jpnn.com - Jewer telinga adalah hukuman khas yang dilakukan guru-guru di masa lalu. Hukuman itu sudah tidak banyak dilakukan sekarang.
Para guru sudah tidak berani lagi menjewer telinga murid-murid yang nakal, karena bisa-bisa malah masuk penjara terjerat undang-undang perlindungan anak.
BACA JUGA: Memanas! Coki Aritonang Menyomasi Edy Rahmayadi
Kali ini terjadi insiden jewer telinga yang cukup bikin heboh, karena yang menjewer bukan guru melainkan Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi. Si penerima hukuman jewer juga bukan murid SD, tetapi seorang pelatih cabang olahraga biliar bernama Coki Aritonang.
Insiden jewer telinga itu terjadi pada Senin (27/12) dalam acara penyerahan bonus untuk atlet Sumut yang berprestasi dalam Pekan Olahraga Nasional (PON) Papua.
BACA JUGA: Dipermalukan Edy Rahmayadi, Coki Aritonang: Bagaimana Saya Menghilangkan Trauma Ini
Ketika sedang memberi sambutan, tetiba Edy Rahmayadi murka kepada Coki Aritonang yang dilihatnya tidak ikut bertepuk tangan bersama lainnya. Edy marah karena menduga Coki tertidur di tengah acara.
Edy kemudian memanggil Coki naik ke atas panggung dan menanyainya mengapa tidak ikut bertepuk tangan. Edy kemudian menjewer kuping Coki dan menyebutnya sebagai sontoloyo.
BACA JUGA: Seusai Dibantai Thailand 0-4, Asnawi Mangkualam Sampaikan Kalimat Menyentuh Ini
Edy bahkan kemudian mengusir Coki dari ruang acara dan minta pengurus Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Sumut mengevaluasi Coki.
Coki tidak terima dengan perlakuan itu. Ia merasa dipermalukan di depan umum. Coki pun melayangkan somasi kepada Edy Rahmayadi dan menuntutnya meminta maaf secara terbuka. Coki mengancam akan melaporkan Edy ke polisi kalau tidak mau minta maaf.
Coki membantah tertidur di tengah acara. Coki tidak mau beretepuk tangan karena pidato Edy Rahmayadi dianggapnya biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa. Malah, menurut Coki, selama ini, Edy Rahmayadi tidak punya perhatian kepada olahraga Sumatera Utara.
Sebagai provinsi besar prestasi olahraga Sumut jauh ketinggalan dibanding provinsi besar lainnya. Pada PON di Papua Oktober lalu Sumut hanya berada di urutan ke-13 dari 34 provinsi. Sumut hanya memperoleh sepuluh medali emas.
Capaian ini jauh ketinggalan dari tiga provinsi besar Jawa Barat, DKI, dan Jawa Timur yang masuk tiga besar. Bahkan, dibanding provinsi kecil seperti Lampung dan NTB, Sumut jauh ketinggalan. Dua provinsi kecil itu konsisten berada di lima besar atau setidaknya sepuluh besar.
Pada PON Papua ini Sumut mematok target masuk sepuluh besar, tetapi ternyata meleset. Meski demikian, Sumut mendapat kehormatan untuk menjadi tuan rumah PON ke-21 yang rencananya akan digelar pada 2024. Sumut akan menjadi tuan rumah bersama Provinsi Aceh.
Biasanya, kalau sudah menjadi tuan rumah barulah mengebut mengejar target juara, atau setidaknya masuk tiga besar. Tuan rumah Papua yang biasanya hanya bisa berada di sepuluh besar, tahun ini bisa bercokol di empat besar.
Sebagai bakal tuan rumah Sumut pasti mematok target tinggi, misalnya juara umum. Target semacam ini sebenarnya tidak masuk akal karena rekam jejak prestasi yang tidak meyakinkan.
Namun, ini bukan sekadar target prestasi, tetapi lebih banyak sebagai target politik. selalu ada ambisi terselubung di balik target muluk itu.
Jalan yang ditempuh biasanya pintas dan instan. Paling umum adalah membeli atlet dari luar daerah. Selain itu, tuan rumah biasanya bisa memasukkan cabang olahraga dan nomor-nomor unggulan.
Tuan rumah biasanya juga diuntungkan oleh faktor-faktor nonteknis, terutama dalam cabang olahraga yang tidak terukur.
Nama Edy Rahmayadi sebagai panglima Kostrad tidak dikenal publik. Namanya baru dikenal setelah menjadi ketua umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) pada 2016. Selama memimpin PSSI tidak banyak prestasi yang ditorehkan Edy Rahmayadi. Dia kurang fokus karena sibuk mencalonkan diri sebagai Gubernur Sumatera Utara.
Edy Rahmayadi terpilih sebagai Gubernur Sumut pada 2019 dan masih merangkap sebagai ketua PSSI. Namun, terlihat jelas bahwa Edy sudah kehilangan kontrol terhadap PSSI. Selama masa kepengurusannya banyak demo yang menuntutnya mundur. Akhirnya Edy Rahmayadi mundur dari PSSI pada 2019.
Penyakit lama masih menjadi penyakit menahun yang kronis di PSSI. Kepemimpinan PSSI di bawah Mochamad Iriawan sekarang ini juga diwarnai oleh persoalan yang sama dengan pemimpin sebelumnya. Jauh-jauh hari sudah muncul tengara bahwa Iriawan akan mengikuti jejak Edy Rahmayadi untuk memburu jabatan politik.
Jalan pintas, budaya instan, dan ambisi politik, menjadi faktor yang memperberat kemajuan olahraga di Indonesia. Para pengelola olahraga mempunyai agenda politik terselubung dan memanfaatkan olahraga sebagai sarana ‘’panpol’’, alias panjat politik.
Di lingkungan regional Asia Tenggara pun Indonesia sudah tidak dianggap lagi sebagai kekuatan yang diperhitungkan. Prestasi olahraga Indonesia merosot drastis dibanding dengan prestasi semasa Orde Baru. Di era itu Indonesia menjadi juara umum pekan olahraga Asia Tenggara, SEA Games, sebanyak tujuh kali.
Era sekarang, jangankan juara umum, masuk tiga besar saja kita terengah-engah.
Final sepak bola Piala AFF melawan Thailand ini menjadi cermin betapa lebarnya jurang ketertinggalan kita dari negara-negara. Kekalahan 0-4 (leg pertama) dari Thailand menunjukkan betapa besarnya pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan.
Jalan pintas instan dilakukan dengan melakukan naturalisasi pemain-pemain asing dan menjadikannya sebagai warga negara Indonesia. Namun, proyek naturalisasi ini gagal menghasilkan prestasi.
Buktinya sampai sekarang Indonesia tidak pernah menjadi juara di level Asia Tenggara. Belasan atau malah puluhan pemain naturalisasi menumpuk tidak berguna.
Asa untuk juara kali ini sudah hampir pasti lenyap. Harapan sudah terbang. Yang bisa kita lakukan hanyalah menyelamatkan muka jangan sampai kebobolan gol lebih banyak lagi. Keajaiban memang bisa terjadi di sepak bola.
Namun, kalau Indonesia bisa membuat keajaiban dengan membantai Thailand lima gol tanpa balas, maka yang terjadi bukan sekadar ajaib tapi mukjizat.
Iming-iming bonus Rp 12 miliar dari Presiden Jokowi tidak cukup menjadi tambahan motivasi. Bonus ini termasuk besar, apalagi selama ini urusan bonus masih menjadi kontroversi dan perang komentar antara atlet dengan pemerintah.
Atlet bulu tangkis yang memenangi turnamen Piala Thomas harus menunggu cukup lama untuk memperoleh bonus dari pemerintah. Bonus cair setelah terjadi saling adu argumen di media. Bahkan, ketika bonus sudah cair pun masih terjadi perdebatan dan saling adu otot.
Cabang olahraga bulu tangkis menjadi kebanggaan nasional selama berpuluh tahun. Indonesia melahirkan maestro kelas dunia dari cabang olahraga ini. Namun, dalam 20 tahun terakhir Indonesia kehilangan kedigdayaan itu. Piala Thomas yang biasanya menjadi langganan Indonesia sekarang terasa menjadi barang mewah yang tidak terjangkau.
Piala Thomas bisa direbut kembali, tetapi Merah Putih tidak bisa berkibar karena Indonesia sedang terkena sanksi lembaga doping internasional. Di dalam negeri pun ada upaya untuk mendegradasi capaian itu. Karena itu pula bonus yang dijanjikan tersendat-dendat pencairannya.
Dunia sudah makin maju. Indonesia harus melakukan banyak penyesuaian. Model pembinaan bulu tangkis ala Pelatnas Cipayung yang sudah berumur setengah abad perlu penyegaran. Model pembinaan yang masih ‘’old fashioned’’ ini membuat banyak bakat lari ke luar negeri.
Sampai sekarang status atlet bulu tangkis masih mengambang antara amatir dan profesional. Harus ada ketegasan status supaya para atlet lebih bebas menentukan langkahnya. Ketidakjelasan status ini menjadi salah satu penyebab terjadinya ‘’brain drain’’. Atlet dan pelatih bulu tangkis Indonesia banyak yang lari ke luar negeri.
Rumput tetangga memang selalu terlihat lebih hijau, apalagi ketika rumput di halaman kita meranggas karena kemarau panjang. (*)
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror