Jokowi Akan Gunakan Jasa Konsultan Politik Sendiri

Minggu, 20 April 2014 – 16:56 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Calon presiden dari PDI Perjuangan, Joko Widodo, kemungkinan besar akan menggunakan jasa konsultan politik sendiri, yang berbeda dengan konsultan yang akan dipakai PDIP.

“Setahu saya, itu dipakai untuk Pileg, belum pasti dipakai untuk Pilpres, karena Jokowi punya konsultan sendiri, karena ini juga masih dibentuk,” kata politisi senior PDIP yang juga Ketua MPR RI Sidarto Danusubroto dalam diskusi yang digelar Ercih Institute di Warung Daun Cikini, Jakarta, Minggu (20/4).

BACA JUGA: Konflik PPP Tak Untungkan Pencapresan Prabowo

Kabar yang beredar, guna mengoptimalkan strategi politik pemenangan Jokowi sebagai calon capres, PDIP akan mempertimbangkan untuk kembali menggunakan konsultan politik Fastcom yang dikomandani Ipang Wahid yang selama Pemilu Legislatif (Pileg) 2014 lalu menjadi konsultan politiknya PDIP.

Sidarto juga memastikan tidak ada perbedaan pandangan di internal partai terkait pencapresan Jokowi.  Keputusan PDIP yang memilih Jokowi sebagai capres, katanya,  sudah final dan mengikat. “Sejak ketua umum katakan Jokowi capres, tidak ada lagi faksi-faksi di dalam partai,” tegas Sidarto..

BACA JUGA: SDA Pilih Dampingi Prabowo Sowan ke Kiai Jawa Tengah

Di tempat yang sama, pengamat psikologi politik UI Hamdi Muluk menilai, kerja-kerja konsultan politik yang tampak selama ini lebih menonjolkan kerja-kerja marketing, pemasaran tokoh daripada memperkenalkan ideologi atau visi-misi tokoh. Mestinya, partai menggunakan jasa konsultan politik yang warna ideologi sama dengan ideologi partai.

Jangan sampai partai menggunakan konsultan politik yang belum jelas ideologi politiknya. Misalnya, PDIP yang menggunakan konsultan politik Fastcom.

BACA JUGA: Khawatir Pencalegan Mental, Kader Golkar Takut Kritisi Ical

“Beberapa hari lalu, teman-teman pengamat juga bilang, kok bisa-bisanya Ipang Wahid, dulu konsultan politik Foke di Pilgub, lawannya Jokowi, sekarang jadi konsultannya Jokowi. Apa dia tidak buka itu bobrok-bobroknya Jokowi? Nah, bagaimana ini,” kata Hamdi Muluk.

Dikatakan Hamdi, di negara-negara maju, partai maupun tokoh politik tidak sembarangan dalam memilih konsultan politik. Terlebih, konsultan politik lawan. Karena, ideologi tetap turut menjadi pertimbangan partai dalam memilih sebuah konsultan politik.

Di tempat yang sama, pengamat politik yang juga wartawan senior Kompas Budhiarto Shambazy mengatakan, berdasarkan pengalamannya meliput Pemilu di Amerika Serikat yang demokrasinya dikatakan maju, memang hasil survei yang dipublikasikan para lembaga survei maupun konsultan politik tidaklah menjadi satu-satunya pertimbangan dalam memilih dan mencalonkan seorang tokoh, termasuk capres.

Dalam memilih seorang tokoh atau capres, sambungnya, partai politik di Amerika tetap mengedepankan aspek kualitatif daripada kuantitatif hasil survei. Pendekatan ideologi, termasuk ideologi konsultan politik menjadi sesuatu hal yang penting.

“Mereka lebih percaya pada telaah kualitatif,bermain di isu. Pendekatan kualitatif itu lebih tampak nantinya di kampanye. Yang dijual itu karakter tokoh, rekam jejak, aspek kepemimpinan, dan penguasaan isu,” ujarnya.

Hal ini berbeda jauh dengan kondisi perkembangan demokrasi di Indonesia yang masih terpaku pada popularitas hasil survei. (sam/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Foto Letusan Merapi yang Dirilis BPPTKG


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler