jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid mengandaikan untuk mengukur seberapa perlu melakukan amendemen UUD NRI Tahun 1945, tak bisa menggunakan alat semacam thermometer. Namun keinginan melakukan hal demikian bisa dilihat dari Rekomendasi MPR Periode 2014-2019 di mana salah satu rekomendasinya adalah menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara. Apakah nanti menghidupkan haluan negara ala GBHN lewat amandemen disetujui atau tidak, diketahui setelah MPR melakukan serap aspirasi ke seluruh komponen masyarakat. Jazilul memaparkan hal demikian saat dirinya menjadi pembicara ‘Diskusi Empat Pilar MPR’, 11 Desember 2019, Media Center, Komplek Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta.
Dalam diskusi bertema ‘Urgensi Amandemen Konstitusi’, Jazilul mengatakan saat ini MPR dipimpin oleh 10 orang. “Mereka merepresentasikan seluruh kekuatan politik yang ada serta kelompok DPD,” ujar pria asal Bawean, Jawa Timur, itu.
BACA JUGA: Saran Jenderal (Purn) AM Hendropriyono untuk Pemerintah soal SKT FPI
Dengan bekal Rekomendasi MPR Periode 2014-2019, pimpinan MPR saat ini melakukan safari kebangsaan ke berbagai organisasi keagamaan dan partai politik. “Kami meminta masukan terkait amandemen,” ungkapnya.
Setelah melakukan safari kebangsaan ke berbagai organisasi politik dan agama, Jazilul mengakui banyak pikiran dan pendapat, tidak hanya masalah haluan negara GBHN.
BACA JUGA: Ketua MPR Dorong Pemerintah Segera Akselerasi Pembangunan SDM
“Namun juga misalnya bagaimana pemilihan langsung Presiden dan kepala daerah dievaluasi,” tuturnya.
Lebih lanjut dikatakan dari serap aspirasi itu kemudian dipetakan dan diakui ada keinginan dari masyarakat tentang perlunya amendemen.
BACA JUGA: Kabar Baik Bagi Penderita Penyakit Jantung Koroner, Tidak Perlu Pasang Stent
“Tidak menutup kemungkinan masalah yang lain, tidak hanya soal GBHN,” ungkapnya. Meski demikian MPR tetap menunggu aspirasi dari masyarakat yang lain, “termasuk dari insan pers”, tegasnya.
Sebelum mengambil keputusan, MPR perlu melakukan sosialisasi mengenai rencana amendemen. Hal ini dikatakan memerlukan waktu yang panjang. Bila semua aspirasi sudah diserap tinggal MPR menyusun jadwal untuk memutuskan amendemen atau tidak.
“Bila setuju amendemen, mana saja pasal yang perlu diubah,” tuturnya.
Sekretaris PPP di MPR, Muhammad Iqbal, dalam kesempatan itu menguraikan sejarah terbentuknya UUD NRI Tahun 1945. Dikatakan dalam perjalanan bangsa, selepas 18 Agustus 1945, UUD Tahun 1945 ditetapkan, bangsa ini pernah meninggalkan UUD Tahun 1945 dengan UUD Sementara dan UUD RIS hingga akhirnya kembali ke UUD Tahun 1945 lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Iqbal mengutip pendapat Presiden Soekarno bahwa UUD Tahun 1945 dibuat secara singkat dan kelak dikemudian hari disempurnakan. “Dari sinilah UUD bisa diamendemen,” ujarnya.
Dalam era reformasi, UUD Tahun 1945 diamandemen. “Amandemen UUD merupakan salah satu tuntutan reformasi,” ujar politikus kelahiran Medan, Sumatera Utara, itu. “Alhamdulillah MPR sudah melakukan amendemen dari tahun 1999 hingga 2002”, tambahnya. Implikasi dari amandemen disebut membawa perubahan kedudukan dan wewenang MPR.
“Dulu MPR sebagai lembaga tertinggi dan memilih Presiden, sekarang tidak lagi,” paparnya.
Saat ini menurut politikus dari Dapil Sumatera Barat II itu, bila ingin melakukan amandemen, hal demikian perlu dilakukan kajian yang mendalam. Tujuan amendemen menurutnya harus tetap pada koridor memperkuat kedaulatan di tangan rakyat. “Juga untuk kemajuan bangsa dan negara bukan sekelompok orang,” tegasnya.
Dirinya setuju dengan amendemen namun sebatas untuk menghidupkan kembali haluan negara. Bila ada keinginan untuk mengamendemen agar Presiden kembali dipilih oleh MPR dan masa jabatan lebih dari dua periode, Iqbal kurang sepakat.
“Kalau ada keinginan hal yang demikian mengapa kita dulu mengamendemen UUD Tahun 1945 yang membatasi masa jabatan Presiden dua periode”, tuturnya.
Anggota MPR dari Kelompok DPD, Filep Wamafma, dalam kesempatan yang sama menyebut bangsa ini memiliki Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
“Bila salah satu tidak kuat maka akan menyebabkan bangsa ini runtuh,” ucapnya. Amandemen disebut merupakan salah satu upaya untuk memperkuat NKRI. “Agar NKRI kuat maka daerah harus kuat,” ujarnya.
Menurut Filep saat ini terjadi berbagai problem di daerah sehingga dirinya setuju amandemen dilakukan untuk memperkuat daerah. “Paling penting adalah penguatan daerah,” ungkapnya.(adv/jpnn)
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi