Jokowi Diyakini Mampu Bikin Indonesia Berswasembada Pangan

Senin, 05 November 2018 – 08:55 WIB
Ketua dan Wakil Ketua Lemhaga Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah (LPPED), DR Abraham C Hutapea SH MM dan Dr. Anwar Budiman. Foto: Ist

jpnn.com, JAKARTA - Ketika Indonesia menjadi negara pengimpor beras, jagung, gula bahkan garam, itu adalah ironi. Namun, semua itu belum terlambat untuk diatasi.

Presiden Joko Widodo diyakini bisa membuat Indonesia berswasembada pangan, sebagaimana pernah dicapai Pak Harto pada 1987.

BACA JUGA: Pemerintah Beri Perhatian Besar pada Desa

Demikian pandangan Ketua dan Wakil Ketua Lemhaga Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah (LPPED), DR Abraham C Hutapea SH MM dan Dr. Anwar Budiman dalam siaran persnya, Senin (5/11/2018).

“Semua pembangunan fisik, termasuk infrastuktur yang kini sedang digenjot, akan sia-sia bila rakyat lapar. Kalau rakyat lapar, diprovokasi sedikit saja, mereka akan marah. Kalau rakyat marah, siapa pun tak bisa mencegah, karena suara rakyat adalah suara Tuhan, vox populi vox dei. Namun, Pak Jokowi belum terlambat,” ungkap Abraham.

BACA JUGA: Jokowi Menyambangi Lokasi Pameran IMOS 2018

Anwar Budiman kemudian mengingatkan cita ketujuh dari Nawacita yakni “Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.” 

“Salah satu sektor strategis ekonomi domestik adalah pertanian. Ini yang harus menjadi prioritas Jokowi di samping infrastruktur,” jelas Anwar yang juga praktisi hukum dan pengamat politik.

BACA JUGA: Para Tokoh Dukung Jokowi Merevitalisasi Kawasan Banten Lama

Salah satu indikator Jokowi akan mampu membawa Indonesia berswasembada pangan, menurut Anwar, adalah ia membangun banyak bendungan, waduk, dan irigasi pertanian untuk menggenjot produktivitas padi nasional.

“Pak Jokowi juga membenahi data perberasan yang selama 20 tahun ternyata salah. Kalau data saja sudah salah, maka keputusan yang diambil pun pasti salah. Inilah yang kini sedang dikoreksi Pak Jokowi,” jelasnya.

Data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia selalu mengimpor beras sejak tahun 2000 hingga 2015 atau selama 15 tahun. Pada 2016 sampai 2017 pemerintah berhenti sementara untuk mengimpor, dan pada 2018 Indonesia kembali mengimpor beras.

Selama 15 tahun tersebut, Indonesia telah mengimpor beras sebanyak 15,39 juta ton dengan volume impor terbanyak pada 2011 sebesar 2,75 juta ton, sedangkan volume terkecil pada 2005 sebesar 189.616 ton. Sehingga, dengan jumlah impor beras tersebut dan ditambah 500.000 ton pada 2018 ini, maka hingga saat ini Indonesia telah mengimpor beras sebanyak 15,89 juta ton.

Ironisnya, kata Anwar, data perberasan nasional ternyata salah. Menurut BPS, proyeksi produksi beras hingga akhir tahun ini sebanyak 32,42 juta ton. Angka ini jauh lebih rendah dibanding penghitungan Kementerian Pertanian, yakni 46,5 juta ton.

BPS pun menghitung potensi produksi gabah kering giling (GKG) hingga Desember 2018 mencapai 56,54 juta ton, jauh di bawah proyeksi Kementan sebanyak 83 juta ton. Data perhitungan BPS dan Kementan soal proyeksi konsumsi saat ini juga berbeda. BPS menghitung konsumsi beras langsung dan tidak langsung mencapai 111,58 kilogram (kg) per kapita per tahun atau sebanyak 29,57 juta ton secara keseluruhan, sementara data Kementan memproyeksi konsumsi sebanyak 33,89 juta ton dengan pertumbuhan penduduk 1,27 persen.

Tak cuma produksi beras, lanjut Anwar, data berbeda juga terjadi di luas lahan sawah baku. Data citra satelit resolusi tinggi Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan Badan Informasi Geospasial (BIG) menunjukkan luas lahan sawah baku saat ini 7,1 juta hektare (ha), sementara data Kementan per September 2018 menunjukkan data luas lahan sawah 8,18 juta ha.

Jokowi, kata Anwar, juga mengakui data produksi beras sudah berantakan sejak 1997. Data tersebut, seperti laporan BPS, yang kemudian membuat pemerintah keliru dalam menentukan kebijakan, dan saat ini sedang dibenahi pemerintahan Jokowi.

Menurut Anwar, pemerintah kini mulai menerapkan data acuan tunggal untuk produksi beras. Data tersebut diambil melalui metode Kerangka Sampel Area (KSA) yang dikembangkan bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dengan pemindaian satelit dari LAPAN untuk kemudian diolah BIG.

“Dengan data yang benar, kebijakan yang akan diputuskan pun akan benar pula,” cetus advokat kelahiran Jakarta 1970 ini.

Ketua LPPED DR Abraham Christian Hutapea menambahkan, pihaknya tak heran bila kemudian gara-gara data yang salah soal produksi beras itu, terjadi pertikaian antara Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan, dan Kepala Bulog terkait impor beras, seperti yang baru-baru ini terjadi antara Mendag Enggartiasto Lukita dan Kabulog Budi Waseso.

Bagaimana bisa data yang salah digunakan sebagai dasar pengambilan kebijakan? Lalu, siapa yang diuntungkan dari kesalahan yang sengaja “dipelihara” selama 20 tahun itu?

“Pemburu rente! Siapakah para pemburu rente itu? Ialah para pengusaha yang berkolaborasi dengan oknum penguasa yang mengizinkan impor beras. Terjadilah hubungan simbiose mutualisme di antara mereka. Pengusaha diuntungkan dengan kebijakan impor beras, keuntungan pengusaha mengalir ke oknum penguasa. Oknum penguasa itu bisa di eksekutif dan legislatif,” jelas Abraham yang bersama Anwar memimpin Gerakan Cinta Jokowi.(fri/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Cukai Rokok Batal Naik, Misbakhun Puji Keberpihakan Jokowi


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler