jpnn.com - JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) tidak bisa berbuat banyak terkait syarat selisih dua persen suara perolehan agar dapat mengajukan gugatan sengketa penetapan hasil pilkada ke lembaga tersebut.
Pasalnya, aturan termaktub dalam Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Karena itu, sebelum direvisi dan tidak ada pihak yang mengajukan judicial review, maka syarat tetap berlaku sebagai dasar bagi MK untuk dapat menerima gugatan pasangan calon.
BACA JUGA: Mendagri: Paslon Harus Legowo, Jangan Marah
"Peraturan MK-nya dibuat mengikuti ketentuan undang-undang. Jadi yang salah undang-undangnya. Bukan MK-nya. Tapi memang angka dua persen itu terlalu kaku dan ketat. Cuma sekali lagi, undang-undangnya mengatur demikian," ujar Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshidiqqie, Kamis (24/12).
Atas aturan tersebut, maka kemungkinan dari sekitar 139 gugatan yang masuk ke MK, hanya 5-6 perkara yang memenuhi syarat untuk dapat disidangkan. Kondisi ini justru menjadi perhatian serius DKPP, mengingat kemungkinan akan banyak pengaduan ke lembaga tersebut.
BACA JUGA: Menteri Tjahjo Apresiasi Polri, TNI, dan BIN Redam Situasi Memanas
"Bisa jadi 134 (penggugat yang kemungkinan perkaranya ditolak MK,red), memanfaatkan DKPP sebagai lampiasan kekecewaan pada penyelenggara. Karena itu kami harus antisipasi, mengingatkan pada semua paslon dan tim sukses, DKPP hanya berurusan dengan kode etik penyelenggara. Tidak ikut campur dalam penetapan hasil," ujar Jimly.
Karena itu, bagi penggugat yang selisih suaranya melewati angka dua persen dari perolehan suara terbanyak, Jimly menyarankan lebih baik mengucapkan selamat pada pemenang. Karena DKPP bukan tempat pelampiasan.
BACA JUGA: KETERLALUAN! Ratusan yang Menggugat, Cuma 6 Perkara yang Mungkin Disidang
"Kalau jauh bedanya, ya sudah segera saja ucapkan selamat, gitu, ya kan," ujar Jimly.(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sah, Jarot-Askiman Pimpin Sintang sampai 2021
Redaktur : Tim Redaksi