Jari-Jari

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Minggu, 13 Februari 2022 – 14:47 WIB
Ilustrasi. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Anda yang cukup senior tentu masih ingat kuis ‘’Jari-Jari’’ yang dipandu pelawak Pepeng pada awal 1992.

Kuis itu sederhana. Pepeng muncul dengan satu pertanyaan yang harus dijawab pemirsa lewat sambungan telepon.

BACA JUGA: Bamsoet Dorong Pemerintah Buat Aturan Khusus Ekonomi Digital

Pepeng memandu kuis dengan segar dan cerdas, dan itulah yang membuat Jari-Jari menjadi salah satu kuis legendaris dan tetap dikenang setelah Pepeng meninggal dunia 2015.

Pepeng memberi nama kuisnya Jari-Jari. Setiap kali ia membuka dan menutup kuis ia akan menggerakkan ujung jari telunjuknya sambil menyebut ‘’Jaree-jaree’’. Jari-jari Pepeng menjadi ikon yang tetap dikenang sampai sekarang.

BACA JUGA: MPR Dukung MK Tegakkan Konstitusi Melalui Transformasi Digital

Dalam sebuah wawancara Pepeng mengatakan bahwa melalui kuis Jari-Jari ia ingin memberi edukasi kepada pemirsa televisi dengan cara mengasah pengetahuan umum mereka.

Pepeng seorang pembawa acara radio dan televisi yang juga menjadi aktivis pendidikan, karena itu ia punya idealisme di balik Kuis Jari-Jari.

BACA JUGA: Pepeng Jari-Jari Tutup Usia, Ini Penyebabnya

Eksistensi manusia ada di jari-jarinya. Dengan jari-jari itulah manusia bisa bergerak dan menggerakkan. Dengan gerakan jari-jari yang sederhana manusia bisa saling berkomunikasi dan menjalin hubungan sosial untuk saling berinteraksi dan membantu.

Kuis Jari-Jari lahir sebelum revolusi digital melanda dunia dan menjadikan manusia modern eksis melalui jari-jarinya. Pepeng mungkin tidak menduga bahwa Jari-Jari sekarang menjadi instrumen yang sangat penting bagi manusia modern dalam berkomunikasi dan bereksistensi.

Dengan jari-jari itu manusia modern yang serbadigital melalukan touch and sweep, sentuh dan geser, untuk mengendalikan semua aktivitasnya.

Revolusi digital telah mengubah manusia menjadi ‘’manusia jari’’ atau homo digitalis. Manusia yang seharusnya utuh dengan raga yang lengkap dan disempurnakan dengan rohani yang jangkap, telah berubah menjadi manusia jari yang mengandalkannya sebagai senjata utama dalam aktivitas sehari-hari.

Secara etimologis digital berasal dari bahasa Yunani ‘’digitus’’ yang berarti jari-jemari. Digital artinya berhubungan dengan angka-angka untuk sistem perhitungan tertentu; berhubungan dengan penomoran.

Dalam Bahasa Inggris digital artinya yang berhubungan dengan jari, mesin hitung yang mempergunakan angka-angka untuk sistem-sistem perhitungan tertentu.

Revolusi digital telah membawa perubahan pada cara manusia berkomunikasi dan memengaruhi gaya hidup serta bagaimana memandang dan bersikap terhadap realitas.

Dunia digital menjadikan manusia berfungsi ganda sebagai konsumen dan produsen pesan. Setiap orang menjadi prosumen, produsen sekaligus konsumen pesan.

Eksistensi manusia modern abad digital ini ditentukan oleh aktivitasnya di media digital melalui posting, uploading, dan chatting.

Manusia hidup di tengah masyarakat digital interaktif, yang memungkinkannya terlibat dengan memengaruhi komunikasi media digital, dan tidak sekadar menjadi penonton semata.

Terima kasih kepada internet. Teknologi informasi yang berkembang pesat menghasilkan akselerasi yang tidak pernah dirasakan dalam sejarah manusia sebelumnya. Hubungan antarmanusia di mana pun dan kapan pun menjadi mudah, cepat, dan gratis karena internet.

Manusia dibuat nyaman oleh media digital dengan segala tawaran kemudahannya. Kemudahan yang harus dibayar dengan memberikan data personal sebagai syarat utama.

Data personal terkait selera, sikap, dan pilihan dalam berbagai aspek lalu menjadi konsumsi publik dan dimanfaatkan dengan baik oleh pengelola aplikasi digital untuk berbagai kepentingan, termasuk kepentingan ekonomi dan politik.

Kapitalisme baru di era digital adalah ‘’kapitalisme pengawasan’’ atau surveillance capitalism. Hidup manusia dibikin mudah 24 jam, tetapi pada saat bersamaan hidup manusia diawasi terus-menerus selama 24 jam.

Tidak setiap pengguna internet memahami bahwa data personal mereka mungkin dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan.

Mesin algoritma akan membaca selera dan keinginan masing-masing orang. Layar gawai pengguna media sosial akan dibanjiri berbagai informasi mengenai hal-hal yang disukainya saja, jarang sekali tawaran informasi yang berbeda dengan pilihannya, termasuk berita sensitif menyangkut agama dan politik.

Seperti jalan tol bebas hambatan yang mulus dan lempeng, media digital menjadi semacam ruang yang sangat bebas, karena tidak seorang pun menguasai ruang dan waktu di dalamnya dan meluncur dengan kecepatan maksimal. Siapa pun bisa mengunggah informasi personal dan diakses ribuan netizen.

Konten yang sifatnya personal bisa setiap detik menjadi konsumsi publik dan bersifat politis. Apa yang disuka, dikagumi, diyakini itulah yang diunggah dan disebarluaskan. Semuanya ada di ujung jari, semuanya bisa dioperasikan dengan satu klik saja.

Eksistensi manusia adalah eksistensi klik. Aku Klik Maka Aku Ada, kata F. Budi Hardiman dalam bukunya Manusia dan Revolusi Digital.

Dengan klik itu manusia bisa menikmati kebebasan luas di alam digital yang tanpa batas.

Kebebasan untuk mengunggah dan menyebarkan konten itu terkait dengan identitas individu yang begitu fleksibel di media digital. Pengguna media sosial bisa memilih menggunakan identitas riil, identitas palsu bahkan anonim.

Tidak ada kegelisahan yang mengusik karena tidak perlu bertatap muka seperti saat berkomunikasi langsung dengan orang lain.

Pengguna terbiasa abai pada etika komunikasi yang berlaku. Persoalan menjadi makin pelik ketika yang mengalami kegagapan bukan sebatas masyarakat pengguna media digital, pemerintah selaku regulator pun memiliki kegagapannya sendiri.

Regulasi yang mengatur tata kelola media digital belum efektif mengatasi persoalan-persoalan mendesak seperti penanganan hoaks dan ujaran kebencian.

Manusia digital bergantung pada gadget sebagai alat teknologi. Gadget yang seharusnya menjadi alat sudah berubah menjadi gawai yang memperalat manusia. Keduanya tidak bisa lagi dibedakan, karena hubungannya yang begitu erat dan tidak bisa dipisahkan.

Ketika tidak membuka gadget dalam jangka waktu beberapa menit maka ia akan merasa sebagai manusia yang kehilangan eksistensi di dunia ini. Keberadaan manusia saat ini dilihat dan diukur dari keaktifannya dalam dunia digital.

Dalam keadaan apa pun, gadget ada di genggamannya, dalam suka dan duka hal pertama yang dilakukan adalah klik untuk mengunggah dan mengunduh. Ketika hendak makan hal utama yang dilakukan bukan berdoa, tetapi klik untuk posting.

Ketika salat tahajud pun tidak lupa klik dan posting kepada semua teman di dunia digital.

Dalam gadgetnya manusia digital mampu membawa ratusan bahkan ribuan buku untuk dijadikan bahan konsumsi bacaan.

Ditambah lagi dengan komunikasi yang dilakukan sesama homo sapiens, yang perlahan beralih kepada komunikasi digital yang sangat intens.

Inilah saatnya mengucapkan “selamat tinggal kepada komunikasi konvensional dan selamat datang di revolusi digital”. Di sinilah perang-perang dilakukan secara online, menghujat secara online, mencaci, memaki orang lain tidak harus bertemu fisik dengan orang tersebut.

Fenomena yang terjadi dalam revolusi digital, telah banyak mengubah manusia. Realitas tentang dirinya, pemaknaan baik dan buruk, semua berubah.

Manusia tidak lagi memikirkan sebuah kebenaran yang hakiki, melainkan kebenaran yang bersifat sementara.

Terjadinya revolusi digital dari homo sapiens menuju homo digitalis telah mengubah pola pikir dan eksistensi manusia. Kita makin sulit membedakan antara realitas yang asli dan fiksi. Kita berinteraksi dan berkomunikasi tanpa harus menghadirkan tubuh.

Kebenaran atau truth menjadi hal yang sangat samar di dunia digital. Era digital disebut sebagai era-post truth, pasca-kebenaran. Kebohongan bukan lagi kebohongan, tetapi sudah menjadi post-truth, pasca-kebenaran.

Manusia digital hanya ingin mendengarkan apa yang dia ingin dengar. Manusia digital tidak membutuhkan verifikasi atau klarifikasi. Ia hanya membutuhkan konfirmasi untuk meyakinkan keyakinannya.

Informasi makin berlimpah, tetapi makin banyak yang menjadi sampah. Peristiwa Desa Wadas menimbulkan gelombang informasi yang bergulung-gulung, yang membuat publik makin tergulung tanpa bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Akhirnya publik membaca dan mendengarkan apa yang ingin ia baca dan dengarkan.

Manusia digital berkuasa atas apa yang ia inginkan. Dengan sekali klik, dia mendapatkan apa yang dia inginkan, dan dengan sekali klik dia menyingkirkan apa yang tidak dia inginkan.

Itulah eksistensi manusia modern sekarang ini. Aku klik maka aku ada. Manusia digital sekarang adalah ‘’Manusia Jari-Jari’’. Kita harus membayar royalti kepada keluarga almarhum Pepeng untuk istilah itu. (*)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler