jpnn.com, JAKARTA - Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak mengungkap cerita soal Jaksa Agung HM Prasetyo, saat menangani perkara kader Partai NasDem.
Johanis yang ikut seleksi capim KPK dari jalur unsur kejaksaan agung itu membuka kepada publik soal rahasia Prasetyo, saat menjawab pertanyaan dari tim penguji di Gedung Sekretariat Negara, Jakarta, Rabu (28/8) siang.
BACA JUGA: Pernyataan Febri Diansyah Dianggap Membangun Pesimistis di Lingkungan KPK
"Apakah selama menjadi jaksa pernah ada intervensi kepada bapak saat menangani kasus?" tanya anggota panitia seleksi capim KPK Al Araf.
BACA JUGA: Masihkah Jaksa Agung dari Nasdem?
BACA JUGA: Petrus Selestinus: Aneh, KPK Baru Merasa Penting Soal LHKPN
"Saya waktu itu menjadi Kajati Sulawesi Tengah, saya menangani kasus mantan gubernur, kasus itu memenuhi unsur pidana. Saya dipanggil jaksa agung, saya menghadap dan jaksa agung mengatakan 'kamu tahu siapa yang kamu tangani?' Lalu beliau mengatakan dia adalah ketua DPW NasDem," jawab Johanis seperti dikutip dari Antara.
Saat ini Johanis menjabat Direktur Tata Usaha Negara pada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung.
BACA JUGA: Eks Komisioner KPKPN: LHKPN Dianggap Momok Bagi Sebagian Penyelenggara Negara
"Saya katakan 'kalau bapak perintahkan saya hentikan, saya akan hentikan. Bapak minta tidak ditahan, saya tidak akan tahan karena bapak atasan saya'. Tapi saya mengatakan saat bapak terpilih, bapak dinilai tidak layak jadi Jaksa Agung karena diusulkan oleh golongan partai, dalam hal ini NasDem, mungkin ini momen yang tepat untuk bapak buktikan," ungkap Johanis.
Prasetyo sebelum menjabat sebagai Jaksa Agung adalah kader Partai Nasional Demokrat. Dia terpilih menjadi anggota DPR periode 2014-2019 mewakili daerah pemilihan Jawa Tengah II, tetapi karena ditunjuk sebagai Jaksa Agung ia pun mengundurkan diri dari DPR.
Mantan gubernur yang dimaksud Johanis ialah Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng) 2006-2011 Bendjela Paliudju. Kejaksaan Tinggi Sulteng menetapkan Bandjela Paliudju sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dukungan perjalanan dinas, biaya pemeliharaan kesehatan dan penunjang operasional gubernur, berdasarkan surat perintah penyidikan Nomor: 289/R.2/Fd.1/11/2014, tertanggal 6 November 2014.
Penetapan itu setelah adanya pengembangan penyidikan melalui fakta persidangan kasus dugaan korupsi dan pencucian uang yang melibatkan mantan Bendahara Gubernur Rita Sahara.
Setelah penetapan dirinya sebagai tersangka, Bendjela Paliudju diberhentikan dari jabatannya selaku ketua Dewan Pembina Partai Nasdem Sulteng.
Bandjela Paliudju kemudian divonis bebas dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palu pada 21 April 2016.
Majelis hakim menilai Bandjela tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas kerugian negara Rp 8,7 miliar dari pos biaya operasional saat Bandjela menjabat gubernur pada periode 2006-2011.
Jaksa mendakwa Bandjela melakukan perbuatan melawan hukum dengan posisi sebagai pengguna anggaran dalam belanja biaya operasional gubernur pada 2006-2011 dengan komponen biaya perjalanan dinas, penunjang perjalanan dinas, pemeliharaan kesehatan, dan bantuan sosial. Penggunaan dana pos biaya operasional gubernur tidak disertai bukti yang valid. Akibatnya, negara dirugikan Rp 8 miliar. Jaksa menuntut Bandjela sembilan tahun penjara.
Panelis dalam uji publik tersebut terdiri atas pansel yaitu Yenti Garnasih, Indriyanto Senoadji, Harkristuti Harkrisnowo, Marcus Priyo Gunarto, Diani Sadia Wati, Mualimin Abdi, Hendardi, Hamdi Moeloek dan Al Araf. Pansel juga mengundang dua panelis yaitu sosiolog hukum Meutia Ghani-Rochman dan pengacara Luhut Pangaribuan. (desca/ant/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Laode KPK Irit Bicara soal Banyaknya Capim dari Unsur Polri
Redaktur : Tim Redaksi