Jimly Asshiddiqie Menyarankan KPK Tiru Polri

Kamis, 08 Maret 2018 – 07:02 WIB
Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie. Foto: dokumen JPNN.Com

jpnn.com, JAKARTA - Rencana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan nama-nama calon kepala daerah yang menjadi tersangka baru kasus korupsi juga mendapat tanggapan Pakar Hukum Jimly Asshiddiqie.

Jimly menyarankan agar KPK meniru Polri. Menurut dia, penetapan tersangka lebih baik dilaksanakan setelah pilkada serentak selesai.

BACA JUGA: Umumkan Calon Kada jadi Tersangka Jangan Sampai Picu Gejolak

”Saran saya, lebih baik sikap Polri,” imbuh mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Tentu, dia punya alasan kuat.

”Tidak mencampuradukan proses politik dan proses hukum,” kata dia. Selain itu, juga untuk menjauhkan KPK dari citra negatif dan menjaga lembaga antirasuah dari politisasi.

BACA JUGA: Bidik Calon Kepala Daerah, KPK Panen Kritik

Meski integritas KPK tidak diragukan, Jimly menyampaikan bahwa tetap sulit membayangkan tidak ada persepsi apabila KPK menetapkan cakada sebagai tersangka sebelum pilkada serentak diselenggarakan.

”Jadi, supaya penegakan hukum itu murni tunggulah. Ini kan soal seni menetapkan tersangka,” ucap pria yang dipercaya sebagai ketua umum Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) itu.

BACA JUGA: Beberapa Calon Kada di 3 Wilayah Berpeluang jadi Tersangka

Saat ini, lebih baik KPK mengumpulkan barang bukti sehingga tidak bisa dibantah lagi.

Jangan sampai, sambung dia, hukum pidana dijadikan alat politik. ”Itu yang harus dicegah,” ujar Jimly.

Menurut pria asal Palembang itu, cara mencegah yang tepat adalah menetapkan tersangka pascapilkada. Bukan sebelum pilkada berlangsung.

”Belum tentu juga dia (cakada berpotensi tersangka KPK) menang,” ucapnya.

Jika terus dilakukan, bukan tidak mungkin penetapan tersangka sebelum pilkada bakal berpengaruh pada indeks demokrasi. ”Makin rusak,” imbuhnya.

Sebab, cakada yang sudah terdaftar kemudian ditetapkan tersangka tidak bisa mengundurkan diri. Mereka tetap harus bertarung dalam pilkada.

Contohnya calon gubernur NTT sekaligus Bupati Ngada Marianus Sae. Dia sudah menjadi tersangka juga berstatus tahanan KPK.

Tapi, tidak bisa mundur dalam kontestasi pilkada di tempat asalnya. ”Kalau misalnya 20 orang saja (dari cakada di 171 daerah) jadi tersangka, kacau itu,” ucap Jimly.

Apalagi jika mengingat perlu ada kearifan dalam penetapan seseorang menjadi tersangka. Seharusnya, masih kata Jimly, KPK bisa menetapkan tersangka pascapilkada.

”Melihat rasa keadilan yang tumbuh dalam dinamika kehidupan bermasyarakat. Ini kan soal kearifan,” beber Jimly.

Bukannya tidak boleh menetapkan cakada sebagai tersangka. Melainkan memundurkan penetapan tersangka agar proses hukum dan proses politik terpisah.

Menang atau tidak, cakada yang ditetapkan tersangka oleh KPK tetap harus melalui proses hukum.

”Kalau dia menang. Diumumkan tersangka, nggak jadi (kepala daerah). Tapi, sudah selesai pilkadanya. Jadi yang bersalah itu pribadi,” beber Jimly.

Kecuali jika KPK melaksanakan operasi tangkap tangan (OTT). ”Kalau tertangkap tangan, langsung harus ditindak,” ujarnya. Sebab, sudah pasti ada bukti dan fakta yang tidak bisa dibantah dalam setiap OTT.

Ketua Bidang Media dan Penggalangan Opini Partai Golkar Tubagus Ace Hasan Syadzily mengingatkan, bahwa sudah ada kesepakatan antar penegak hukum termasuk KPK, bahwa kasus yang melibatkan pasangan calon akan diselesaikan di luar tahapan pilkada.

”Kesepakatan itu ada, terkecuali bagi yang (kena) OTT (Operasi Tangkap Tangan, red). Kalau itu kami tidak bisa intervensi,” kata Ace yang juga anggota Komisi II DPR itu.

Menurut Ace, apa yang disampaikan Ketua KPK adalah bentuk kehati-hatian, karena KPK tidak bisa mengumumkan tanpa ada bukti kuat.

Karena itu, pernyataan Ketua KPK itu harus menjadi warning bagi para calon kepala daerah. ”Supaya hati-hati jangan sampai menggunakan cara-cara yang koruptif,” ujarnya.

Berbeda dengan Ace, anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengkritik cara ketua KPK. Dalam hal ini, sikap ketua KPK yang menyatakan akan menjerat para calon kepala daerah menunjukkan bahwa yang bersangkutan cenderung menggunakan pendekatan masa depan dalam penegakan hukum.

”Penegak hukum itu tidak boleh pakai future tense, pakainya present tense. Grammar-nya harus itu, hari ini ada dua alat bukti umumkan siapa saja,” kata Arsul mengingatkan.

Sekretaris Jenderal DPP PPP itu mengingatkan agar KPK tidak membuka wacana baru, yang membuat publik bertanya-tanya siapa calon kepala daerah yang menjadi tersangka.

Dia mengingatkan, dulu KPK pernah memberikan stempel spidol merah dan kuning terhadap calon menteri yang akan dipilih Presiden Jokowi.

Nyatanya, sampai saat ini tidak jelas proses penegakan hukum terhadap sosok yang diberi tanda spidol itu.”Menurut saya KPK secara tidak sadar melakukan politisasi terhadap proses hukum,” tandasnya. (bay/idr/syn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tunggu, Ada Beberapa Calon Kada Lagi Bakal Dibekuk KPK


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler