Jazilul Fawaid: Sosialisasi 4 Pilar Harus Sesuai Perkembangan Zaman

Rabu, 06 November 2019 – 16:49 WIB
Diskusi Empat Pilar MPR yang digelar di Media Center. Foto: Humas MPR

jpnn.com, JAKARTA - Anggota MPR RI dari Kelompok DPD Agustin Teras Narang mengingatkan bahwa Indonesia merupakan bangsa yang besar.

Sebelum ada Indonesia, wilayah negara ini merupakan kepulauan yang disebut Nusantara, dengan berbagai kerajaan dan kesultanan yang mana kekayaan atau sumber daya alam melimpah ada padanya. “Mereka beragam latar suku, agama, dan budaya,” ujar Teras dalam dalam acara ‘Diskusi Empat Pilar MPR’, yang digelar di Media Center, Komplek Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Rabu (6/11).

BACA JUGA: Celetukan Anggota DPR ke Mendikbud Nadiem: Kami Dukung Biar Tak Kena Reshuffle

Dalam perjalanan waktu, ada keinginan seluruh potensi yang ada untuk menyatukan diri. Langkah awal dilakukan Budi Utomo pada tahun 1908.

Teras Narang melanjutkan, keinginan untuk bersatu, berbangsa, dan bernegara makin kuat ketika Kongres II Pemuda pada 28 Oktober 1928 menyatakan satu nusa, bangsa, dan bahasa Indonesia. “Mereka juga hadir dengan beragam latar,” ucapnya.

BACA JUGA: PraMel Butuh Waktu 32 Menit Masuk 16 Besar Fuzhou China Open 2019

Keinginan para pemuda tak berhenti di tahun 1928. Dasar kuat para pemuda dilanjutkan oleh Presiden Soekarno ketika pada 1 Juni 1945 menyampaikan pidato tentang Pancasila. Pidato yang dipaparkan oleh Soekarno menurut Teras Narang sebagai dasar dari landasan berbangsa dan bernegara. Lagi-lagi disebut perjuangan tak berhenti di situ. Pada 17 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

“Itu juga berkat dorongan dari para pemuda”, ujar mantan Gubernur Kalimantan Tengah dalam diskusi yang bertema ‘Budaya Pancasila, Gotong Royong untuk Indonesia yang Maju’ itu. Selepas Indonesia menyatakan diri lepas dari penjajahan, unsur terbentuknya negara semakin lengkap ketika UUD Tahun 1945 disahkan sebagai konstitusi.

BACA JUGA: Fadli Zon: Besaran Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Mengejutkan

Semua proses yang terjadi menurut Teras Narang tidak terjadi begitu saja namun direncanakan secara terstruktur, sistemastis, dan masif. “Meski pelaku sejarahnya berbeda”, ucapnya.

Dia mengatakan, kalau dilihat dari Pancasila dan UUD-nya, negara ini didirikan dengan tidak main-main. “Kalau bicara mengenai bangsa dan negara maka tak bisa dilepaskan dengan soal sejarah dan budayanya,” paparnya.

Pria yang pernah menjadi politikus PDIP itu menambahkan, kini semua harus berjuang untuk mengisi kemerdekaan sehingga bangsa ini bisa lebih maju. “Kita bisa maju bila dilandasi dengan kebersamaan”, ujarnya.

Sebagai pria berdarah Dayak, Teras Narang mengandaikan Indonesia seperti ‘Huma Bentang’. Rumah tradisional suku Dayak di mana dihuni oleh puluhan kepala keluarga di mana mereka memiliki beragam latar belakang. “Namun mereka bisa hidup rukun, damai, dan saling menghormati satu dengan yang lain”, ungkapnya. “Mereka menghargai perbedaan”, tambahnya.

Dalam kesempatan yang sama, anggota MPR dari Fraksi PKS, Mulyanto, mengatakan semua harus menegaskan budaya Pancasila merupakan nilai-nilai luhur bangsa yang tetap relevan. “Jangan dikatakan tidak cocok atau di luar konteks”, ucapnya. Diakui pada masa Orde Baru penanaman Pancasila di masyarakat dilakukan secara homogen dan militeristik sehingga dalam era reformasi ada penolakan. Kekosongan penanaman Pancasila di era reformasi bertambah mengkhawatirkan ketika budaya global menggerus budaya gotong royong masyarakat.

Dia mengakui upaya untuk menjaga kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah masyarakat semakin baik sehingga bangsa ini menuju titik seimbang. “Hal demikian tercipta dengan tetap mendasarkan pada Pancasila”, ucapnya. Kehidupan yang semakin baik itu dicontohkan oleh Mulyanto dengan cara pemilihan pimpinan MPR lewat musyawarah dan mufakat. “Ini merupakan teladan yang baik dari para pemimpin”, ungkapnya. Bila pemimpin demikian maka rakyat akan mengikuti contoh yang baik. Mulyanto berharap bangsa ini meski berbeda-beda namun tetap satu rumah, bersatu. “Pancasila tetap relevan”, tegasnya.

Sementara Wakil Ketua MPR, Jazilul Fawaid yang juga menjadi pembicara dalam diskusi itu mengungkapkan, menemukan lima sila dalam Pancasila tidak mudah. “Sehingga Pancasila selalu relevan,” ujarnya.

Goyangan atau ancaman terhadap Pancasila menurut pria asal Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, bukan kali ini saja, tetapi sudah ada sejak Pancasila dilahirkan. “Tetapi Pancasila selalu menang,” tuturnya.

Diakui budaya yang hidup di tengah masyarakat selalu berubah. Perubahan budaya salah satu faktornya adalah dampak teknologi informasi. “Sekarang semua bisa dilakukan lewat aplikasi,” paparnya.

Teknologi yang sarat aplikasi ini menjadi budaya anak-anak muda. Nah, hadirnya teknologi yang semakin mudah dan canggih di satu sisi menguntungkan, tetapi di sisi yang lain sangat mengkhawatirkan. Menurut Jazilul, kelompok anti-Pancasila menggunakan teknologi untuk menyebarkan paham yang bertentangan. “Mari kita gunakan teknologi untuk mensosialisasikan Pancasila,” harapnya.

Kemajuan teknologi menurut mantan aktivis PMII itu sebagai tantangan masa depan. Tantangan terhadap Pancasila menurutnya tak hanya dari sisi teknologi.

‘Money politic’ juga sebagai tantangan. “Ini sangat berbahaya. Money politic inilah yang menurutnya bisa mengubah budaya masyarakat. Untuk itu dirinya merasa senang ketika pemilihan pimpinan MPR dilakukan lewat musyawarah. “Ini suatu hal yang positif,” paparnya.

Dalam soal Sosialisasi Empat Pilar, Jazilul mengatakan hal demikian tak bisa dilakukan sendiri oleh MPR, tetapi harus mendapat dukungan semua pihak. “Sosialisasi harus dilakukan sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga tak monoton,” tambahnya. (*/jpnn)


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler