12 Tahun Keliling Dunia, Reza Budi Sumali Banting Setir Jadi Dosen di Singapura

Kamis, 26 Maret 2015 – 11:25 WIB
KERASAN: Reza Budi Sumali di tempat praktik kampusnya, Management Development Institute of Singapore (MDIS).(Hilmi Setiawan/Jawa Pos)

jpnn.com - Kiprah WNI yang bekerja di negeri tetangga kerap dipandang sebelah mata. Umumnya mengira pekerjaannya kasar dan rendah. Tapi, anggapan itu tidak berlaku bagi Reza Budi Sumali, warga Semarang yang kini menjadi dosen di Management Development Institute of Singapore (MDIS). Berikut catatan wartawan Jawa Pos M. HILMI SETIAWAN yang menemui Reza di kantornya beberapa waktu lalu.

SUASANA ruang praktik Jurusan Tourism and Hospitality (Pariwisata dan Perhotelan) MDIS, Stirling Road, Singapura, Sabtu (7/3) begitu berwarna. Ruangan itu tak berkesan seperti tempat perkuliahan pada umumnya. Kelas di kampus swasta tertua di Singapura tersebut justru tampak seperti miniatur hotel. Ada front office, meja bartender, tempat makan dan minum, hingga ruang tidur khas kamar hotel.

BACA JUGA: Maestro Komponis Indonesia Itu Berpulang

Saat itu bertepatan dengan Open House MDIS 2015. Kampus menyelenggarakan lomba bartender. Para mahasiswa beradu keterampilan meramu aneka minuman dengan buah-buahan yang disediakan panitia. Mereka didampingi beberapa dosen pembimbing. Salah seorang di antaranya bernama Reza Budi Sumali.

Dari namanya, kedengarannya memang tidak asing di telinga orang Indonesia. Dia memang bukan warga Singapura, melainkan pria kelahiran Semarang, 29 Februari 1976. Reza menjadi dosen di MDIS sejak 2008.

BACA JUGA: Petenis Cantik Ini Bersinar setelah Operasi Pengecilan Dada Supernya

Sebelumnya, selama 12 tahun, Reza malang melintang dari hotel ke hotel di sejumlah negara. Setamat kuliah diploma jurusan pariwisata dan perhotelan, dia diterima di Hotel Hilton Kensington, Inggris (1995). Tapi, tak berapa lama dia pindah ke Regency Hyatt Chicago, AS (1996); Grand Hyatt Melbourne (1998–1999); Shangri-La Beijing dan Guangzhou, Tiongkok (2004–2007); hingga terakhir di Shangri-La Singapura (2007). Sementara hotel di Indonesia yang pernah menggunakan tenaga dan pikirannya adalah The Equatorial Hotel dan The Gran Melia, keduanya berada di Jakarta.

Dengan ramah, alumnus Le Cordon Bleu, Paris, itu menceritakan kisah perjalanan hidupnya yang banyak dihabiskan di luar negeri. ”Dari sekian lama perjalanan pekerjaan saya dari hotel ke hotel itu, yang paling lama di Grand Hyatt Melbourne. Sekitar dua tahun,” katanya.

BACA JUGA: 14 Tahun Lalu Sudah Buat Putusan Persis Vonis Sarpin

Dan, setelah 12 tahun ”keliling dunia” itu, Reza akhirnya memutuskan banting setir menjadi dosen di MDIS. Mengapa? Ternyata persoalannya sepele. Dia ingin merasakan libur di akhir pekan, Sabtu dan Minggu. Sebab, selama 12 tahun bekerja di hotel-hotel mewah tersebut, dia mengaku tidak bisa merasakan libur reguler seperti halnya pekerja di bidang yang lain. Sebaliknya, pada weekend itu pekerjaannya justru bertambah banyak. Sebab, tamu hotel biasanya juga lebih ramai daripada hari-hari biasa. ”Saat itulah saya sering berpikir bagaimana bisa merasakan liburan di akhir pekan,” ujar lulusan Royal Melbourne Institute of Technology tersebut.

Sambil terus memendam rasa ingin libur setiap Sabtu dan Minggu, Reza melamar pekerjaan di kampus MDIS dan sebuah kampus swasta lainnya. Awalnya dia tidak mengarahkan lamarannya menjadi staf pengajar di kampus itu. ”Dua-duanya saya lamar. Dan dua-duanya memanggil saya untuk wawancara,” kenangnya.

Reza sempat menghadapi masalah ketika jadwal pemanggilan sesi wawancara dari dua kampus itu bersamaan, yakni sama-sama pukul 10.00. Tapi, setelah dinegosiasi, salah satu jadwal bisa diubah sehingga dia bisa menjalani wawancara kedua kampus dalam waktu berbeda.

Reza sebenarnya tertarik masuk di dua kampus ternama itu. Dia memang diterima di dua kampus tersebut. Namun, akhirnya Reza harus memutuskan memilih salah satu kampus, yakni di MDIS, untuk mengabdikan ilmunya. ”Saya merasa di kampus ini saya cocok. Dan benar, sampai sekarang saya betah di sini,” ungkapnya.

Ketika awal bekerja di MDIS Januari 2008, Reza menyadari bahwa jurusan perhotelan masih gres. Jurusan tersebut baru dibuka sekitar September 2007 atau baru tiga bulan sejak saat Reza masuk. Justru karena itulah dia bisa mengajukan sejumlah fasilitas yang diperlukan untuk menunjang perkuliahan. ”Salah satunya, kami butuh peralatan standar hotel untuk praktik mahasiswa,” katanya.

Menurut Reza, proses studi perhotelan sangat khas. Misalnya, porsi praktik harus lebih banyak daripada teori di kelas. Sebab, ketika menghadapi tamu, karyawan hotel yang profesional tidak akan ditanya soal teori-teori perhotelan oleh tamu. Mereka dituntut memberikan pelayanan yang prima. ”Nah, pelayanan prima itu akan terasah ketika mahasiswa rajin praktik dengan standar hotel berbintang,” tuturnya.

Reza sempat meminta para mahasiswanya untuk memperagakan cara menyajikan makanan kepada tamu. Namun, waktu itu para mahasiswa baru bisa sebatas menata meja. Karena itu, mereka lalu diperkenalkan tata cara memberikan pelayanan makanan dan minuman (food and beverage/F&B) yang benar dan baik.

Sebelum fokus mengajar praktik layanan perhotelan, Reza pernah mendapat tugas mengajar di kelas. Saat itu dia meminta para mahasiswa untuk memilih belajar dengan enak atau belajar dengan keras. Bila ingin belajar dengan enak, Reza akan mengajarnya dengan asal-asalan. Sebaliknya, jika mahasiswa ingin belajar keras, Reza siap membimbing dengan sungguh-sungguh. Para mahasiswa akhirnya sepakat ingin belajar dengan keras.

”Saya bangga mendengar komitmen para mahasiswa,” tandasnya.

Dari ruang kelas, Reza dipindah lagi. Kali ini menjadi manajer di tempat praktikum. Menurut Reza, hasil praktikum siswa tidak bisa dibohongi. Anak yang terampil akan menunjukkan hasil praktik yang baik. Sebaliknya, hasil praktik anak yang malas akan terlihat buruk.

’’Saat praktik, mahasiswa kan tidak bisa menyontek. Yang dipertaruhkan adalah kemampuannya,’’ jelas dia.

Sebagai pembimbing praktik mahasiswa, Reza mengaku mendapat banyak tantangan. Misalnya, menyiapkan mental para mahasiswa untuk memasuki dunia kerja di perhotelan. Sebab, item pekerjaannya beragam. Mulai merapikan tempat tidur hingga menghidangkan menu makanan bagi tamu. Praktikum itu ditujukan untuk membentuk mental yang kuat agar mahasiswa tak cepat menyerah.

Tantangan lainnya terkait urusan bahasa. Dia mengatakan, banyak mahasiswa baru di MDIS yang berbahasa Mandarin. Sebab, banyak mahasiswa berasal dari Tiongkok. Namun, dengan pelatihan yang tekun, akhirnya para mahasiswa itu bisa menguasai bahasa Inggris dengan baik.

Reza mengaku bangga ketika anak didiknya sukses dan bisa diterima di hotel-hotel kelas dunia. Baik di Singapura, Tiongkok, Indonesia, maupun Australia, bahkan Amerika dan Eropa. ’’Kalau lulusan MDIS sukses, kami pun berhak merasa bangga. Itu berarti perkuliahan di sini tidak salah,’’ ujarnya.

Menurut Direktur Bisnis Internasional MDIS Jessie Tan, pihaknya terus berusaha untuk meningkatkan kualitas pembelajaran teori dan praktik. Apalagi, MDIS memiliki beragam fasilitas pendukung dan dosen-dosen ahli, termasuk dalam program studi tourism and hospitality.

”Program studi tourism and hospitality di MDIS dilengkapi fasilitas nyata seperti meja resepsionis, meja bar dan perlengkapannya, mesin kasir, kamar hotel, dan berbagai fasilitas pendukung lainnya. Dosen-dosen kami juga sangat berkualitas dengan latar belakang karir mereka masing-masing, salah satunya Bapak Reza,” kata Jessie.

Pada umumnya, segala yang tersedia di miniatur hotel tersebut sangatlah terlihat mirip seperti yang ada di hotel-hotel mewah. ’’MDIS terus mendukung para mahasiswa tidak hanya dengan teori, tetapi juga dengan keahlian komprehensif agar mereka siap memasuki dunia kerja yang sebenarnya,” tandas Jessie. (*/c9/c10/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Di Atas Kapal, Ibunda Pramugari Khairunissa Berdoa dan Menangis...


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler