Diskusi Perppu Ormas

Jimly: Tergantung Penilaian Subjektif Presiden

Rabu, 27 September 2017 – 23:25 WIB
Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie (tengah) saat berbicara dalam diskusi bertajuk “Menakar Kegentingan Makar: Urgensi Perppu Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Ormas” di Gedung DPR, Rabu (27/9). Foto: Friederich Batari/JPNN.com

jpnn.com - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengatakan dari sisi teori hukum, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) merupakan UU darurat karena kegentingan yang memaksa. Namun, menurut Jimly, dalam praktiknya tergantung penilaian subjektif presiden lalu kemudian dinilai objektif DPR.

Jimly menyampaikan hal itu saat berbicara dalam diskusi bertajuk “Menakar Kegentingan Makar: Urgensi Perppu Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Ormas” di Ruang Rapat Fraksi PKB DPR RI di Gedung Nusantara I, Jakarta, Rabu (27/9).

BACA JUGA: Jimly Asshidiqqie Berpeluang jadi Capres Alternatif

Pembicara lain dalam diskusi ini adalah Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi PKB Lukman Edy, Pimpinan Komisi VIII DPR RI A Malik Haramain, Ketua PP Lakspedam NU, Dr. H. Rumadi.

Pada kesempatan itu, Jimly mengingatkan agar tidak terlalu royal membuat Perppu. Dia menyebutkan, pada era Soeharto selama 32 tahun hanya mengeluarkan 8 Perppu. “Mudah-mudahan di era Presiden Jokowi tidak banyak membuat Perppu,” katanya

BACA JUGA: Umat Islam Diimbau Tak Terprovokasi Aksi 299

Jimly mempertanyakan mengapa pembubaran ormas yang diatur dalam Perppu Ormas tidak melalui mekanisme pengadilan sehingga kalau Perppu Ormas diterima harus ada perubahan sekaligus.

Menurut dia Perppu Ormas harus disikapi dengan bijak misalnya ketentuan pidana didalamnya harus dikritisi namun sebenarnya perppu tersebut tidak terlalu perlu karena peraturan di UU Ormas yang lama sudah lengkap.

BACA JUGA: Zulkifli Hasan Gelar Akad Nikah Putra Ketiganya

“Namun karena sudah menjadi Perppu dan diuji, maka diterima saja dahulu namun langsung diperbaharui,” ujarnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy mengatakan Komisi II DPR mengusulkan dua opsi terkait Peraturan Perppu Nomor 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Pasalnya, ada beberapa pasal yang dihilangkan dari UU Ormas lama sehingga menimbulkan pertanyaan publik.

“Mana tahu ada rezim yang tidak suka dengan NU karena itu kita cari jalan tengah, misalnya kebiasannya tidak boleh dilakukan perubahan pasal demi pasal dalam Perppu sehingga perlu ada terobosan ketatanegaraan yaitu pertama bisa tidak kita ubah satu atau dua pasal,” kata

Dia mengatakan kalau antara DPR dengan pemerintah sepakat mengubah satu atau dua pasal kemudian hasilnya dibawa ke paripurna dan ditetapkan sebagai UU.

Politisi PKB itu menjelaskan terobosan kedua, satu pekan setelah Perppu disetujui, dilakukan revisi terhadap beberapa pasal seperti yang dilakukan dalam Perppu Pilkada karena ada banyak pasal yang aneh sehingga dilakukan revisi.

“Ini bisa menjadi solusi, kemungkinan kami akan mengambil jalan kedua, sehingga ketentuan tentang pengadilan dan Mahkamah Agung tetap ada di UU Ormas,” ujarnya.

Lukman mengatakan di internal Komisi II ada yang pro dan kontra terkait Perppu tersebut sehingga akan mengundang beberapa ormas untuk dimintai pendapatnya seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Menurut dia dalam Perppu itu ada beberapa pasal yang dihilangkan dari UU Ormas yang lama seperti penghapusan fungsi pengadilan dalam membubarkan ormas sehingga dinilai menjadi persoalan bagi masa depan ormas di Indonesia.

“Sudah terjadwalkan apakah menolak atau menerima pada tanggal 24 Oktober 2017,” katanya.(fri/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... FPKB Segera Selesaikan Pembahasan Draf RUU LPKP


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler