Janur Kuning

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Jumat, 04 Maret 2022 – 17:04 WIB
Patung Soeharto di Bukit Soeharto, Desa Biting, Kecamatan Badegan, Kabupaten Ponorogo. Foto: Fais Nasrullah/JPNN.com

jpnn.com - Minggu 19 Desember persis ketika jam menunjukkan pukul 00.00, pasukan Belanda melancarkan operasi Burung Gagak (Kraai) ke ibu kota Republik Indonesia di Yogyakarta.

Serangan kilat darat-udara ini bertujuan menghancurkan kekuatan militer dan politik RI sekali dan selamanya.

BACA JUGA: Nama Soeharto Dihilangkan dari Sejarah? Mahfud MD Bilang Begini

Sementara itu, pasukan lintas-udara KST (Korps Speciale Troepen) mendarat di Maguwo, terjadi perpecahan hebat di kalangan pemangku kekuasaan RI di Yogyakarta.

Para pejabat militer bersikeras melawan serangan Belanda dengan perang gerilya. Sebaliknya, pejabat sipil lebih memilih jalur perundingan dan diplomasi.

BACA JUGA: Jangan Sampai Jokowi jadi Korban Rayuan Maut seperti Soeharto, Sangat Berbahaya!

Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia episode ini dikenal sebagai ‘’Doorstoot naar Djokja’’. Kisah pertempuran yang heroik, persaingan di antara para pemimpin mliter Belanda, dan ketegangan antara pimpinan sipil dan militer Indonesia mencerminkan suasana yang serbakacau.

TNI menuduh para pimpinan sipil lembek, sebaliknya para pemimpin sipil lebih yakin bahwa jalur diplomasi lebih aman ketimbang jalur perang yang penuh risiko.

BACA JUGA: Silakan Gatot Nurmantyo ke Sini jika Mau Lihat 2 Patung Soeharto di Satu Lokasi

Sementara perdebatan strategi perang RI memanas, pasukan khusus Belanda dari kesatuan Baret Hijau telah merangsek ke pusat kota dalam hitungan jam.

Para pemimpin RI harus memutuskan bentuk perjuangan di bawah hujan mortir dan peluru Belanda. Keputusan mereka kelak tidak saja menentukan nasib RI, tetapi juga memengaruhi hubungan sipil-militer di Republik Indonesia.

‘’Dirman, engkau seorang prajurit. Tempatmu di medan perang bersama pasukanmu. Tempatmu bukan tempat pelarianku. Aku harus tinggal di sini, dan mungkin bisa berunding untuk kita, serta memimpin rakyat kita’’. Begitu perintah Bung Karno kepada Jenderal Sudirman.

Jenderal Sudirman yang dalam kondisi sakit parah karena paru-parunya hanya bekerja sebelah, menolak menjalani pengobatan.

Ia memilih masuk ke hutan dan melancarkan perang gerilya. Jenderal Sudirman mempunyai seorang letkol muda yang menjadi andalannya. Dialah Soeharto. Kepada dia Sudirman menyerahkan tanggung jawab mengamankan Jogja.

Selanjutnya yang terjadi adalah sejarah. Pasukan TNI bisa merebut Jogja dari Belanda dalam perang enam jam yang sangat heroik pada 1 Maret 1949.

Letkol Soeharto menjalankan amanat Jenderal Sudirman dengan baik. Dunia internasional tahu bahwa Indonesia masih eksis dari serangan yang mengejutkan itu.

Episode itu terekam dalam film Usmar Ismail ‘’Enam Jam di Jogja’’ dan film ‘’Janur Kuning’’ yang bintangi oleh Kaharudin Syah sebagai Soeharto. Peran dan keterlibatan Soeharto terlihat sentral dalam film itu.

Janur kuning yang dipasang melingkar di lengan menjadi identitas pasukan Soeharto yang menyusup ke Jogja. Sejarawan Asvi Warman Adam menganggap film itu lebay karena terlalu menonjolkan peran Soeharto.

Wartawan senior Julius Pour menuangkan kisah itu dalam bukunya ‘’Doorstot Naar Djokja’’ berarti “Menembus Maju ke Djokja”.

Peran Sultan Hamengkubuwono IX sebagai inisiator operasi terungkap dengan jelas, dan peran Soeharto juga terlihat di situ. Friksi sipil militer terungkap juga di situ. Friksi itu memengaruhi hubungan sipil-militer sampai jauh ketika Soeharto kemudian menjadi presiden.

Peran Soeharto dalam pertempuran itu sekarang pudar setelah pemerintah mengeluarkan Keppres 2/2022 mengenai Hari Penegakan Kedaulatan Negara. Dalam keputusan itu nama Soeharto tidak tercantum. Inilah yang menimbulkan banyak pertanyaan.

Tiap orang ada zamannya, dan tiap zaman ada orangnya. Bung Karno dan Pak Harto adalah dua tokoh yang punya zamannya sendiri. Keduanya tidak bisa diperbandingkan. Keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Tata krama Jawa mengajarkan ‘’mikul duwur mendhem jero’’, menghormati semua capaian positif, dan mengubur semua aib.

Soekarno dengan kecerdasan intelektualnya yang tinggi dan kemampuan orasinya yang hebat, mampu merumuskan Pancasila menjadi dasar negara dan filosofi berbangsa.

Dengan pemahamannya yang luas terhadap khazanah ideologi-ideologi dunia Sukarno berhasil merumuskan Pancasila menjadi dasar negara yang khas Indonesia.

Yudi Latief dalam ‘’Negara Paripurna’’menyatakan bahwa Pancasila adalah karya monumental bangsa Indonesia, dan Soekarno memainkan peran instrumental dalam perumusannya.

Pancasila adalah rumusan eklektik dari berbagai ideologi yang berkembang di dunia dan kemudian diadopsi untuk disesuaikan dengan kondisi di Indonesia.

Soekarno bukan satu-satunya tokoh yang membuat rumusan Pancasila. Muhammad Yamin juga membuat rumusan yang kurang lebih sama.

Tokoh-tokoh Islam juga memberikan kontribusi yang sangat penting dalam perumusan Pancasila. Mr. Soepomo yang mengusulkan dasar negara integralistik harus berdebat dengan Mohamad Hatta yang mengusulkan demokrasi.

Marsillam Simanjuntak dalam ‘’Negara Integralistik’’ menganggap pandangan integralistik yang diajukan Soepomo itu mirip dengan fasisme yang dikembangkan Hitler di Jerman dan Mussolini di Italia.

Menurut Marsillam, pandangan negara integralistik yang disampaikan oleh Soepomo itulah yang belakangan diadopsi oleh Orde Baru di bawah Soeharto.

Upaya Soekarno untuk menyeimbangkan kekuatan-kekuatan yang besaing antara nasionalisme, komunisme, dan agama, melahirkan sintesa Nasakom yang mencoba meramu tiga pandangan yang sebenarnya bertentangan secara diametral itu.

Nasakom membawa Sukarno berhadapan dengan TNI, yang berakhir dengan jatuhnya Soekarno.

Soeharto muncul sebagai antitesa Sukarno. Ia melakukan deparpolisasi untuk mendapatkan stabilitas nasional yang diyakininya sebagai prasyarat wajib bagi pembangunan ekonomi. Politik sebagai panglima yang ingar-bingar berubah menjadi ekonomi sebagai panglima yang sibuk dengan pembangunan fisik.

Soeharto sukses membawa Indonesia menjadi salah satu macan Asia ‘’The Asian Tigers’’. Pertumbuhan ekonomi yang konsisten, tujuh persen setiap tahun, membawa Indonesia menjadi salah satu negara industry baru, NIC’s (new industrialized countries), bersama Korea Selatan dan Thailand.

Keberhasilan pembangunan ekonomi menjadi legitimasi tunggal kepemimpinan Soeharto. Legitimasi ekonomi itu akhirnya ambruk ketika dunia dilanda krisis moneter pada 1997. Pondasi ekonomi Indonesia ternyata tidak kokoh.

Kelas menengah ekonomi Indonesia yang harusnya menjadi tameng dari krisis, terbukti tidak eksis karena tidak mandiri dan hanya menjadi rente yang mengandalkan proyek pemerintah.

Kapitalisme Indonesia, sama dengan kapitalisme di Asia Tenggara, adalah kapitalisme semu yang artifisial yang tidak tumbuh dari bawah melainkan dibesarkan dari atas. Erzats capitalism dalam istilah Yushihiro Kunio (1988), ternyata rapuh dan tidak tahan banting ketika menghadapi serangan spekulan mata uang internasional sekelas George Soros.

Ekonomi Asia Tenggara kolaps. Seperti kartu domino, ekonomi Indonesia juga ambruk dan harus menyerahkan diri pada belas kasih IMF (International Monetary Fund), Dana Moneter Internasional.

Pak Harto menyerah di depan Michel Camdessus, dan kekuasaan politik yang sudah dibangunnya selama 32 tahun ikut ambruk.

Sejarah berulang, rezim baru Orde Reformasi telah lahir. Kini giliran Soeharto yang menjadi target de-Soeharto-isasi. Apa saja yang berbau Soeharto dihancurkan, dan muncul tuntutan agar Soeharto diadili atas dosa-dosa politiknya.

Setelah 20 tahun berselang. Orde Reformasi di bawah Jokowi mengingatkan banyak orang akan gaya politik Soeharto yang integralistik dan—dalam istilah Marsillam—fasistis, karena peran negara yang terlalu kuat vis a vis civil society, masyarakat madani.

Demokrasi berjalan secara prosedural, tetapi substansinya sudah banyak terdistorsi. Oposisi di parlemen kehilangan gigi. Parlemen jalanan dalam bentuk demonstrasi mahasiswa sudah lama hilang dan dilupakan.

Sebagai ganti adalah munculnya parlemen digital yang riuh rendah di media sosial.

Legasi politik Soeharto sudah dikubur. Ada upaya untuk membangunkannya kembali, seperti yang dilakukan sang anak ragil Tommy Soeharto melalui Partai Berkarya. Namun, usaha itu tidak terorganisasi dengan baik dan terkesan hanya sporadis, sehinga terlihat sia-sia.

Meski demikian legasi Soeharto masih tetap hidup dalam psyche masyarakat. Kenangan akan masa-masa ketika harga-harga murah, jalanan aman, pekerjaan gampang, dan biaya sekolah murah masih membayang indah.

Ketika sekarang kondisi susah, harga-harga tidak terjangkau, dan sekolah mahal, kerinduan terhadap Pak Harto bermunculan lagi. Di poster pantat truk terpampang foto Pak Harto melambaikan tangan dengan senyum khasnya, sambil menyapa, ‘’Piye, Luwih Enak Jamanku, toh..?’’ (*)


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler