jpnn.com - JAKARTA - Pertemuan antara Menkopolhukkam Tedjo Edhy Purdijatno, Jaksa Agung M Prasetyo, Kepala BIN Marciano Norman, Menkumham Yasonna H Laoly, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, perwakilan Panglima TNI dan Ketua Komnas HAM Nur Kholis di Kejaksaan Agung hari ini (21/4) ternyata bukan membahas eksekusi atas para terpidana mati kasus narkoba. Sebab, pertemuan itu justru membahas penuntasan kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu.
Dalam pertemuan itu disepakati cara-cara untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. "Kami sepakat bagaimana menyelesaikan kasus HAM masa lalu, bagaimana cara terbaik menyelesaikan masalah itu dengan sebaik-baiknya," kata Tedjo dalam jumpa pers usai pertemuan di Kejaksaan Agung, Selasa (21/4).
BACA JUGA: Mahfud Ingatkan KPU Harus Berani Berhadapan DPR
Tedjo menjelaskan, penuntasan kasus itu sudah mendapatkan dukungan dari Presiden Joko Widodo. "Hal ini sebenarnya sudah mendapat lampu hijau dari Bapak Presiden," tegasnya.
Tedjo melanjutkan, dari pertemuan ini akan dibentuk tim teknis. Setelah itu akan kembali dilaporkan ke Jokowi. "Nanti kami akan laporkan lagi ke presiden apa yang harus kami kerjakan di masa yang akan datang terkait persoalan ini," ungkap Tedjo.
BACA JUGA: Effendi Simbolon Sebut Kemampuan Jokowi Sangat Terbatas
Sedangkan Jaksa Agung M Prasetyo menambahkan, Indonesia masih menghadapi beban sejarah masa lalu berupa dugaan pelanggaran HAM berat yang belum tuntas. Ia merinci ada tujuh kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu yang belum tuntas.
Kasus itu antara lain peristiwa Talangsari, Wamena Wasior, penghilangan orang secara paksa, kasus penembakan misterius, peristiwa G30 S/PKI dan kerusuhan Mei 1998. Menurut Prasetyo, kasus yang sudah sedemikian lama bergulir ini tentunya harus diakhiri. Sebab, beban masa lalu bangsa harus segera berakhir. "Supaya tidak jadi warisan bagi generasi setelah kita," papar Prasetyo.
BACA JUGA: Pada Saatnya akan Kami Tembak Mati
Karenanya, pertemuan itu membahas untuk mencari penyelesaian terbaik. Dari pertemuan itu disepakati dua cara penyelesaian, yakni melalui proses yudisial dan non-yudisial.
"Yudisial tentunya membawa perkaranya ke pengadilan bagi perkara pelanggaran HAM berat yang masih mudah ditemukan bukti dan saksi serta pelakunya," kata dia.
Sementara perkara cukup lama atau yang kejadiannya 16 tahun hingga 50 tahun, kata Prasetyo, sangat sulit untuk dicari bukti, saksi dan bahkan tersangkanya. Namun, merujuk pada pasal 47 Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, maka ada proses non-yudisial untuk menyelesaikannya melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
"Yang saya katakan non-yudisial adalah rekonsiliasi, kita tawarkan ke pihak bersangkutan baik korban, ahli waris, tentu para pelaku kalau ditemukan. Tapi tentunya sulit ditemukan," jelasnya.
Yang jelas, kata dia, setelah ini akan ada langkah lanjutan dengan membentuk tim gabungan yang terdiri dari Komnas HAM, Kejaksaan Agung, Polri, TNI dan unsur masyarakat. Tim akan bekerja bersama menelaah, mencermati, dan kemudian menyimpulkan dan menawarkan kemungkinan cara penyelesaian dengan rekonsiliasi.
Sedangkan Nur Kholis menambahkan, tim bersama akan memetakan dan melihat kembali kasus yang pernah diselidiki Komnas HAM namun saat ini sudah dilimpahkan ke Kejagung. "Kita akan pilah, pilih mana yang kira-kira jalurnya dapat dilakukan upaya rekonsiliasi," ungkap Kholis.(boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Politikus PAN Sarankan Kementerian PPA Kunjungi Lapas Wanita
Redaktur : Tim Redaksi