jpnn.com - JAKARTA -- Calon presiden PDI Perjuangan Joko Widodo "tak sengaja" bertemu dua tokoh yang kerap disebut-sebut potensial menjadi calon wakil presiden, Sabtu (3/5).
Pertama, Jokowi bertemu dengan Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) Jusuf Kalla di ruang tunggu VIP Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta.
BACA JUGA: Siapa pun Pendamping Jokowi, Pilpres Dua Putaran
Kemudian, bekas Wali Kota Surakarta, itu bertemu Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad, di ruang tunggu VIP Bandara Adi Sucipto, Daerah Istimewa Yogjakarta, Sabtu (3/5).
Menurut pakar psikologi politik Prof Hamdi Muluk, hanya Jokowi dan orang sekitarnya yang tahu makna pertemuan itu. "Apakah ini komunikasi politik atau sekadar kebetulan? Hanya Jokowi dan orang sekitarnya yang tahu," kata Hamdi saat dihubungi, Minggu (4/5).
BACA JUGA: PKS Dorong Pemilu 2019 Sistem Proporsional Tertutup
Dijelaskan Hamdi, komunikasi politik dibangun berdasarkan keselarasan dan kecocokan. Menurutnya, yang namanya politik itu tentu yang menyamakan atau mencocokkan adalah kepentingan. Selain itu, lanjut Hamdi, harus ada kesepakatan politik.
Misalnya, Jokowi dengan Samad sepakat membela kepentingan rakyat kecil. Maka ketika memimpin Indonesia nanti, keduanya harus sama-sama fokus di sana. Jangan sampai satu membela kepentingan pengusaha, sedangkan lainnya membela kepentingan rakyat kecil.
BACA JUGA: Akbar dan Priyo Punya Peluang Dampingi Prabowo
Sedangkan pengamat politik Konsep Indonesia Research and Consultant Budiman menyatakan, pertemuan Jokowi dengan Abraham serta JK, meskipun tidak disengaja, tetap menjadi pemberitaan dan perhatian media.
Menurutnya, disengaja atau tidak, publik tahu Jokowi bertemu dua figur yang banyak diberitakan akan menemaninya sebagai cawapres.
Pertemuan itu menjadi bahan diskusi atau sinyal menarik untuk memahami apakah dua figur itu semakin menguat.
Selain itu, pertemuan itu juga bisa dipahami sebagi test the water Jokowi atas dua figur itu. Apalagi, Abraham sebagai simbol gerakan pemberantasan korupsi.
"Kita menyadari Indonesia tidak henti-hentinya digerogoti korupsi. Indonesia sangat butuh Samad. Naif sepertinya jika Jokowi mengabaikannya," jelas Budiman.
Sedangkan JK, lanjut dia, adalah simbol senioritas yang memiliki segudang pengalaman berbangsa dan bernegara. Namun semua itu belum tentu pantas untuk disalurkan dengan menjadi wapres. "Kalau menjadi penasihat akan lebih cocok, karena beliau sepuh," katanya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Berpasangan dengan Siapa Saja, Suara Ical Tetap Terendah
Redaktur : Tim Redaksi