jpnn.com - JAKARTA – Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) diminta segera menjalankan Revolusi Pancasila pada momentum penghujung tahun 2015. Dengan begitu, pada 2016 dapat dijalankan dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan negara.
Apabila revolusi Pancasila itu tidak diterapkan Indonesia terancam karam dan terpuruk oleh kegaduhan yang terus terjadi.
BACA JUGA: Pramono: Orang Dalam Istana Bisa Tukang Parkir dan Pembantu
Demikian disampaikan Ketua Umum Gerakan Cinta Tanah Air Persatuan Nasionalis Indonesia (GETAR PNI) Syamsuddin Anggir Monde terkait Refleksi Akhir Tahun 2015.
“Revolusi Pancasila itu sangat perlu dilakukan dan diaplikasikan sesegera mungkin. Bila tidak kita terus dipertontonkan kegaduhan, perebutan lapak, merampok kekayaan negeri ini antar elit kubu Jokowi dan JK ataupun yang lainnya, juga partai-partai, hingga akhirnya Indonesia jadi negara gagal,” ungkap Syamsuddin di Jakarta, Selasa (29/12).
BACA JUGA: Lino Tersangka, Momentum Membenahi Dwelling Time
Menurut Syamsuddin, tujuan Revolusi Pancasila yaitu mengembalikan jati diri bangsa kepada Pancasila dalam arti sesungguhnya, mengacu pada Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang asli dibuat pada 18 Agustus 1945.
Dia menilai konstitusi yang menjadi dasar kebijakan saat ini adalah amandemen bernafaskan neoliberal hasil dari reformasi kebablasan atau terlewat batas dimotori Amien Rais dan para anggota parlemen kala itu. Dampaknya terjadi kecelakaan politik bernegara.
BACA JUGA: Ini Kata Menteri Yasonna Soal Markas Baru KPK
“Alhasil seluruh penyelenggara negara di era reformasi telah mempersubur regulasi untuk kaum kapitalis, liberalis, bahkan komunisme yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai moral Pancasila dan UUD 1945 aslinya,” terangnya.
Syamsuddin mengingatkan tidak sedikit kebijakan dikeluarkan pemerintahan Jokowi-JK inkonstitusional bahkan berbanding terbalik dengan janji Jokowi saat Pilpres. Contohnya, tidak akan berhutang, namun faktanya hutang bukan semakin berkurang malah bertambah mencapai Rp 3.091.06 triliun terhitung Oktober 2015.
Begitu juga, janji berdaulat di bidang pangan dengan tidak melakukan impor. Celakanya, baru diawal Jokowi-JK memimpin data Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan impor beras pada Januari hingga Juli 2015 telah mencapai 222 ribu ton atau meningkat 41 persen.
“Kini pemerintah kembali mempersiapkan mengimpor beras, ini musibah bagi petani," tegasnya.
Belum lagi kebijakan terbaru pemerintah memberikan fasilitas bebas visa kepada puluhan negara, tanpa disertai perhitungan secara matang terhadap dampak pengaruh sosial serta budaya hingga pada ancaman politik dan keamanan dalam negeri.(fat/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pimpinan Baru KPK Siap Hadapi Tantangan RJ Lino
Redaktur : Tim Redaksi