JK: Kita Pernah jadi Pengekspor Gula Terbesar, tapi Kini?

Kamis, 19 Oktober 2017 – 08:26 WIB
Wapres Jusuf Kalla. Foto: Ist/dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, Indonesia pernah berbangga diri menjadi negara pengekspor gula terbesar di dunia. Namun, kini sudah menjadi pengimpor gula.

Jusuf Kalla menuturkan perbaikan teknologi di bidang pangan dan perkebunan untuk meningkatkan hasil produksi jadi solusinya.

BACA JUGA: Jokowi-JK Beda Pendapat, Fahri: Pertunjukan Tak Sehat

JK menuturkan dulu Indonesia punya lembaga penelitian gula terbaik di dunia yang terletak di Pasuruan, Jawa Timur. Indonesia pernah berbangga diri menjadi negara pengekspor gula terbesar di dunia.

”Sekarang kita mengimpor gula. Sehingga Arum (Ketua Dewan Pembina Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia Arum Sabil, Red) itu marah terus. Begitu juga yang lain-lainnya,” ujar JK dalam pembukaan World Plantation Conferences and Exhibition, di Hotel Grand Sahid Jaya, kemarin (18/10).

BACA JUGA: Fahri Hamzah Kritik Pak JK: Jangan Kayak di Pasar Kelontong

Data dari Kementerian Perdagangan, impor gula dan kembang gula pada 2016 tercatat USD 2,367 miliar. Sedangkan hingga Juli tercatat sudah USD 1,395 miliar.

Selain itu komoditas lainnya yang tercatat masih impor adalah gandum-ganduman, kapas, karet, garam, belerang, kapur, susu, mentega, telur, buah-buahan, sayuran, dan tembakau.

BACA JUGA: Perubahan Pembangunan Desa Terobosan Positif Jokowi-JK

Lebih lanjut, JK menuturkan saat ini tantangan Indonesia sekarang adalah konsumen yang terus naik sedangkan lahan berkurang.

Maka, solusi untuk mengatasi persoalan pangan itu adalah perbaikan teknologi. selanjutnya adalah perbaikan rantai logistik.

”Mengatasi semua itu adalah teknologi dan cara dan disiplin kita semua. Teknologi bibit, teknologi pertanahan, teknologi hemat air, teknologi biodiversity, bioteknologi, dan sebagainya,” ujar dia.

Perbaikan teknologi itu, menurut JK, juga harus diimbangi dengan penerapan disiplin dalam pelaksanaanya sampai di tingkat petani atau masyarakat.

Misalnya terkait dengan sawit. Saat ini sawit yang ditanam masyarakat hanya menghasilkan sekitar 2 ton per hektare. Namun, perkebunan besar bisa sampai 5 ton perhektare.

”Artinya harus mendorong rakyat ini. Supaya bisa dapat bibit yang bagus, sehingga bisa naik tujuh, delapan ton per hektar,” kata dia.

Sementara itu, Direktur Utama PT Riset Perkebunan Nusantara Teguh Wahyudi menuturkan selama ini pengembangan teknologi masih terkendala dana riset yang minim.

Dia mengungkapkan perusahaan BUMN itu setiap tahun menganggarkan 20 persen dari total anggaran Rp 750 miliar untuk penelitian.

”Paling besar untuk penelitian sawit. memang pasarnya kebutuhan konsumen tinggi sekali. Kopi dan kakau juga tinggi,” ujar dia.

Teguh yang juga menjadi ketua pelaksana konferensi tersebut menuturkan bahwa selama ini produktivitas tanaman di Indonesia masih belum tinggi.

Hanya 25 hingga 30 persen dari potensi produksi yang dihasilkan. ”Artinya produktivitas tanaman itu masih bisa ditingkatkan lagi dengan riset dan teknologi,” jelas dia.

Dia berharap dengan mengundang peneliti-peneliti dari luar negeri di bidang tanaman pekebunan itu bisa ada transfer pengetahuan peneliti di Indonesia. Sehingga komoditas perkebunan dan pangan bisa lebih maju lagi. (jun)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Europalia jadi Momentum Indonesia Unjuk Gigi di Mata Dunia


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler