Jokowi dan Myanmar

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Sabtu, 12 November 2022 – 19:49 WIB
Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ilustrasi Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Di pengujung masa jabatan kedua, Presiden Joko Widodo makin aktif dalam diplomasi internasional.

Terlihat bahwa Jokowi ingin goes international untuk memperluas dan memperkuat kredensialnya.

BACA JUGA: Surya Paloh Harus Tahu Diri, Tarik Tiga Menteri dari Kabinet Jokowi

Hal ini merupakan kemajuan yang mencolok dibanding dengan kiprah Jokowi pada masa-masa awal pemerintahan.

Ketika itu Jokowi tidak aktif dalam diplomasi internasional dan malah cenderung menarik diri.

BACA JUGA: Presiden Jokowi Sebut Indonesia Sangat Kecewa kepada Myanmar

Jurnalis Australia Ben Blend dalam buku ‘’Jokowi’ The Man of Contradiction’’ menyebut bahwa Jokowi mempunyai keterbatasan wawasan dalam masalah-masalah internasional.

Disebutkan bahwa untuk memberi pemahaman mengenai pentingnya masalah sengketa Laut China Selatan bagi geopolitik Indonesia, seorang pembantu presiden harus memberi penjelasan mendasar dengan memberi contoh perdagangan mebel ke luar negeri.

BACA JUGA: Myanmar Makin Kacau, Tingkat Kematian Mengerikan, Jokowi Cs Jangan Sibuk Main Golf Dong!

Kalau situasi laut tidak aman, maka pengiriman barang ke luar negeri akan terancam dan hal itu akan memengaruhi ekonomi dalam negeri.

Setelah dijelaskan dengan contoh sederhana Jokowi baru ngeh.

Jokowi juga tidak terlalu aktif dalam forum internasional pada periode pertama, dan sering mendelegasikannya kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Untunglah kemampuan bahasa Inggris JK sangat mumpuni sehingga dia sangat pede berbicara dalam forum-forum internasional.

Jokowi kemudian mengeluarkan peraturan presiden bahwa seluruh pejabat Indonesia harus memakai bahasa Indonesia di forum internasional.

Sejak itu kehadiran Jokowi di forum internasional mulai meningkat.

Saat ini Indonesia memegang kepresidenan G-20 dan bulan ini akan menyelenggarakan pertemuan tingkat tinggi di Bali.

Tentu saja posisi Jokowi sangat penting di percaturan politik internasional sekarang ini.

Dengan posisi sebagai pemegang kepresidenan G-20 Jokowi berkunjung ke Ukraina dan Rusia untuk mencoba menjembatani perang dua negara. 

Akan tetapi, hasilnya mengecewakan karena perang tetap berkecamuk sampai sekarang.

Forum G-20 diharapkan akan menjadi forum perdamaian yang mempertemukan pemimpin Rusia dengan Ukraina.

Rusia adalah member G-20, sedangkan Ukraina tidak termasuk anggota.

Kendati demikian Jokowi mengundang Presiden Ukraina Vlodimyr Zelensky untuk hadir ke Bali.

Jokowi juga secara khusus mengundang Presiden Rusia Vladimir Putin, tetapi kedua pemimpin itu menolak hadir.

Hal ini menjadi catatan minor bagi kepresidenan Indonesia di G-20.

Di kancah politik regional Asia Tenggara Jokowi juga makin berperan aktif melalui forum ASEAN.

Yang terbaru, dalam pertemuan para pemimpin ASEAN di Kamboja, Presiden Jokowi berbicara keras terhadap perkembangan politik di Myanmar.

Presiden Jokowi, Jumat (11/11), mengatakan bahwa Indonesia sangat kecewa dengan pemerintah militer Myanmar karena tidak membuat kemajuan signifikan dalam implementasi Konsensus Lima Poin, dan menilai situasi di negara tersebut makin memburuk.

Konsensus Lima Poin yang disepakati para pemimpin ASEAN menyerukan penghentian kekerasan, dialog dengan semua pemangku kepentingan, menunjuk utusan khusus untuk memfasilitasi mediasi dan dialog, mengizinkan ASEAN untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada warga Myanmar, serta mengizinkan utusan khusus ASEAN untuk mengunjungi dan bertemu dengan pemangku kepentingan di Myanmar.

Presiden Jokowi mengatakan bahwa situasi di Myanmar tidak boleh mengganggu perjalanan kerja sama ASEAN.

Indonesia menegaskan kembali posisinya untuk tidak mengizinkan perwakilan politik dari Myanmar untuk mengikuti KTT ASEAN dan pertemuan para Menteri Luar Negeri ASEAN.

Ini merupakan sikap yang keras dari Indonesia terhadap Myanmar.

Dalam beberapa waktu terakhir, pertempuran mematikan antara militer dan kelompok-kelompok sipil bersenjata yang terorganisir di Myanmar makin meningkat.

Banyak anak muda melawan militer dan mempertaruhkan nyawa mereka sejak junta militer merebut kekuasaan satu tahun yang lalu.

Kekerasan yang makin intens dan meluas, serangan oposisi yang terkoordinasi, membuat situasi di Myanmar meningkat dari pemberontakan menjadi perang saudara.

Kekerasan telah menyebar ke seantero negeri. Pertempuran yang terjadi makin terorganisasi dan telah mencapai pusat-pusat kota, padahal sebelumnya tidak pernah terlihat perlawanan bersenjata terhadap militer.

Pemerintah militer Myanmar melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil yang terbentuk melalui pemilihan umum.

Partai pimpinan Aung San Suu Kyi memenangkan pemilu demokratis dan berhak membentuk pemerintahan sipil.

Akan tetapi, pada 1 Februari 2021 militer melakukan kudeta dan menahan para pemimpin sipil termasuk Suu Kyi.

Suu Kyi, pemenang Hadiah Nobel Perdamaian kini mendekam dipenjara.

Beberapa anggota partai yang dipimpinnya bahkan menghadapi tuntutan hukuman mati.

Junta menyasar Suu Kyi karena dianggap melawan kediktatoran militer tersebut.

Suu Kyi pun dituduh melancarkan aksi terorisme.

Suu Kyi pun telah menghadapi berbagai rentetan dakwaan.

Pada April lalu, Junta memvonis hukuman 5 tahun penjara kepada wanita berusia 76 tahun itu.

Dia dinyatakan bersalah atas kasus korupsi.

Suu Kyi juga menghadapi 6 tahun penjara atas tuduhan hasutan terhadap militer, pelanggaran aturan COVID-19, dan pelanggaran Undang-Undang Telekomunikasi.

Tidak tanggung-tanggung, total dakwaan yang dihadapi pejuang demokrasi itu diperkirakan bisa memenjarakannya selama lebih dari 150 tahun.

Ini bukan kali pertama Suu Kyi masuk penjara.

Sejak balik dari tempat tinggalnya di Inggris pada 1990, Suu Kyi sudah beberapa kali keluar masuk penjara.

Protes dalam bentuk demonstrasi besar-besaran terjadi, dan pemerintahan militer melakukan represi dengan keras.

Beberapa waktu terakhir. Korban tewas diperkirakan mencapai 12.000 orang--berdasarkan pemberitaan media lokal dan laporan lainnya -- telah tewas akibat kekerasan politik.

Namun, jumlah korban sebenarnya sulit diverifikasi.

Kekerasan dan represi politik juga dilakukan oleh rezim militer Myanmar terhadap kelompok etnis muslim Rohingya di provinsi Rakhine di perbatasan Myanmar dengan Bangladesh.

Kekerasan politik ini menjadi pembantaian etnis yang memicu protes dunia internasional.

Pemerintah militer Myanmar dituduh telah melakukan ‘’ethnic cleansing’’ pembersihan etnis dengan membunuh ratusan ribu etnis Rohingya.

Pembantaian ini diduga ada hubungannya dengan sentimen agama karena mayoritas penduduk Myanmar beragama Buddha.

Kelompok-kelompok ekstremis garis keras Budha terlibat dalam pembantaian ini.

Pemerintah militer Myanmar dianggap telah mendiskriminasi dan mengucilkan kelompok etnis dan agama minoritas, dan menghasilkan catatan panjang pelanggaran HAM.

Tindakan ini mengakibatkan krisis pengungsi massal dan genosida besar-besaran.

Rohingya adalah kelompok minoritas Muslim yang terkonsentrasi di negara bagian Rakhine di Myanmar barat sebelum akhirnya mengungsi masal ke negara tetangga Bangladesh pada 2016-2017. 

Kelompok ini meyakini bahwa mereka adalah warga asli wilayah barat Myanmar.

Pemerintah Myanmar mengatakan tidak ada kelompok Rohingya di Myanmar, dan menyebut mereka adalah migran kolonial dan pasca-kolonial dari Bangladesh.

Klaim tersebut menjadi dalih diskriminasi dan persekusi besar-besaran.

Pada Oktober 2015 ditemukan  bukti kuat bahwa Rohingya mengalami pemusnahan masal dan tengah berada di tahap akhir genosida.

Laporan aktivis demokrasi internasional menemukan bukti bahwa Rohingya menjadi target kekerasan HAM secara sistematis dan besar-besaran, termasuk pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan dan penahanan sewenang-wenang.

Tentara Myanmar melakukan penghancuran rumah dan desa, perampasan tanah, kerja paksa, penolakan kewarganegaraan, penolakan hak identitas sebagai Rohingya, penolakan akses kesehatan, pendidikan dan pekerjaan, pembatasan kebebasan bergerak, dan kampanye kebencian agama yang didukung negara.

Dalam kasus pembantaian Rohingya ini Aung Saan Suu Kyi dianggap pasif dan malah cenderung membiarkan dan mendukung.

Ketika Suu Kyi masih bebas, dia bungkam terhadap pembantaian ini.

Hal ini memantik reaksi internasional, terutama dari komunitas muslim.

Muncul seruan agar Nobel Perdamaian Suu Kyi dicabut.

Kekerasan di Myanmar menjadi problem pelik yang kompleks.

Seruan Presiden Jokowi tidak akan banyak gunanya kalau tidak disertai tindakan yang lebih konkret, misalnya mengucilkan Myanmar dari komunitas ASEAN.

Junta militer Myanmar terkenal sangat keras kepala. Seruan keras yang tidak disertai tindakan konkret akan dianggap sebagai angina lalu. (**)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler