jpnn.com, JAKARTA - Presiden Joko Widodo mengungkap motivasinya menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai program prioritas selama empat tahun pemerintahannya bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Saat menerima peserta Konferensi Mahasiswa Nasional di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat pada Jumat (7/12), Jokowi -sapaan Kepala Negara, menegaskan bahwa Indonesia negara besar yang harus dibangun secara adil dan merata. Tidak boleh pembangunan hanya bertumpu di pulau Jawa saja.
BACA JUGA: Ketua MPR Apresiasi Jokowi Tetap Lanjutkan Pembangunan Papua
"Lihatlah provinsi, kabupaten, dan kota yang ada di luar Jawa. Kita berbeda dengan negara lain dalam menyiapkan infrastruktur, menyiapkan logistik, sumber daya manusia, karena bentangan negara kita yang sangat luas dari Aceh ke Papua," ucap Jokowi.
Dia pun meyakini siapa pun tidak akan pernah menyadari bagaimana kondisi semua provinsi di Indonesia, kalau belum pernah melihatnya secara langsung.
BACA JUGA: Jokowi Beri Listrik Gratis untuk Keluarga Tak Mampu di Bogor
Sebagai contoh, Jokowi memberi gambaran ketika dia berkunjung ke Wamena, Papua empat tahun lalu.
Dari Kabupaten Wamena ke Kabupaten Nduga yang panjangnya sekitar 200-an kilometer, lanjut Jokowi, dibutuhkan waktu tempuh selama 4 hari dengan berjalan kaki karena tidak ada aspal di sana.
BACA JUGA: Bamsoet Tak Yakin Presiden Ambil Kebijakan tidak Pro Rakyat
Sama halnya di Kabupaten Asmat. Dari ibu kota Asmat mau ke distrik-distrik dibutuhkan waktu dua hari jalan kaki.
"Enggak bisa dibayangkan, di tengah hutan belantara. Jangan bayangkan yang di sini saja, bayangkan yang ada di tempat-tempat lain," kata Jokowi.
Kemudian pada 2016 lalu Presiden ketujuh RI ini juga berkunjung ke Kabupaten Nduga. Di sana tidak ada jalan.
Kalau berjalan kaki butuh waktu empat hari lamanya. Sehingga Jokowi pun ke daerah itu menggunakan helikopter.
"Oleh kapolri, oleh kaBIN, oleh panglima TNI tidak diperbolehkan. 'Pak, bapak jangan ke sana, daerah ini memang masih kondisi yang perlu pendekatan," ungkap suami Iriana.
Akan tetapi larangan itu tak diindahkannya. Jokowi tetap kukuh mau ke Nduga naik helikopter dua hari setelah dilarang para petinggi Polri, TNI maupun BIN.
"Pertama enggak boleh. Setelah saya sampaikan, saya perintahkan 'pokoknya saya dua hari lagi mau ke sana, urusan keamanan, urusanmu, urusanmu, urusanmu," sebut mantan walikota Surakarta ini.
Akhirnya Presiden ketujuh RI ini masuk Nduga. Di sana, dia menemukan tidak adanya jalan aspal. Bahkan untuk bertemu bertemu masyarakat di satu distrik terdekat saja, perlu waktu 6 jam lagi berjalan kaki.
"Saya mau ketemu rakyat kita yang di sana. Apa jawaban bupati? 'Pak, rakyat kita ada di distrik-distrik, kalau mau ke sana butuh 6 jam jalan kaki'. Terus yang di sini, mau ketemu, saya mau lihat pasar, hanya ada mungkin 80 sampai 90 orang," tutur Jokowi.
Belum lagi bicara harga BBM. Ketika ke Wamena tahun 2016, Jokowi mendapati harga pada saat kondisi normal mencapai Rp 60 ribu.
Kalau tidak normal, saat hujan harganya bisa menembus Rp 100 ribu per liter.
"Saudara-saudara bisa bayangkan seperti itu, perasaan saya bagaimana? Rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sepuluh kali lipat normal Rp 60 ribu. Kalau Rp 120 ribu, berapa kali lipat? Saya kaget waktu seperti itu," katanya.
Jadilah waktu itu Jokowi mengeluarkan instruksi soal BBM satu harga. Premium yang dijual di Papua harus sama dengan Pulau Jawa.
Meskipun diakui pelaksanaannya mundur sekitar 1,5 tahun karena harus menyelesaikan berbagai kendala yang ada. "Kita harus beli pesawat khusus bahan bakar, nyatanya bisa," tukas dia.
Berbagai kondisi itu lah yang membuat Jokowi fokus membangun infrastruktur dalam empat tahun terakhir. Semua daerah butuh jalan, bandara, pelabuhan agar konektivitas wilayah bisa tersambung.
"Untuk sambung menyambung bukan hanya urusan ekonomi, mobilitas barang dan orang saja, bukan. Ini juga akan mempersatukan kita. Kalau tidak ada konektivitasnya antar provinsi, mana bisa kita bersatu seperti ini," tambahnya.(fat/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Istana Sebut Rencana Reuni Akbar 212 Bikin Takut
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam