Jin Buang Anak

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Selasa, 25 Januari 2022 – 13:47 WIB
Dhimam Abror Djuraid. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Dalam berkomunikasi sehari-hari masyarakat punya idiom atau ungkapan khusus yang dipakai untuk melancarkan komunikasi dan pergaulan.

Idiom-idiom itu bisa bermakna isoterik, atau hanya dipahami di lingkungan tertentu saja, atau bisa juga bermakna esoterik yang bisa dipahami oleh masyarakat umum.

BACA JUGA: Membela Edy Mulyadi, Tifatul Jelaskan Arti Tempat Jin Buang Anak, Oh Begitu

Banyak idiom-idiom lokal yang tetap menjadi ungkapan lokal. Namun, ada juga idiom lokal yang kemudian berkembang menjadi idiom umum. Orang Surabaya berbicara dengan bahasa Jawa dialek jawa timuran yang mempunyai idiom-idiomnya sendiri.

Ungkapan ‘’jancuk’’ bisa bermakna sangat kasar bagi orang luar Surabaya. Namun, ketika diucapkan di antara sesama teman ungkapan itu menjadi simbol keakraban.

BACA JUGA: Edy Mulyadi yang Menyebut Kalimantan Tempat Jin Buang Anak Meminta Maaf

Banyak juga idiom-idiom lokal Surabaya yang jarang atau tidak pernah dipakai, sehingga banyak orang yang lupa, terutama kalangan muda dan milenial.

Idiom ‘’gung liwang-liwung’’, misalnya. Hampir pasti sebagian orang Jawa tidak mengetahui artinya. Padahal, di masa lalu orang-orang tua sering memakai idiom itu untuk menggambarkan sebuah tempat yang jauh dan terpencil.

BACA JUGA: Mantan Menpora Sebut Hambalang Tempat Jin Buang Anak

Secara harfiah ‘’gung liwang-liwung’’ berarti hutan belantara. Dalam percakapan sehari-hari diartikan sebagai tempat yang jauh dan jarang dikunjungi orang.

Kalau ada kerabat yang tinggal di pinggiran kota, orang Surabaya menyebutnya ‘’gung liwang-liwung’’. Atau masih ditambahi lagi dengan idiom ‘’adoh lor adoh kidul’’, jauh dari utara dan jauh dari selatan.

Ketika seseorang disebut berumah di daerah gung liwang liwung, tidak ada makna konotatif yang menghina. Tidak ada makna pejoratif yang dianggap merendahkan. Idiom-idiom itu adalah aksesoris yang menjadi hiasan komunikasi untuk mengekspresikan kedekatan dan keakraban.

Sama dengan orang Surabaya, masyarakat Betawi juga punya idiom-idiom yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari. Karakter masyarakat Surabaya dan Betawi punya banyak kesamaan, misalnya terbuka, egaliter, humoris, dan cenderung tanpa basa-basi.

Orang-orang Betawi pun banyak memakai idiom dalam bahasa pergaulan sehari-hari. karena bahasa Betawi sangat dekat dengan bahasa Indonesia atau bahasa Melayu, banyak idiom-idiom Betawi yang kemudian diserap dan menjadi idiom bahasa Indonesia.

Idiom tidak bisa dipahami secara harfiah karena ada ekspresi tertentu yang tersirat di dalamnya. Dalam berbagai obrolan, para penutur memakai idiom untuk berbasa-basi yang juga dipakai untuk bercanda, tanpa maksud merendahkan atau menghina.

Dengan memakai idiom, komunikasi akan terasa makin bernuansa. Maksud-maksud tertentu sering lebih bisa dipahami dengan menggunakan idiom. Terkadang idiom terdengar berlebihan, terkadang terdengar sebagai eufimisme atau pengaburan makna.

Untuk menggambarkan sesuatu yang mustahil terjadi, orang Surabaya memakai idiom ‘’ngenteni linggis kambang’’ atau menunggu linggis mengambang. Tentu saja mustahil linggis bisa mengambang.

Orang Betawi memakai idiom ‘’menungu lebaran monyet’’ untuk mengekspresikan hal yang sama.

Idiom ‘’lebaran monyet’’ menjadi ekspresi yang biasa dipakai di kalangan masyarakat Betawi. Tidak ada yang merasa tersinggung atau merasa dilecehkan oleh idiom itu.

Lebaran adalah momen istimewa yang dianggap sebagai salah satu hari besar yang paling penting dalam Islam. Hanya umat Islam yang merayakan lebaran. Umat agama lain tidak merayakan lebaran, apalagi monyet.

Namun, mengapa ada ‘’lebaran monyet’’? itulah idiom yang dipakai untuk menunjukkan sesuatu yang sulit dicapai atau bahkan mustahil terjadi. Idiom itu terdengar lucu, dan tidak membuat siapa pun tersinggung, termasuk umat Islam.

Ada juga idiom ‘’malu-malu kucing’’, yang dipakai untuk menggambarkan sikap seseorang yang mau, tetapi malu. Idiom ini masih dipakai secara luas, dan di kalangan anak-anak muda milenial pun masih sering dipakai.

Tentu saja tidak berarti kucing itu pemalu, atau menyamakan seseorang dengan hewan seperti kucing. Ungkapan ini dipakai untuk bercanda dan menunjukkan ekspresi keakraban. Ungkapan ini khas Indonesia dan tidak ada padanannya dalam bahasa asing.

Namun, Tukul Arwana menyebutnya ‘’shy shy cat’’.

Sekarang yang lagi heboh adalah idiom ‘’tempat jin buang anak’’. Wartawan senior Edy Mulyadi mengatakan dalam video yang viral bahwa ibu kota di Kalimantan Timur adalah tempat jin buang anak.

Pernyataan ini memicu reaksi keras dari beberapa pihak yang kemudian melaporkan Edy Mulyadi ke polisi. Masyarakat adat di Kalimantan kesal oleh pernyataan itu dan mendesak Edy minta maaf dan datang ke Kalimantan untuk menjalani hukum adat.

Edy Mulyadi sudah meminta maaf dan mengatakan bahwa ia tidak bermaksud menghina dengan pemakaian idiom itu. Idiom itu adalah ungkapan yang sudah dipakai secara umum untuk menggambarkan sebuah lokasi yang jauh terpencil.

Ungkapan itu umumnya ditujukan ke daerah atau kawasan tertentu yang jarang dijamah manusia. Bisa juga ditujukan kepada rumah kosong yang lama tidak ditinggali atau dihuni.

Ungkapan ini biasanya dipakai untuk bercanda atau memberi penegasan tertentu, tidak ada maksud untuk menghina atau melecehkan.

Idiom ini tidak bisa diartikan secara harfiah atau letterlijk. Ungkapan ini tidak ada dalam kamus resmi, yang ada hanyalah interpretasi masyarakat terhadapnya, konsesus sosial memberi makna kepada idiom itu. Tempat yang jauh disebut sebagai tempat jin buang anak, rumah yang berantakan juga disebut sebagai tempat jin buang anak.

Ungkapan itu sama sekali tidak bermakna rumah itu benar-benar telah dihuni anak-anak jin buangan, atau anak-anak jin hasil aborsi yang dibuang oleh induk jin.

Memang ada kemungkinan jin buang anak, sebagaimana manusia juga ada yang membuang anak, karena jin dan manusia sama-sama makhluk ciptaan Tuhan.

Pemakaian idiom apa pun perlu dilakukan dengan cermat dan hati-hati terutama jika dipakai di area publik, baik dalam komunikasi lisan maupun tulisan. Dalam komunikasi kelompok kecil, lawan bicara dapat mengetahui langsung konteks pembicaraan. Mimik dan nuansa percakapan dapat menggambarkan yang bersangkutan benar-benar sedang bercanda.

Kondisinya akan berbeda ketika seseorang berbicara melalui media massa, baik mainstream maupun media sosial. intonasi, gesture, body language yang dipakai bisa menimbulkan salah interpretasi oleh audiens.

Perbedaan interpretasi tidak harus menjadi pertikaian, apalagi sampai dibawa ke renah hukum. Miskomunikasi bisa diselesaikan dengan komunikasi. Harus disadari bahwa idiom adalah idiom yang pemakiannya harus diterima sebagai konsensus bahasa, dan bukan sekadar ditafsirkan berdasarkan makna denotatif dalam kamus.

Bahasa adalah kapital budaya, karena bahasa adalah kemampuan khas manusia yang didapat dari pengalaman empirisnya berhubungan dengan manusia lain.

Bahasa adalah kapital budaya yang erat kaitannya dengan kapital simbolik, karena melalui bahasa pemaknaan-pemaknaan simbolik dapat dilakukan oleh manusia.

Bahasa juga adalah praktik sosial. Bahasa di sini adalah wacana atau teks. Sebuah wacana tidak bisa muncul begitu saja sebagai sesuatu yang steril, tetapi merupakan hasil interaksi aktif antara struktur sosial yang objektif dengan kebiasaan berbahasa masyarakat.

Ketika kita memilih suatu kata, atau ketika kita menggunakan sebuah konsep, maka bukan kata atau konsep itu saja yang kita ambil, tetapi asumsi-asumsi, nilai, bahkan lebih jauh lagi ideologi yang melekat pada kata dan konsep itu, juga kita bawa, sadar atau tidak.

Maka bahasa sebagai praktik sosial erat kaitannya dengan kepentingan. Semua praktik sosial memiliki pamrih, meskipun pelaku sosial terkadang tidak menyadarinya, dan meskipun praktik ini jauh dari keuntungan materi sekalipun.

Bahasa juga erat kaitannya dengan pertarungan kekuasaan. Pierre Bourdieu selalu melihat interaksi sosial di dalam arus dominasi dan pertarungan.

Bahasa memiliki peran yang sentral dalam mekanisme kekuasaan dan dominasi, terutama untuk menyembunyikan maksud yang sebenarnya dari sebuah tindakan kekuasaan.

Interpretasi terhadap idiom ‘’jin buang anak’’ seharusnya dikembalikan kepada masyarakat yang paling berhak terhadap idiom itu, karena masyarakat sudah menjadikannya sebagai habitus, kebiasaan sosial.

Idiom jin buang anak adalah ungkapan yang biasa dipakai dalam pergaulan sosial, tidak perlu terlalu baper mendengar idiom itu. (*)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler