jpnn.com - SALAH satu masalah yang membuat hubungan Jepang dan Korea Selatan renggang adalah soal perempuan penghibur pada masa Perang Dunia (PD) II. Tapi, Senin, (28/12) masalah itu terselesaikan. Kedua negara siap menjalin hubungan yang baru.
Para perempuan lanjut usia tampak memperhatikan televisi dengan saksama di House of Sharing, Gwangju, Korsel, kemarin (28/12). Mereka adalah perempuan Korsel yang dulunya dipaksa menjadi perempuan penghibur untuk dipakai tentara Jepang pada masa PD II.
BACA JUGA: Bos Besar Freeport, James R Moffet Mengundurkan Diri
Bukan acara drama Korea yang mereka lihat, namun siaran hasil pertemuan antara menteri luar negeri Jepang dan Korsel yang membahas nasib para budak seks pada era penjajahan tersebut.
''Jika melihat kembali ke belakang, kami telah menjalani hidup dengan dirampas hak-haknya sebagai manusia. Jadi, saya tidak bisa benar-benar merasa puas (dengan kesepakatan yang sudah dicapai, Red),'' ujar mantan perempuan penghibur tentara Jepang Yoo Hee-nam, 88.
BACA JUGA: Reunian, 39 Mantan Teman Sekelas Kaget Terima Hadiah iPhone 6s
Meski merasa kurang puas, Yoo akan mengikuti keputusan pemerintah. Sebab, resolusi masalah tersebut secara legal sudah dilakukan cukup lama.
Dalam kesepakatan yang telah dicapai, pemerintah Jepang bakal memberikan JPY 1 miliar (sekitar Rp 113,6 miliar) kepada para perempuan penghibur yang telah lanjut usia itu. Uang tersebut bukanlah kompensasi, melainkan proyek pengembalian martabat para perempuan itu.
BACA JUGA: Efek Kebijakan Dua Anak Di Tiongkok Tidak Signifikan Atasi Krisis
Uang tersebut tidak akan diserahkan secara langsung kepada mereka, tetapi dikelola pemerintah.
Bukan hanya itu. Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe juga meminta maaf secara langsung dan mengakui bertanggung jawab atas masalah tersebut.
Korsel sendiri diminta untuk mengambil patung perempuan penghibur yang diletakkan di depan Kedutaan Besar Jepang di Seoul pada 2011. Namun, untuk masalah itu, Korsel masih pikir-pikir. Kedua negara juga sepakat untuk tidak lagi saling kritik masalah budak seks pada zaman PD II tersebut di forum internasional.
''Kesepakatan ini sudah final dan tidak bisa diubah jika Jepang memenuhi segala tanggung jawabnya,'' ujar Menteri Luar Negeri Korsel Yun Byung-se pasca pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Jepang Fumio Kishida di Seoul kemarin.
Kishida telah mengungkapkan permintaan maaf setulusnya kepada para perempuan yang kehormatan dan martabatnya telah terluka oleh militer Jepang. ''Dari sudut pandang ini, pemerintah Jepang bertanggung jawab,'' ujar Kishida.
Setelah kesepakatan tersebut, PM Jepang Shinzo Abe menelepon Presiden Korsel Park Geun-hye untuk meminta maaf seperti yang dilakukan Kishida.
Dia menegaskan penyesalannya karena para perempuan itu telah mengalami rasa sakit, baik fisik maupun mental, yang luar biasa. ''Jepang dan Korsel saat ini memasuki era baru. Kita seharusnya tidak menarik masalah ini kepada generasi selanjutnya,'' terang Abe kepada para jurnalis setelah menelepon Park.
Park menjelaskan bahwa kesepakatan tersebut penting. Sebab, para perempuan penghibur itu sudah lanjut usia. Tahun ini saja sudah ada sembilan yang meninggal dunia. Saat ini, ada 46 perempuan penghibur Korsel yang masih hidup. ''Saya harap sakit secara mental yang diderita para perempuan penghibur yang telah lanjut usia ini bisa terobati,'' ujar Park.
Selama Perang Dunia Kedua, ada 200 ribu perempuan penghibur yang diperuntukkan militer Jepang. Mayoritas adalah penduduk Korea. Sisanya berasal dari Tiongkok, Filipina, Indonesia, dan Taiwan. (AFP/Reuters/BBC/CNN/sha/c6/tia)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tiongkok Resmi Akhiri Kebijakan Satu Anak
Redaktur : Tim Redaksi