Jatimnomics, Pendekatan Kesejahteraan Tahan Krisis

Jumat, 12 Oktober 2018 – 11:30 WIB
Mantan Wartawan, Magister Ilmu Ekonomi IPB, Jan Prince Permata, SP, M.Si. Foto: Dokpri for JPNN.com

jpnn.com - Oleh: Jan Prince Permata, SP, M.Si
Mantan Wartawan, Magister Ilmu Ekonomi IPB

Pada 3 Oktober 2018 untuk pertama kalinya nilai tukar rupiah menembus level psikologis Rp 15.000 per dolar Amerika Serikat (AS) pasca-krisis keuangan 1998. Ini situasi yang kurang baik untuk perekonomian Indonesia. Bahkan hingga Rabu (11/10/2018) nilai tukar rupiah berada di level 15.235 per dolar AS.

BACA JUGA: Reforma Agraria Jalan Keluar dari Ketidakadilan Pembangunan

Pelemahan nilai tukar rupiah ini antara lain disebabkan defisit neraca perdagangan tahunan yang mencapai 1,02 miliar dolar AS; kinerja perdagangan (transaksi berjalan) kurang optimal akibat defisit neraca perdagangan; adanya yield spread (resiko kredit) antara surat berharga AS dengan surat utang dalam negeri; perang dagang China dan AS; dan potensi gangguan akibat krisis ekonomi Argentina.

Pendek kata pelemahan rupiah terhadap dolar AS ini disebabkan faktor internal dan eksternal yang semuanya berakar dari tren globalisasi dan integrasi ekonomi dunia yang tak mungkin kita hindari.

BACA JUGA: Kayu Putih Harapan Baru di Kaki Gunung Wilis

Indonesia sebagai negara small open economy tak bisa melepaskan diri dari krisis dan guncangan ekonomi global. Misalnya, Krisis ekonomi Asia pada tahun 1997/1998 diawali dari terdevaluasinya mata uang Baht Thailand.

Kemudian, terjadi perlambatan ekonomi dunia tahun 2001 yang diperburuk tragedi World Trade Center di New York, Amerika Serikat pada 11 September 2001, sehingga mempengaruhi pasar modal di berbagai negara.

BACA JUGA: AHY Sosok Pemimpin Zaman Now

Pada tahun 2008, krisis kredit perumahan di Amerika Serikat (subprime mortgage) dengan cepat berubah mendorong krisis keuangan global. Krisis ekonomi dunia berlanjut akibat peliknya masalah utang di negara-negara Eropa (Achsani, 2014).

Data tahun 2008 mencatat kejatuhan indeks Bursa Saham Indonesia (BEI) sebesar -43,3% dibarengi depresiasi rupiah 16,88 persen disebabkan krisis keuangan Amerika Serikat. Ekspor Indonesia ketika itu juga mengalami penurunan akibat turunnya permintaan di negara tujuan. Pelemahan rupiah dan penurunan ekspor pada akhirnya memicu penurunan cadangan devisa Indonesia.

Krisis yang terjadi di satu negara dan mempengaruhi negara lain ataupun yang dikenal sebagai transmisi krisis akan terjadi secara berulang sebagai konsekuensi logis dari sistem tata ekonomi dunia yang makin terbuka satu dengan yang lain. Proses transmisi ini menjadi lebih cepat lagi sejalan dengan perkembangan informasi dan teknologi komunikasi (Achsani and Strohe, 2004).

Tantangan Ekonomi Indonesia

Bank Dunia pada Juni 2018 memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini mencapai 5,2 persen. Sebelumnya pada April 2018, Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,3 persen. Walau mengoreksinya, Bank Dunia menilai tren ekonomi Indonesia tetap positif. Hal ini antara lain disebabkan faktor permintaan domestik yang menguat, dan tren naiknya harga komoditas global.

Namun dibalik itu semua, Indonesia mengahadapi lima masalah mendasar di sektor perekonomian. Pertama, kemiskinan. Data BPS per Maret 2018 mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia sekitar 9,82 persen atau 25,95 juta orang, yang jika dirinci di perdesaan sekitar 15,81 juta orang dan di perkotaan 10, 14 juta orang.

Kedua, pengangguran. BPS pada Februari 2018 menyebutkan jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 5,13 persen atau 6,87 juta orang dengan rincian pengangguran di perkotaan sebesar 6,34 persen, sedangkan sedangkan pengangguran di perdesaan 3,72 persen. 

Ketiga, ketimpangan. Ketimpangan di Indonesia saat ini bisa dilihat antara lain dari tingginya gini-ratio pendapatan yaitu 0,389 per Maret 2018. Jika lebih diperinci gini ratio diperkotaan mencapai 0,401 dan gini ratio di perdesaan 0,324. Berdasarkan data BPS, ketimpangan kepemilikan lahan pada 2013 mencapai 0,68. Artinya hanya 1 persen rakyat Indonesia menguasai 68 persen sumber daya lahan. Ketimpangan di Indonesia juga bisa kita lihat melalui kesenjangan antara desa dan kota, kawasan maju dan tertinggal, pusat (central) dan pinggiran (pheripheri). Ketimpangan juga bisa dilihat dari kesenjangan akses masyarakat terhadap pendidikan, kesehatan dan jasa keuangan yang masih tinggi.

Keempat, utang. Hingga akhir Juni 2018 utang pemerintah pusat mencapai Rp 4.227,78 triliun. Utang yang disertai bunga dan pada waktunya akan jatuh tempo ini tentunya akan membebani perekonomian nasional.

Kelima, ketergantungan yang tinggi terhadap luar negeri. Semakin eratnya kerterkaitan pasar keuangan Indonesia dengan pasar keuangan internasional seiring dengan penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas sejak 14 Agustus 1997 menyebabkan perekonomian Indonesia rentan terhadap gangguan eksternal, termasuk arus modal dalam jumlah besar maupun jumlah ekspor dan impor.

Perubahan kurs mata uang akan menyebabkan perubahan dalam harga barang-barang yang diimpor baik barang konsumsi (barang jadi) maupun bakan baku input yang selanjutnya akan mempengaruhi harga yang diterima konsumen.

Penelitian Achsani dan Nababan (2008) menunjukkan bahwa efek perubahan kurs berdampak terbesar pada harga-harga sektor transportasi dan komunikasi serta hargana makanan, minuman dan rokok dimana lebih dari 35 persen perubahan IHK-nya diperngaruhi kurs.

Data Kementerian Perdagangan tahun 2013 menunjukkan bahwa komposisi impor Indonesia terdiri dari barang konsumsi sekitar 7 persen, 76 persen bahan baku penolong dan sisanya merupaka impor barang modal.

Tantangan-tantangan ekonomi di atas membutuhkan sebuah pendekatan politik pembangunan Indonesia yang tidak hanya dituntut mampu menjawab permasalahan domestik, tapi juga harus mampu mengatasi perubahan politik ekonomi global.

Jatimnomics sebagai Jalan Ekonomi Kesejahteraan

Di negara berkembang perhatian utama pembangunan ekonomi terfokus pada dilema antara pertumbuhan dan pemerataan. Pembangunan ekonomi mensyaratkan GNP yang lebih tinggi. Namun yang menjadi masalah adalah bukan hanya soal bagiamana caranya memacu pertumbuhan, tetapi juga siapa yang melaksanakan dan berhak menikmati hasilnya. Dengan demikian pembangunan ekonomi tidak semata-mata diukur berdasarkan peningkatan GNP secara keseluruhan, tetapi harus memperhatikan distribusi pendapatan telah menyebar ke segenap penduduk/lapisan masyarakat, serta siapa yang telah menikmati hasil-hasilnya (Todaro, 2000).

Di Indonesia, Jawa Timur merupakan wilayah yang tergolong sukses dalam memacu pertumbuhan ekonomi sekaligus melakukan pemerataan pembangunan dengan baik. Kontribusi PDRB Jawa Timur terhadap PDB nasional merupakan kedua terbesar setelah Provinsi DKI Jakarta. Bahkan, sejak tahun 2009, pertumbuhan ekonomi Jawa Timur melebihi pertumbuhan ekonomi nasional dan DKI Jakarta. Contohnya, pertumbuhan ekonomi Jawa Timur selama triwulan I 2018 mencapai 5,5 persen, lebih tinggi dibanding laju pertumbuhan ekonomi nasional 5,1 persen.

Pada 2017, besaran Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur diatur atas dasar harga berlaku mencapai Rp 2.019,2 triliun. Naik Rp 164,16 triliun dibandingkan tahun 2016 sebesar Rp 1,855,04 triliun. Total PDB nasional tahun 2018 sebanyak Rp 13.588,8 trilun, Ini berarti kontribusi PDB Jatim terhadap nasional mencapai 14,61 persen.

Berdasarkan data BPS Jatim, tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Jawa Timur pada Februari 2018 tercatat sebesar 3,85 persen dibawah tingkat penganguran nasional pada periode yang sama 5,13 persen.

Keberhasilan Jawa Timur dalam mendorong dan mengelola pertumbuhan ekonomi di tengah tantangan-tantangan lokal dan dinamika ekonomi global merupakan sebuah langkah yang perlu diikuti daerah-daerah lain di Indonesia. Pengelolalan pendekatan kesejahteraan dan pembangunan ekonomi ala Jawa Timur ini kemudian lebih popular dikenal dengan istilah Jatimnomics.

Gubernur Jawa Timur Dr. H. Soekarwo dalam berbagai kesempatan menyebutkan Jatimnomics sebagai jalan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan daya saing Jawa Timur di era perdagangan bebas. Pertumbuhan yang dimaksud adalah pertumbuhan inklusif yang diikuti pemerataan dan keadilan (suistainable growth with equity).

“Jatimnomics merupakan konsep pertumbuhan ekonomi pengembangan dari Indonesia Incorporated, sebagai sistem ekonomi khas Jatim. Konsep ini dipandang mampu menjadi solusi permasalahan ekonomi di era globalisasi terlebih menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), menuju pertumbuhan ekonomi inklusif,” kata Pakde Karwo---panggilan akrab Soekarwo.

Pakde Karwo menjelaskan, kunci keberhasilan Jatimnomics karena adanya keterlibatan dan partisipasi masyarakat (participatory based development). Di sisi lain, pendekatan ini juga melahirkan kemitrasejajaran kritis dan konstruktif antara gubernur dan legislator. Hasilnya, lewat Jatimnomics, perekonomian Jawa Timur tumbuh secara inklusif di atas rata-rata nasional.

Dari sisi konsepi, Jatimnomics memiliki tiga aspek ekonomi utama yakni aspek produksi dari segmen UMKM dan segmen usaha besar; aspek pembiayaan kompetitif; dan aspek pemasaran.

Aspek produksi dari segmen UMKM dan segmen besar dimulai dengan dukung infrastruktur ekonomi baik jalan tol, kereta api, bandar udara, pelabuhan, penyediaan kawasan industri di Jatim, dan reregulasi (tata ulang peraturan) yang mendukung perekonomian untuk melindungi masyarakat kecil. Selain perlindungan terhadap petani dan peternak melalui Pergub Jatim No. 2 Tahun 2013 (Pengendalian Barang Impor di Jatim termasuk SOP yang mengatur izin bongkar beras impor), Perda Prov. Jatim No. 3 Tahun 20112 (Pengendalian Ternak Sapid an Kerbau Betina Produktif), Pakde Karwo juga melindungi petani garam melalui Pergub Jatim No. 78 Tahun 2011 (Pengendalian Garam Impor dan Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat).

Jatim sebagai provinsi produsen garam, benar-benar melakukan proteksi petani garam dari masuknya garam impor. Salah satu caranya dengan menggudangkan garam-garam impor yang masuk. Upaya ini menunjukkan kehadiran Pemerintah dalam melindungi masyarakat. Aspek ini juga membuktikan kontribusi UMKM terhadap PDRB Jatim mencapai 54,98 persen.

Aspek pembiayaan kompetitif, dilakukan dengan melakukan sinkronisasi potensi sumber pendanaan pemerintah melalui APBD, Bank jatim dan bank UMKM dengan model loan agreement. Untuk penjaminan kredit UMKM dilakukan oleh PT. Jamkrida sejak 2009. Stimulasi juga digunakan khusus segmentasi UMKM yaitu memberikan bantuan sektor produktif seperti bantuan infrastruktur sarana produksi primer untuk meningkatkan efisiensi dan nilai tambah sektor produktif. Dan yang tidak kalah penting adalah intervensi pemerintah yang ditujukan untuk kelompok ekonomi lemah diantaranya rumah tangga sangat miskin (RTSM) yang bersifat pemberdayaan dan sebagian kecil lewat charity.

Aspek pemasaran dilakukan Pemprov Jatim dengan mengoptimalkan pasar domestik melalui 26 Kantor Perwakilan Dagang (KPD) yang tersebar di 26 provinsi di Indonesia. Ini dilakukan mengingat sebanyak 40 persen pasar ASEAN ada di Indonesia. KPD berfungsi sebagai fasilitator business to business (b2b) dan liaison officer.

Selain itu, Pemprov Jatim juga melakukan penguatan pasar ASEAN dan global seperti rencana Jatim Mart di Singapura, G2G fasilitasi pembangunan exchange center di Surabaya dan Tianjin.

Selain memberi perlindungan terhadap kelompok-kelompok pengusaha ekonomi mikro, Pemprov Jatim juga memberi dukungan kepada usaha besar yakni memberikan fasilitasi pembangunan akses transportasi, regulasi, kemudahan dalam pengembangan usaha seperti business forum dan diplomasi ekonomi, memberikan government guarantee yakni kemudahan perijinan melalui P2T, percepatan pengadaan lahan, jaminan ketersediaan pasokan energi/listrik serta iklim perburuhan yang demokratis.

Konstruksi Jatimnomics sebagai model Indonesia Incorporated dengan melibatkan tiga aktivitas ekonomi utama tersebut terbukti membuat Jawa Timur lebih berdaya dan tahan guncangan krisis ekonomi.

Indonesia ke depan akan terus menghadapi berbagai permasalahan domestik dan tantangan global yang makin kompleks. Untuk itu diperlukan sebuah kontruksi ekonomi politik baru yang tidak hanya fokus pada penyelesaian masalah-masalah di dalam negeri, tetapi juga harus mampu melihat jauh ke depan mengantisipasi perubahan politik ekonomi global yang kian dinamis.

Jatimnomics sebagai gagasan dan konsep pembangunan yang telah diimplementasikan (empirik) di Jawa Timur sangat layak dikembangkan secara lebih luas menjadi konsep pendekatan pembangunan dan ekonomi kesejahteraan secara nasional.(***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Implementasi Tri Sakti di Era Milenial Tantangan Utama GMNI


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler