jpnn.com - Hubungan dua Korea belum sepenuhnya adem. Dalam gencatan senjata yang sudah berlangsung 64 tahun itu, kadang-kadang Korea Utara ”nakal”. Jejak lancung itu juga menjadi objek wisata zona demiliterisasi (DMZ).
DOAN WIDHIANDONO, Paju
BACA JUGA: Ada 100 Top Destinasi Kelas Dunia, 6 Milik Indonesia
PUKUL 10.00 lebih, bus yang kini berisi rombongan tur beberapa agen wisata itu meninggalkan taman kenangan Imjingak. Sesuai perintah Moon, sang pemandu wisata, kami menyiapkan paspor.
”Ingat, langsung disiapkan. Buka di halaman yang ada fotonya,” kata Moon, perempuan langsing dengan kulit bak pualam tersebut.
BACA JUGA: Wisman Suka Bertani, Bikin Tempe dan Nasi Goreng Rasa Seribu
Tur yang kami ikuti pada Sabtu (14/10) itu memang punya tiga tujuan utama. Yakni, Stasiun Dorasan, Pos Observasi Dora, dan Terowongan Penyusup III.
Rupanya, Imjingak hanya menjadi semacam halte sebelum kami beranjak ke tempat-tempat utama DMZ Tour.
BACA JUGA: Air Ajaib Bikin Wajah Makin Cantik, Gampang Jodoh
Dan Moon punya ”rumus” untuk menentukan lama kunjungan ke masing-masing tempat tersebut. ”Fifteen-fifteen-one hour,” ujarnya. Lima belas menit-lima belas menit-satu jam.
Artinya, kunjungan ke Stasiun Dorasan hanya seperempat jam. Demikian pula di Pos Observasi Dora. Sedangkan di terowongan, waktu kunjungannya sejam. ”Kenapa begitu singkat?” tanya saya.
Moon menjelaskan bahwa zona demiliterisasi sebenarnya bukan tempat wisata. Itu kawasan terbatas yang dikuasai militer. Terlebih, dua Korea memang tidak benar-benar berdamai.
Mereka ”hanya” menerapkan gencatan senjata sejak 1953. Tapi, pemerintah Korsel akhirnya membuka beberapa titik di zona demiliterisasi untuk menunjukkan harapan perdamaian.
Sekitar seperempat jam dari Imjingak, bus yang kami tumpangi disetop di pos pemeriksaan yang mirip pintu tol.
Sesosok prajurit Korsel langsung naik ke bus. Tanpa berbicara, dia langsung menghampiri tiap kursi penumpang yang sudah siap dengan paspor terbuka.
Prajurit muda berkacamata itu juga tak berkata-kata saat memeriksa. Hanya memegang paspor sebentar, mencocokkan wajah, lalu beres.
Tak sampai dua menit, pemeriksaan seluruh penumpang bus rampung. Kendaraan pun kembali melaju.
Tempat yang kami tuju kali pertama adalah Stasiun Dorasan. Itu adalah stasiun paling utara dalam jalur kereta Gyeongui yang melayani kereta komuter mulai Seoul.
Setelah perjanjian kerja sama antara Utara dan Selatan pada Juni 2000, jalur itu benar-benar dibuka hingga ke Korut. Tepatnya ke zona industri Kaesong.
Wilayah industri itu ada di wilayah Korut. Namun, pengoperasiannya ”dibantu” ahli dan pekerja yang disuplai Korsel. Boleh dibilang, Kaesong adalah bibit-bibit perdamaian Korut-Korsel.
Stasiun Dorasan benar-benar nyambung dengan jalur kereta utara pada Juni 2003. Sayang, kerja sama itu tak abadi.
Berbagai ketegangan dan provokasi mulai 2013–2016 oleh kedua negara membuat Kaesong ditutup tahun lalu. Akibatnya, Stasiun Dorasan pun menjadi stasiun terakhir di wilayah paling utara Korsel.
Wajah Stasiun Dorasan terlihat modern dan rapi. Persis dengan bandara. Tapi sepi. Tak ada penumpang.
Papan-papan dengan tulisan elektronik tak lagi memaparkan jadwal kereta. Ia hanya menunjukkan tulisan kuning tentang sejarah stasiun.
Ada pintu penumpang yang tak lagi pernah dibuka. Di bagian atas ada tulisan To Pyeongyang. Tapi, di baliknya hanya ada kesunyian.
Tak ada lagi kereta lewat. Apalagi sampai mampir ke negeri utara yang awalnya saudara.
Stasiun itu pun menjadi tetenger pedihnya perpisahan kedua negara. Di situ dipajang pidato komplet Presiden George W. Bush saat kedua negara sepakat menyambungkan jalur kereta.
Bush, mantan presiden AS itu, berharap jalur kereta itu membuat seluruh Korea menikmati kemajuan. Dia ingin semenanjung tersebut diikat oleh kerja sama dan perdagangan, bukannya dipisahkan kawat berduri dan rasa takut.
Kawat berduri itu juga dimainkan sebagai seni instalasi di dalam stasiun. Di situ ada sebentuk grand piano hitam yang ruang resonansinya dibiarkan terbuka.
Tampak bahwa dawai-dawai piano itu sudah dimodifikasi. Senarnya diganti kawat berduri.
Dalam prasasti piano bernama Piano of Unification (Piano Persatuan) tersebut, dijelaskan bahwa alat musik itu masih berfungsi. Tapi, warna suaranya berubah. Lebih magis. Lebih menggetarkan.
Dalam kunjungan singkat itu, para turis juga bisa ”seolah-olah” sudah mampir ke Korut. Ada loket yang memajang stempel semacam visa on arrival (visa saat datang). Siapa pun boleh menstempel apa pun sebagai tetenger pribadi. Bak sudah naik kereta ke Pyongyang.
***
Tujuan selanjutnya adalah Pos Observasi Dora. Tempatnya di puncak gunung. Namun, jaraknya hanya 10 menit perjalanan dari Stasiun Dorasan.
Jalannya menanjak dan sedikit berkelok-kelok. Di kiri kanan adalah hutan tempat pertempuran sengit enam dekade silam.
Jejak pertempuran itu masih tampak. Di beberapa bagian hutan terlihat pagar kawat berduri dengan bendera segi tiga merah. Tulisannya, mine. Ranjau!
”Jangan khawatir. Jalannya sudah aman,” ujar Moon. Darren Tran, remaja Australia yang duduk di sebelah saya, sibuk memotret ladang ranjau itu.
Sesuai namanya, puncak itu adalah pos pengamatan. Mengamati ”musuh” tentu. Di situ ada 34 teropong besar. Tiga di antaranya dipagar, khusus untuk kepentingan militer. Pengunjung harus membayar 500 won (sekitar Rp 6 ribu) untuk ”mengintip” Korut.
Lewat teropong, bisa disaksikan beberapa kota Korut. Kalau cuaca bersahabat, tampak pula patung Kim Il-sung, pemimpin tertinggi Korut saat negara itu didirikan pada 1948.
Titik kunjungan terakhir adalah The Third Tunnel atau Terowongan Penyusup III. Letaknya di bawah bukit, sekitar 10 menit perjalanan bus dari puncak Dora.
Terowongan itu adalah satu di antara empat terowongan yang ditemukan di bawah zona demiliterisasi Korea. Ia ditemukan setelah ledakan di bawah tanah terdeteksi pada 1978.
Tentu, pihak selatan menuduh bahwa utaralah yang membangun terowongan untuk melakukan serangan diam-diam.
Dan Utara pun menyangkal dengan mengatakan bahwa terowongan itu adalah bekas tambang batu bara. Meski, isinya adalah batu gamping dengan rembesan air.
Terowongan tersebut kini dijaga sangat ketat meski menjadi objek wisata. Wisatawan yang masuk tak boleh membawa peranti memotret. Semua harus dititipkan di sebuah loker.
Pintu terowongan itu kini adalah lorong beratap melengkung dengan lemari penuh helm proyek di kanan dan kirinya.
Turis wajib memakai helm itu. Jalur selanjutnya adalah jalan menurun 11 derajat sejauh 350 meter dengan dinding beton. Lurus. Mulus.
Di ujung jalan menurun itu ada ruang lebih luas. Di situ ada tiga patung tentara Korut dengan pose seolah-olah sedang menggangsir bumi dengan cangkul dan peledak sederhana. Di situ ada sumber yang terus-menerus mengalirkan air lewat patung kura-kura.
Setelah itu, ada jalan asli yang dibuat penyusup. Lebih sempit. Dindingnya batu kapur basah dengan bau menyerupai lumut.
Dingin. Terowongan itu cukup rendah. Beberapa titik hanya setinggi 161 sentimeter. Lebarnya sekitar 2 meter. Tak heran, satu-dua benturan helm mewarnai perjalanan hening di perut bumi tersebut.
Tentu, terowongan itu tak tembus ke utara. Pihak selatan membeton ujung terowongan, tepat di titik batas Korsel-Korut. Dinding beton itu berlapis tiga dengan dilengkapi CCTV.
Dari tembok beton tersebut, turis putar balik menuju pintu masuk. Karena itu, dengus napas kelelahan mewarnai perjalanan pulang itu. Suara napas turis yang kelelahan menapaki jalur sepanjang total 1,6 kilometer yang berakhir mendaki itu.
Salah satu suguhan wajib selama tur di terowongan itu adalah film pendek tentang sejarah DMZ. Narator film berbahasa Inggris itu menyebut alam DMZ adalah sebuah keajaiban.
Tempat yang tercabik-cabik karena perang itu kini menjadi wilayah subur. Tempat hewan-hewan dan burung liar berkumpul. Terutama lantaran lokasi itu memang steril dari segala aktivitas masal.
Narasi penutup film itu juga manis. ”Korea Selatan telah menikmati mukjizat pertumbuhan ekonomi. Negara yang dulu miskin itu kini menjadi sangat maju. Mari kita nantikan mukjizat lain, yakni perdamaian paripurna di Semenanjung Korea...” (*/c10/dos)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sumber Air Panas Alami Jadi Objek Wisata
Redaktur : Tim Redaksi