jpnn.com, JAKARTA - Putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan yang membebaskan terdakwa penembakan anggota FPI, dinilai janggal.
Menurut Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur, majelis hakim seharusya mempertimbangkan temuan-temuan Komnas HAM.
BACA JUGA: 2 Polisi Penembak Laskar FPI Divonis Bebas, Habiburokhman Terkejut, Lalu Berkomentar Begini
Dia menilai putusan hakim cukup banyak bertumpu pada kesaksian dua polisi yang menjadi terdakwa penembakan, sehingga vonisnya dinilai janggal.
“Hakim seharusnya out of the box (kreatif atau keluar dari kebiasaan-kebiasaan)."
BACA JUGA: 2 Polisi Penembak Laskar FPI Divonis Bebas, PA 212: Silakan Berpesta, tetapi Tungguâ¦
"Dia seharusnya punya pertimbangan untuk menggunakan pertimbangan-pertimbangan lain. Misalnya, Komnas HAM,” ujar Isnur saat dihubungi di Jakarta, Jumat (18/3).
Isnur kemudian mendorong jaksa untuk menindaklanjuti putusan majelis hakim PN Jakarta Selatan tersebut.
“Kami melihat ada yang janggal di proses ini, tentu ini perlu dicek lagi oleh jaksa, sejauh mana jaksa melakukan penuntutan di ruang sidang."
"Kami mempertanyakan proses putusan ini,” kata Isnur.
Dia menilai putusan majelis hakim dapat menjadi preseden yang tidak baik untuk penegakan hukum ke depannya.
Pasalnya, keterangan terdakwa menjadi salah satu rujukan utama majelis hakim dalam membuat putusan.
Majelis hakim PN Jakarta Selatan memutuskan dua polisi terdakwa penembakan empat anggota FPI, yaitu Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda Mohammad Yusmin Ohorella lepas dari sanksi pidana, meski keduanya terbukti telah menembak para korban hingga tewas.
Majelis hakim, dalam amar putusan menyampaikan Fikri dan Yusmin tidak dapat dipidana dan harus dilepaskan dari seluruh tuntutan.
Karena penembakan itu terjadi dalam mobil Xenia milik polisi pada 7 Desember 2020 merupakan upaya membela diri.
Pembelaan diri itu yang menjadi alasan majelis hakim membenarkan dan memaafkan perbuatan kedua terdakwa.
Isnur keberatan terhadap alasan majelis hakim itu.
Dia menilai alasan pembelaan hanya dapat digunakan apabila terdakwa dalam posisi sebagai korban.
“Pasal pembelaan itu (digunakan saat) dia (terdakwa) dalam keadaan yang menjadi korban."
"Ini posisinya terbalik, polisi dalam keadaan menguasai,” kata Isnur menerangkan.
Jaksa penuntut umum sejauh ini belum memberi sikap terhadap putusan majelis hakim.
Jaksa Fadjar saat persidangan pembacaan putusan di Jakarta, Jumat, menyampaikan pihaknya masih pikir-pikir dulu.
Kejaksaan Agung pada kesempatan yang lain menyampaikan pihaknya menghormati keputusan majelis hakim PN Jakarta Selatan tersebut.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Ketut Sumedana kepada wartawan di Jakarta, menyatakan sikap jaksa pada persidangan itu sudah tepat.
Jaksa penuntut umum punya waktu tujuh hari untuk pikir-pikir dulu sebelum menentukan sikap, yaitu menerima putusan atau mengajukan kasasi.
Enam anggota FPI, yaitu Luthfi Hakim (25), Andi Oktiawan (33), Muhammad Reza (20), Ahmad Sofyan alias Ambon (26), Faiz Ahmad Syukur (22), dan Muhammad Suci Khadavi (21), tewas tertembak oleh polisi di dua lokasi berbeda pada 7 Desember 2020.
Luthfi dan Andi tewas saat anggota FPI baku tembak dengan polisi di Jalan Simpang Susun Karawang.
Sedangkan empat anggota FPI lainnya tewas tertembak di dalam mobil Xenia milik polisi, saat kendaraan itu melaju di Tol Cikampek Km 51+200 menuju Markas Polda Metro Jaya.(Antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Ken Girsang