jpnn.com, JAKARTA - Pengacara Kapitra Ampera kembali menyoroti gerakan moral Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).
Melalui sebuah artikel yang dia tulis, politikus PDI Perjuangan itu melontarkan tudingan bahwa gerakan KAMI berupaya menggulingkan pemerintahan yang sah.
BACA JUGA: Andi Arief Bermimpi Buruk soal Pak Jokowi dan Mahfud MD, Ah, Abaikan Saja
Padahal, salah seorang Deklarator KAMI Prof Din Syamsuddin sebelumnya telah menyatakan jati diri kelompoknya adalah gerakan moral rakyat dari berbagai elemen dan komponen bangsa.
Menurut Din, gerakan moral itu berjuang bagi tegaknya kedaulatan negara, terciptanya kesejahteraan rakyat, dan terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
BACA JUGA: Jelang Terbit NIP PPPK, Apa Solusi tehadap Masalah Ini?
"KAMI sebagai gerakan moral seluruh elemen dan komponen bangsa yang tiada lain tujuannya untuk meluruskan kiblat negara, meluruskan perjalanan bangsa sesuai cita-cita nasional yang termaktub pembukaan UUD 1945," kata Din dalam jumpa pers pra deklarasi KAMI yang disiarkan langsung via YouTube, Sabtu (15/8) lalu.
Namun Kapitra mencurigai narasi yang dibangun tokoh-tokoh KAMI sebagai upaya menghasut rakyat. Bahkan dia menyitir pernyataan Jenderal (Purn) TNI Gator Nurmantyo saat deklarasi gerakan itu di Bandung, Jawa Barat pada 7 September 2020 lalu.
BACA JUGA: Konon China Melarang Produk Impor Perikanan Asal Indonesia, Begini Ceritanya
Ketika itu, mantan Panglima TNI tersebut menyinggung soal adanya upaya mengganti Pancasila tetapi prajurit hanya diam saja karena takut kepada atasan.
"Kemarin saya ngomong, Pancasila mau diganti kok kita diam ya. Karena takut kepada atasan? Karena ada taat kepada atasan dengan tidak melanggar perintah atau keputusan. Kapan boleh tidak taat kepada atasan dan kapan atasan boleh dibunuh. Ada waktunya," ucap Gatot.
Menurut Gatot, atasan boleh dibantah manakala atasan itu melanggar sumpah yang pertama, yaitu tidak taat kepada NKRI yang berdasarkan UUD 1945, dan tidak memegang teguh hukum dan disiplin perwira.
"Jadi apabila komandan sama-sama ingin mengubah Pancasila, boleh dibunuh. Saya bisa mempertanggungjawabkan. Contohnya ada, G30SPKI, prajuritnya (diperintahkan), cari Untung, hidup atau mati, bunuh. Ya kan. Komandan Brigade, anak buahnya suruh cari, hidup atau mati. Karena mengkhianati Pancasila," tutur Gatot.
Kapitra memberikan penilaiannya terhadap pernyataan Gatot Nurmantyo tersebut dari perspektif hukum pidana.
"Hal ini (pernyataan Gatot-red) membangun opini seakan-akan pemerintah berupaya untuk mengganti Pancasila, sehingga akan timbul gejolak kemarahan rakyat yang menghalalkan upaya anarkis dengan dalih mempertahankan Pancasila," tulis Kapitra, Minggu (20/9).
Berikut artikel lengkap yang ditulis Kapitra:
Upaya Terselubung KAMI Ditinjau Dari Aspek Pidana
Dr. M Kapitra Ampera SH MH.
Deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) pada tanggal 18 Agustus 2020 yang lalu, berimplikasi terhadap suhu politik di Indonesia di tengah negara sedang fokus menghadapi bahaya Pandemi Covid-19.
Memanfaatkan situasi perekonomian dan ancaman kesehatan masyarakat saat ini, kelompok gerakan politik yang bertopeng gerakan moral ini dalam maklumatnya menyebutkan poin-poin yang menggiring opini masyarakat; pemerintah tidak sungguh-sungguh dalam mengatasi Covid-19; menyebabkan resesi ekonomi; melakukan praktik yang menyimpang dari Pancasila; upaya mengganti Pancasila; hingga tuntutan dan desakan kepada lembaga negara terkait proses pemberhentian Presiden (MPR, DPR, DPD, MK) yang tujuannya tak lain adalah untuk menggulingkan Pemerintahan yang sah.
Perbuatan menggulingkan pemerintahan yang sah (omwenteling) termasuk objek perbuatan Makar sebagaimana termuat dalam Pasal 107 KUHP. Perbuatan KAMI yang digagas oleh para tokoh di antaranya mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, diduga Makar dengan cara memprovokasi massa dan membentuk opini menyesatkan yang mengganggu keamanan dan stabilitas nasional.
Gatot Nurmantyo bahkan dalam pidatonya pada Deklarasi KAMI di Jawa Barat tanggal 7 September 2020, menyebut ada upaya penggantian Pancasila dan prajurit takut melawannya, serta hasutan yang tegas menyatakan prajurit boleh melawan bahkan membunuh atasan.
Hal ini membangun opini seakan-akan pemerintah berupaya untuk mengganti Pancasila, sehingga akan timbul gejolak kemarahan rakyat yang menghalalkan upaya anarkis dengan dalih mempertahankan Pancasila.
Makar merupakan tindak pidana berat (felonia implicatur in quolibet protione) yang harus dihukum dengan berat (crimen laesae magestatis omnia alia criminal excedit quoad). R. Soesilo menjelaskan pasal 87 KUHP, makar terjadi apabila telah dilakukan perbuatan pelaksanan (begin van uitvoering).
Secara objektif perbuatan pelaksanaan dilihat jika perbuatan mengandung potensi mendekati delik yang dituju (voluntas reputabitur pro facto), yang dalam hal ini upaya menghasut dan penggiringan opini negatif yang dilakukan KAMI terhadap rakyat dapat dianggap sebagai permulaan pelaksanaan dari suatu bentuk menggulingkan pemerintahan yang sah.
Bahwa di samping itu, adanya niat (voomemen) dan suatu pemufakatan jahat (semanspaning) yang diduga dilakukan oleh KAMI, juga menjadi unsur penting dalam kejahatan makar. Niat dan pemufakatan jahat dapat diketahui dengan adanya pelaksanaan dari niat yang untuk melakukan tindak pidana makar (exteriora indicant interiora).
Dengan demikian, seruan-seruan KAMI yang menggerakkan massa dan membentuk distrust masyarakat terhadap kepada pemerintah sehingga menyebabkan upaya menggulingkan pemerintahan yang sah (omwenteling) dengan cara yang inkonstitusional telah memenuhi unsur Tindak Pidana Makar.
Upaya KAMI dalam membentuk opini-opini negatif terhadap pemerintah juga dapat melanggar ketentuan pasal 160 KUHP dalam Tindak Pidana Penghasutan. Perbuatan ini mendorong, mengajak, membangkitkan semangat orang untuk melakukan sesuatu baik secara lisan maupun tulisan, di tempat yang didengar oleh publik, dengan maksud mengajak orang lain untuk melakukan tindak pidana, melakukan kekerasan kepada penguasa/pemerintah, dan/atau tidak mematuhi peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini perbuatan ajakan yang termuat dalam Maklumat KAMI dapat diduga merupakan pelanggaran terhadap delik penghasutan.
Selanjutnya, ujaran kebencian (hate speech), pemberitaan bohong (hoax), penghasutan, provokasi, serta ajakan untuk melakukan unjuk rasa dalam rangka people power yang saat ini kerap menggunakan media sosial sebagai wadah penyiaran dan penyebarannya, dapat melanggar Ketentuan Pasal 28 ayat 1 jo Pasal 45A ayat 1 Undang-undang No 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Pasal 14 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana.
Indonesia merupakan negara yang sangat menjunjung tinggi demokrasi dan kebebasan rakyatnya dalam berserikat, berkumpul serta mengemukakan pendapat. Namun bilamana kebebasan itu dijadikan alasan untuk melakukan upaya yang dapat mengganggu stabilitas negara, maka pemerintah melalui aparat penegak hukum harus mengawasi dan bertindak tegas terhadap ancaman-ancaman demi menjaga keutuhan, persatuan, dan keamanan bangsa.(fat/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam