tidak fair kalau kesalahan dilimpahkan hanya kepada TNI AU," ungkap Fahmi memberi penilaian.
Fahmi curiga, proses hukum dari kasus yang telah memunculkan sejumlah tersangka ini seperti ingin menyembunyikan keterlibatan pihak lain.
"Pihak yang memerintahkan tampaknya hendak cuci tangan, dan yang mestinya menjalankan fungsi pengendalian dan pembinaan juga mwmbiarkan persoalan ini terjadi sejak awal," kata Fahmi.
Beberapa waktu lalu, Pusat Polisi Militer kembali menetapkan seorang tersangka dalam kasus pembelian Helikopter AW 101, yakni Marsekal Muda TNI SB yang pernah menjabat Asisten Perencana Kepala Staf Angkatan Udara.
Sebelumnya, POM TNI juga menetapkan empat perwira sebagai tersangka, yakni Kepala Unit Layanan Pengadaan (ULP) TNI AU Kolonel Kal FTS SE, Marsma TNI FA, Letkol Adm TNI WW, serta Pembantu Letnan Dua (Pelda) SS.
Namun, menurut kuasa hukum salah satu tersangka, Santrawan Paparang, penetapan tersangka terlalu terburu-buru imbas belum adanya audit kerugian negara dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Belum pantas ini masuk dalam kasus tindak pidana korupsi. Kasus tipikor itu haris ada hitungan kerugian negara dari BPK," katanya. (san/rmol)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kerugian Negara Pembelian Helikopter AW Tidak Jelas
Redaktur & Reporter : Adil