Jasa Raharja Akan Masuk dalam Holding BUMN Asuransi, Ferdinandus Nggao Beri Respons Begini

Rabu, 12 Februari 2020 – 23:07 WIB
Jasa Raharja. Foto IST

jpnn.com, JAKARTA - Rencana pembentukan Holding BUMN Asuransi akan segera terwujud. Rencana ini sebetulnya sudah lama dan sempat tertunda.

Rencananya, PT Bahana Pembinaan Usaha akan didapuk sebagai induk dengan anggota antara lain Jasa Raharja, Jasindo, Askrindo dan Jamkrindo.

BACA JUGA: Berita Duka, Jamal Meninggal Dunia, Kombes Pol Sunarto: Kami Turut Berduka Cita

Terkait dengan hal tersebut, pengamat kebijakan sosial Universitas Indonesia, Ferdinandus S. Nggao, menyarankan Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN untuk mempertimbangkan kembali keberadaan Jasa Raharja dalam Holding BUMN Asuransi.

Paling tidak, ada tiga pertimbangan yang menyebabkan Jasa Raharja sebetulnya kurang tepat diikutkan dalam holding.

BACA JUGA: Strategi Jasa Raharja Menjawab Tantangan Revolusi Industri 4.0

Pertama, terkait misi yang diembannya. Jasa Raharja merupakan pemegang mandat tunggal untuk melaksanakan UU No. 33/1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang dan UU No. 34/1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Lalu Lintas Jalan.

Mengacu pada kedua UU tersebut, Jasa Raharja pada dasarnya merupakan penyelenggara jaminan sosial untuk menutup risiko yang dialami korban kecelakaan lalu lintas. Dalam bagian ‘menimbang’ kedua UU tersebut dinyatakan bahwa UU ini dibuat ‘sebagai langkah pertama menuju suatu sistem jaminan sosial’.

BACA JUGA: Dooor! Aris Munanda Langsung Ditembak Mati, Tak Ada Ampun

“Jasa Raharja sangat kental dengan misi sosialnya, hanya saja penyelenggaranya berbadan hukum persero. Bahkan kadar kesosialannya lebih tinggi dari BPJS Kesehatan. Karena misi sosialnya, maka semestinya kegiatan yang dilakukan Jasa Raharja kurang tepat kalau dikategorikan sebagai kegiatan bisnis,” kata Ferdy.

Dana yang dikelola Jasa Raharja adalah dana masyarakat yang dipungut (wajib) oleh negara, bukan dana milik perusahaan. Dana ini mestinya dikembalikan kepada masyarakat, bukan untuk kepentingan yang lain.

Dalam penjelasan kedua UU tersebut dinyatakan bahwa pemerintah membentuk dana ini, karena kemampuan keuangan negara tidak mencukupi untuk menutup semua risiko kecelakaan lalu lintas yang dialami masyarakat. Atas pertimbangan kondisi keuangan negara inilah maka pemerintah membentuk dana yang cara pemupukannya dilakukan melalui iuran wajib. Dana dikumpulkan melalui iuran untuk kemudian disalurkan dalam bentuk santunan kepada para korban kecelakaan.

Dengan demikian, keberadaan Jasa Raharja merupakan representasi kehadiran negara. Jasa Raharja menjalankan peran negara dalam menutup risiko kecelakaan yang dialami warganya. Karena itu, besaran iuran dan santunan ditetapkan oleh negara, bukan oleh Jasa Raharja. Kewajiban membayar iuran adalah perintah negara melalui UU, bukan perintah Jasa Raharja.

Kedua, selama ini Jasa Raharja dikategorikan sebagai perusahaan asuransi sosial. Pengelolaan dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang untuk angkutan umum sebagaimana diatur dalam UU 33/1964 mirip dengan asuransi kecelakaan diri. Sementara pengelolaan dana pertanggungan wajib kecelakaan lalu lintas jalan mirip dengan asuransi pihak ketiga.

Padahal, sebetulnya mengelompokkan kegiatan Jasa Raharja sebagai asuransi kurang tepat. Pengelolaan dananya memang mirip asuransi, tetapi dalam hal tertentu tidak persis seperti asuransi. Kewajiban membayar iuran bukan persyaratan utama mendapat santunan.

“Misalnya, penumpang angkutan umum perkotaan tidak dikenakan iuran wajib, tetapi mendapat santunan ketika terjadi kecelakaan. Demikian juga, pengendara motor menabrak orang, maka korbannya mendapat santunan walaupun pemilik kendaraan tidak membayar iuran, yaitu Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan atau SWDKLLJ,” ungkap Ferdy.

Hal ketiga yang perlu dipertimbangkan, menurut Ferdy, adalah status Jasa Raharja. UU 33/1964 sendiri tidak menyebut tentang institusi pengelola dananya. Namun, hal ini dinyatakan secara eksplisit dalam PP No. 17/1965 tentang Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang.

Pasal 8 PP ini menyatakan bahwa dana pertanggungan wajib ini diurus dan dikuasai oleh suatu Perusahaan Negara yang khusus ditunjuk oleh Menteri. Perusahaan Negara tersebut merupakan penanggung pertanggungan wajib kecelakaan penumpang.

Sementara Pasal 8 ayat (1) UU 34/1964 menyatakan, pengurusan dan penguasaan dana pertanggungan wajib kecelakaan dilakukan oleh suatu Perusahaan Negara yang ditunjuk oleh Menteri khusus untuk itu. Hal yang sama juga dinyatakan dalam Pasal 8 PP No. 18/1965 tentang Tentang Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Dana Kecelakaan Lalu-Lintas Jalan.

Artinya, Jasa Raharja seharusnya tetap berstatus BUMN. Dari sisi regulasi, penglolaan dana pertanggungan wajib dikelola perusahaan negara. Dari sisi tugas yang diemban, sebagai representasi negara, Jasa Raharja harus di bawah kendali langsung pemerintah.

BACA JUGA: Tok, Michael Kosasih Divonis Hukuman Mati

"Dengan menjadi anak holding, maka status Jasa Raharja sebagai BUMN akan hilang. Ini tentu tidak sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku," pungkasnya.(jpnn)


Redaktur & Reporter : Budi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler