jpnn.com - Lembaga pendidikan yang khusus mempelajari sepatu masih sangat sedikit di negeri ini. Namun, sejak 30 tahun lalu, Jeffry Antono, 67, menjadi pionir sekolah ilmu pembuatan sepatu berstandar internasional. Banyak muridnya yang sekarang menjadi ”bos” pabrik sepatu terkenal.
Laporan Agus Wirawan, Jakarta
BACA JUGA: Kisah Haru Mahasiswi Thailand Mencari Ayahnya di Jember
SALAH satu ruangan di rumah mewah di Jalan Taman Daan Mogot VI Nomor 7, Jakarta Barat, tampak berantakan. Kertas-kertas dan sepatu berserakan di meja. Penyebabnya bukan tidak terurus, melainkan di tempat itu setiap hari ada dua–tiga siswa yang bergantian belajar tentang teknik pembuatan sepatu selama dua hingga tiga jam.
Seperti ketika Jawa Pos datang ke rumah dua tingkat itu, seorang perempuan muda asyik menggoreskan ujung pensil ke kertas putih di meja. Rupanya dia sedang membuat sketsa sepatu cewek yang bergaya kasual.
BACA JUGA: Berangkat Gratis ke Jepang setelah Kalahkan 18 Ribu Pendaftar
”Ini salah satu murid saya yang lagi belajar membuat pola sepatu. Dia ambil paket man/lady sport basic class,” ujar pendiri sekolah sepatu Jeffry Antono di rumahnya Jumat lalu (24/7).
Belajar kepada maestro sepatu tersebut tidaklah mudah. Selain tarif cukup mahal, jadwal terbatas. Tarif mahal yang dibanderol Jeffry sebanding dengan nama besarnya di industri sepatu nasional.
BACA JUGA: Sukses Paduan Suara Mahasiswa ITS di Italia
Berdasar brosur yang diberikan Jeffry, tarif paket pelatihan man/lady sport basic class selama 60 jam Rp 12 juta per orang. Juga ada paket lain yang dibuka. Misalnya lady basic class 40 jam Rp 10 juta; lady moccasin 50 jam Rp 15 juta; lady boot 50 jam Rp 13,5 juta; dan lady professional 75 jam Rp 18 juta.
Jeffry juga membuka paket pembuatan sepatu untuk pria. Di antaranya man basic class 40 jam Rp 11 juta; man advance class 45 jam Rp 12 juta; man moccasin 50 jam Rp 13,5 juta; dan man boot 50 jam Rp 15 juta.
Jeffry menuturkan, sekolah sepatu itu didedikasikan untuk mengakomodasi kebutuhan industri sepatu nasional yang terus berkembang. ”Saya satu-satunya yang buka kelas profesional. Di tempat lain ada, tapi hanya teknik dasar. Itu juga milik pemerintah,” sebut dia.
Hampir semua pemilik merek sepatu lokal pernah menjadi murid Jeffry. Dia lantas menyebut beberapa merek sepatu terkenal. ”Apple Green, Pakalolo, Yongki Komaladi, Andre Valentino, Homyped, Sophie Martin, Ifa, Piero, dan banyak lagi yang lain, saya sampai lupa,” ungkapnya.
Di awal-awal membuka usaha, banyak pemilik pabrik sepatu yang belajar secara langsung dari pemilik gelar bachelor of science (BSc) modelista-stylista atau sarjana pembuatan dan perancangan sepatu dari Istituto Tecnico Internazionale Arte Calzaturiera, Milan, Italia, itu. ”Bos atau anak bosnya datang ke saya untuk belajar. Sekarang banyak yang sudah terkenal,” tuturnya.
Awalnya, mereka mengetahui kemampuan Jeffry dari mulut ke mulut. Bahkan, sebagian direkomendasikan oleh pihak pembeli (buyer) dari luar negeri agar barang yang dibuat berstandar internasional.
”Seperti bosnya Yongki Komaladi itu, diminta pembelinya untuk belajar ke saya. Rata-rata order naik setelah memakai sampel atau pola yang saya ajarkan,” ujarnya dengan bangga.
Namun, Jeffry mengungkapkan, membuka kelas di rumah tidak bisa secara rombongan. Sebab, kebanyakan pemilik usaha sepatu tidak menginginkan belajar bersama dengan pesaing.
”Meski satunya buka usaha di Bekasi, satunya di Tangerang, tetap saja tidak mau. Mereka tidak ingin terlihat satu guru satu ilmu. Terpaksa harus diatur jadwalnya supaya tidak bersamaan,” ucap dia.
Biasanya, setelah belajar di rumah Jeffry, para bos pabrik sepatu lantas meminta karyawan masing-masing untuk menimba ilmu. Karena itu, Jeffry terpaksa datang ke pabrik-pabrik untuk menularkan pengetahuannya tentang cara membuat sepatu yang benar mulai pola hingga jadi. ”Bertahun-tahun saya sudah kontrak mengajar di pabrik yang membuat Adidas dan Nike,” ungkapnya.
Perusahaan yang menjadi subkontraktor Adidas dan Nike di Indonesia berani membayar Jeffry ratusan juta rupiah untuk mengajar karyawan-karyawannya. ”Ada yang kelas basic 60 jam Rp 100 juta, intermediate Rp 130 juta, hingga kelas advance Rp 240 juta,” tutur dia sambil memperlihatkan salinan kontrak mengajar di PT Panarub dan PT Adis Dimension untuk 2015.
Karyawan yang diajarnya tidak hanya berasal dari tingkat manajemen, tapi juga bagian penting lain seperti, pembuat pola (pattern development), pembuatan sampel (sample making), hingga bagian pemasaran (marketing). ”Mereka ini tim untuk negosiasi dengan buyer, membuat satu piece untuk sampel. Kalau tim itu tidak dilengkapi pengetahuan yang cukup, bicara dengan buyer tidak akan nyambung,” ucap dia.
Kelas advance, papar Jeffry, khusus mempelajari pembuatan sepatu model moccasin yang memiliki tingkat kesulitan tinggi. Sebab, sepatu jenis itu dibuat hampir tanpa sambungan seperti sarung tangan yang dimasukkan ke kaki. ”Polanya harus tepat, tidak boleh bergelombang karena kaki tidak simetris. Dari ujung sampai belakang, ada besar ada kecil. Jadi, harus sempurna,” tegasnya.
Dia mengaku tahun ini mulai kembali sibuk mengajar di pabrik-pabrik sepatu. Sebab, pesanan dari luar negeri terus meningkat. Hal itu terjadi karena upah minimum regional (UMR) di Tiongkok terus melambung.
Saat ini, papar Jeffry, UMR di Tiongkok sekitar USD 500 per bulan. ”Banyak buyer asing yang mengalihkan pesanan ke Indonesia daripada bayar UMR tinggi di Tiongkok,” lanjut dia.
Di sisi lain, beberapa perusahaan asing seperti Adidas dan Nike menilai kualitas sepatu yang dibuat di Tiongkok maupun Vietnam jauh di bawah Indonesia. Bahkan, beberapa mantan murid Jeffry yang bekerja di Vietnam kembali ke Indonesia. ”Menurut buyer, produksi Tiongkok dan Vietnam banyak keriput sana sini. Ongkos produksi juga mahal,” tambahnya.
Keahlian Jeffry dalam membuat sepatu terdengar sejak lama. Beberapa foto di rumahnya menunjukkan bahwa pria itu sudah dikenal oleh pejabat-pejabat zaman Orde Baru. Banyak kalangan artis dan istri pejabat yang memesan sepatu kepadanya. ”Keluarga Cendana dulu sering pesan sepatu, terutama Mbak Tutut. Saya pergi ke rumahnya, bawa sampel-sampel dan untuk ukur kakinya,” terang dia.
Jeffry mengklaim sebagai orang Indonesia pertama yang kuliah pembuatan sepatu langsung di Italia. Untuk menyelesaikan studi mulai 1981 hingga 1984 itu, dia mengaku mengeluarkan ongkos setara tiga mobil terbaru.
”Kalau sekarang harga mobil Rp 300-an juta, berarti sekitar Rp 900 juta saya habis. Sepertiga dari jual mobil saya sendiri, sepertiga dari kakak saya, dan sepertiga lagi pinjam,” terangnya. Dia beruntung terlahir dari keluarga yang sudah bergerak di bidang industri sepatu. Kakaknya merupakan pemilik pabrik sepatu PT Panarub.
Saat orang belajar ekonomi atau hukum di luar negeri, Jeffry malah memilih untuk mempelajari sepatu. ”Saya dibilang crazy. Tapi, karena kakak melihat keinginan saya begitu besar, akhirnya mendukung. Tapi, saya bilang, passion saya mengajar,” tegasnya.
Seorang murid yang ditemui di rumah Jeffry, Dewin, 21, mengaku tertarik untuk mempelajari ilmu tentang sepatu karena saat ini sedang berfokus mengembangkan bisnis sepatu online. Setidaknya dia berharap bisa mengetahui dasar-dasar kualitas sepatu dan tren yang sedang berkembang di masyarakat.
”Saya harus buat janji dulu untuk belajar langsung dengan Pak Jeffry. Sebab, jadwalnya padat,” sambung dia.
Saat dihubungi secara terpisah, pemilik dan product development Pakalolo Budi mengaku belajar tentang pembuatan sepatu berstandar internasional dari Jeffry pada 2000. Banyak yang dia dapatkan setelah belajar dari Jeffry.
”Saya sebelumnya biasa buat sepatu. Tapi, dari Pak Jeffry, saya dapat tambahan ilmu baru. Apalagi, dia lulusan Italia. Seperti penjual soto, sudah pinter masak, tapi saya diajari supaya lebih enak dan empuk,” jelasnya. (*/end)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tamatan STM Ini Sosok yang Langka
Redaktur : Tim Redaksi