Jimly Asshiddiqie Bicara Pentingnya Penataan Kembali Kelembagaan MPR, DPR, dan DPD

Senin, 19 Agustus 2024 – 09:12 WIB
Anggota MPR dari Kelompok DPD Prof Jimly Asshiddiqie saat berbicara dalam seminar bertema 'Refleksi Ketatanegaraan : Quo Vadis MPR RI' yang diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Konstitusi di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen Jakarta, Minggu (18/8). Foto: Dokumentasi Humas MPR RI

jpnn.com, JAKARTA - Anggota MPR dari Kelompok DPD Prof Jimly Asshiddiqie mengharapkan pimpinan MPR saat ini perlu membuat rekomendasi kepada pimpinan lembaga periode 2024-2029 untuk melakukan perubahan atau amandemen UUD NRI Tahun 1945.

Menurut Jimly, perubahan atau amendemen UUD 1945 seharusnya bukan hanya menyangkut menghidupkan kembali Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).

BACA JUGA: Buka Seminar Hari Konstitusi, Bamsoet Ungkap MPR Rekomendasikan Usulan Amandemen UUD 1945

“Perubahan (amandemen) itu jangan hanya menyangkut soal menghidupkan kembali PPHN (GBHN) yang sudah disepakati fraksi di MPR selama dua periode terakhir, tetapi harus mengevaluasi konstitusi secara menyeluruh, termasuk pentingnya penataan kembali kelembagaan MPR, DPR, dan DPD,” kata Jimly dalam seminar dalam rangka memperingati Hari Konstitusi di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen Jakarta, Minggu (18/8).

Jimly mencontohkan MPR yang diidealkan para pendiri bangsa adalah penjelmaan seluruh rakyat yang merupakan penggabungan dari tiga sistem perwakilan, yaitu perwakilan politik (melalui partai), utusan daerah (perwakilan daerah di DPD), dan utusan golongan.

BACA JUGA: Arsul Paparkan Syarat Penting Untuk Amandemen UUD 1945

Namun pada masa reformasi, utusan golongan ditiadakan.

Padahal menurut Jimly, eksistensi utusan golongan jangan dihilangkan.
"Karena itu muncul ide baru untuk menghidupkan kembali utusan golongan agar MPR benar-benar menjadi penjelmaan seluruh rakyat,” kata Guru Besar Hukum Tata Negara ini.

BACA JUGA: Bedah Buku PPHN Tanpa Amandemen, Bamsoet Ungkap Alasan Negara Butuh Peta Jalan Model GBHN

Selain itu, Jimly mengusulkan kedudukan MPR bisa diperkuat sebagai forum aspirasi rakyat Indonesia.

Menurut Jimly, dengan menjadi forum aspirasi rakyat, rakyat tidak akan menggelar demo atau unjuk rasa di mana-mana, melainkan datang ke MPR untuk menyalurkan aspirasinya.

“Ini menjadi pekerjaan MPR yang akan datang sebagai rumah rakyat supaya aspirasi rakyat bisa tersalurkan, karena MPR adalah rumah rakyat,” jelas mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini.

Jimly juga menyebutkan kewenangan MPR yang ada sekarang ini pun perlu diperbaiki.

Misalnya, kewenangan melantik presiden dan wakil presiden dalam sidang paripurna.

“Padahal selama ini MPR tidak melantik presiden dan wakil presiden. Pimpinan MPR hanya membuka sidang paripurna dan mempersilakan presiden dan wakil presiden mengucapkan sumpahnya sendiri. Seharusnya, pimpinan MPR juga memandu pelantikan dan pengucapan sumpah presiden dan wakil presiden,” terangnya.

Jimly juga memberikan saran mengenai Sidang Tahunan MPR yang sudah menjadi konvensi ketatanegaraan.

Menurutnya, agenda tersebut harus dipisahkan dengan sidang paripurna DPR mendengarkan nota keuangan APBN.

Dia menjelaskan Sidang Tahunan MPR berisi pidato kenegaraan presiden menyambut HUT Kemerdekaan RI.

Presiden menyampaikan pidato kenegaraan di depan sidang paripurna MPR.

Sementara itu, sidang penyampaian nota keuangan APBN yang menjadi forum DPR perlu dipisah waktunya dengan Sidang Tahunan MPR, bukan di waktu yang sama pada 16 Agustus.

"Ini tidak perlu diatur dalam undang-undang, tetapi bisa menjadi praktik ketatanegaraan,” saran Jimmly.

Selain Jimly, turut berbicara dalam seminar bertema 'Refleksi Ketatanegaraan : Quo Vadis MPR RI', yakni Yudi Latief, dan Jimmy Z. Usfunan.

Hadir dalam seminar yang dibuka Ketua MPR Bambang Soesatyo ini, antara lain Wakil Ketua MPR Fadel Muhammad dan Hidayat Nur Wahid, anggota MPR, pimpinan alat kelengkapan MPR, pimpinan komisi kajian ketatanegaraan.

Selain itu juga hadir Plt Sekretaris Jenderal MPR Siti Fauziah dan pimpinan Setjen MPR, serta diikuti civitas akademika perwakilan dari 13 perguruan tinggi di Jabodetabek.

Plt Sekretaris Jenderal MPR Siti Fauziah menyampaikan penyelenggaran seminar dalam rangka memperingati Hari Konstitusi bertema 'Refleksi Ketatanegaraan: Quo Vadis MPR RI' ini dimaksudkan sebagai refleksi sekaligus proyeksi eksistensi MPR di masa depan.

“Melalui proses refleksi dan proyeksi ini diharapkan kita dapat mengetahui apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan MPR, pelajaran baik di masa lalu yang harus kita pertahankan, dan pengalaman buruk yang harus kita tinggalkan," terang Siti Fauziah.

Selain itu, lanjut Siti Fauziah, melalui seminar ini juga diharapkan bisa diketahui arah MPR di masa depan.

“Kami senantiasa terbuka atas perkembangan ketatanegaraan Indonesia di masa depan,” ujarnya.

Menurut Siti Fauziah, perubahan kedudukan, wewenang dan tugas MPR sebagai akibat perubahan UUD 1945 tidak mengurangi peran MPR sebagai lembaga negara yang mengemban visi sebagai rumah kebangsaan, pengawal ideologi Pancasila, dan kedaulatan rakyat.

“MPR tetap memiliki tugas yang mulia, yaitu membangun karakter bangsa melalui sosialisasi Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika,” tegas Siti Fauziah.

Namun, Siti Fauziah mengungkapkan setelah perjalanannya lebih dari 20 tahun sejak perubahan UUD, muncul berbagai aspirasi masyarakat yang menghendaki adanya pedoman dalam pembangunan nasional dalam bentuk Pokok-Pokok Haluan Negara, menghadirkan kembali unsur Utusan Golongan dalam komposisi keanggotaan MPR, dan lain sebagainya yang layak dipertimbangkan.

Dia menambahkan dari seminar ini diharapkan melahirkan pemikiran yang komperatif dalam membahas arah serta masa depan MPR di dalam dinamika kebangsaan yang terus berkembang.

"Kemudian memperkuat komitmen untuk menjaga konstitusi dan memperkokoh MPR sebagai lembaga negara yang dapat mengawal arah masa depan bangsa dengan lebih baik,” pungkasnya. (mrk/jpnn)


Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Sutresno Wahyudi, Sutresno Wahyudi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler