Jokowi Jenius

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Jumat, 08 Oktober 2021 – 16:23 WIB
Presiden Jokowi. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Di mata para haters dan kritikus, Jokowi dianggap plonga-plongo, tidak mengerti apa-apa.

Jokowi juga disindir dengan sebutan Prabu Kantong Bolong, karena dianggap tidak pantas dan tidak kompeten menjadi pemimpin.

BACA JUGA: Ganjar Pranowo Serahkan 3 Nama pada Jokowi, Sumarno yang Terpilih

Namun, di mata pendukung dan pencintanya, Jokowi adalah pemimpin yang brilian dan jenius.

Dua gambaran itu berbalik 180 derajat. Di satu sisi Jokowi dikecam dan sering dicaci maki karena dianggap tidak kompeten.

BACA JUGA: Presiden Jokowi Ingin Kawasan Pesisir Dipulihkan

Tidak terhitung berapa kali Jokowi dituntut segera mundur sebagai presiden. Namun, di sisi lain Jokowi malah disanjung, dipuja-puji setinggi langit, malah ada yang punya keinginan supaya Jokowi memimpin tiga periode.

Sanjungan dan puja puji setinggi langit kali ini datang dari Profesor Kishore Mahbubani, akademisi dan intelektual terkemuka dari Singapura, yang juga dikenal sebagai diplomat jempolan.

BACA JUGA: Mengenal Pasukan yang Baru Diresmikan Jokowi dan Cara Mendaftarnya

Dalam sebuah pernyataan yang beredar luas di Indonesia (7/10), Profesor Mahbubani mengatakan bahwa Jokowi adalah presiden jenius, dan para pemimpin di seluruh dunia harus belajar dari Jokowi.

Kontan pernyataan itu menimbulkan reaksi heboh. Seperti biasanya, netizen terpecah pandangannya menanggapi pernyataan ini. Pada pendukung Jokowi tentu menganggap pernyataan ini sebagai pengakuan internasional yang sangat penting.

Reputasi Prof Mahbubani sudah sangat terkenal di dunia internasional sebagai intelektual jempolan. Endorsement-nya terhadap Jokowi tentu dianggap meningkatkan kredibilitas Jokowi di dunia internasional.

Para pembenci Jokowi menganggap pernyataan Prof Mahbubani sebagai salah tempat. Bahkan, ada yang menuduhnya sebagai bagian dari jaringan buzzer internasional.

Ada juga yang menyebutnya sebagai ketua 'Jokowi mania cabang Singapura'. Ada juga yang menyebut pernyataan Prof Mahbubani sebagai jebakan batman untuk menjorokkan Indonesia supaya tetap terpuruk.

Prof Mahbubani bukan orang sembarangan. Ia disebut sebagai salah satu intelektual pemikir terkemuka di Asia. Di level dunia, nama Mahbubani masuk dalam daftar 50 besar pemikir paling berpengaruh. Ia menjadi guru besar di Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore (NUS).

Pusat studi kebijakan publik ini menjadi salah satu yang terbaik di dunia, dan di Asia menempati ranking nomor satu.

Pemikiran-pemikiran Mahbubani sangat tajam dan jernih. Salah satu bukunya yang paling berpengaruh adalah 'The New Asian Hemisphere: The Irresistible Shift of Global Power to The East’’ (2011) yang menggambarkan Asia sebagai kekuatan global baru menggeser Eropa dan Amerika yang sudah mulai memudar.

Mahbubani melihat bahwa pada abad ke-21 ini Asia sudah berada pada jalur yang tepat dalam ‘’derap pembangunan’’, untuk bisa mengambil alih kemajuan Barat.

Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam 12 bahasa, termasuk Bahasa Indonesia. Buku ini menjadi bacaan wajib di hampir semua universitas terkemuka di Asia. Universitas terkemuka di Eropa dan Amerika—termasuk Universitas Harvard-- juga menjadikan buku ini sebagai referensi wajib.

Sebelum menulis buku ini, Mahbubani terlebih dahulu menerbitkan buku berjudul ‘’Can Asian Think?’’ (1998). Buku ini sangat provokatif dan kritis dalam memperbandingkan peradaban Asia dan Barat. Peradaban Asia sudah jauh lebih maju dari Barat pada milenium pertama sejarah dunia.

Nmun, pada abad ke-19 Asia berbalik ketinggalan jauh dari Barat, dan malah menjadi wilayah jajahan Barat.

Banyak kelemahan cara berpikir orang Asia yang disorot Mahbubani. Kelemahan berpikir itu dianggap sebagai titik lemah yang menjadikan peradaban Asia inferior ketika berhadapan dengan Barat.

Namun, Mahbubani mengingatkan bahwa pada milenium kedua sekarang ini tanda-tanda kebangkitan kembali Asia sudah mulai tampak jelas. Asia, kata Mahbubani, siap bangkit untuk merebut kembali kejayaan yang hilang.

Pemikiran Mahbubani yang cemerlang membuatnya dianggap sejajar dengan sejarawan besar Arnold Toynbee. Mahbubani juga disejajarkan dengan sosiolog besar Max Weber. Para pemikir besar dunia seperti Prof. Samuel Huntington mengakui kehebatan Mahbubani.

Dengan kredensial yang sangat mentereng seperti itu Mahbubani akan menjadi perhatian dunia ketika berbicara mengenai apa pun. Karena itu pula pernyataannya mengenai Jokowi sebagai presiden jenius segera menjadi heboh.

Analisis Mahbubani disampaikan dalam tulisan berjudul ‘'The Genius of Jokowi'’ yang tayang pada 6 Oktober 2021 pada Project Syndicate, sebuah media nirlaba yang fokus pada isu-isu internasional. Mahbubani mengatakan bahwa Jokowi telah menjadi pemimpin yang layak mendapat pengakuan atas keberhasilannya dalam memimpin Indonesia. Jokowi, kata Mahbubani, membangun model pemerintahan yang bisa dipelajari oleh para pemimpin dunia.

Mahbubani mengatakan bahwa saat ini banyak negara demokrasi yang memilih 'con man' atau penipu sebagai pemimpin, yang menyebabkan negaranya terpecah belah. Mahbubani menyebut Amerika di bawah Donald Trump dan Brazil di bawah Jair Bolsonaro sebagai contoh.

Dalam hal ini, Mahbubani memuji Jokowi layak mendapat pengakuan dan penghargaan yang lebih luas, karena dianggapnya berhasil mempersatukan Indonesia dari keterpecahan politik.

Mahbubani menyebut capaian Jokowi dalam menjembatani keterpecahan politik di Indonesia lebih baik dari apa yang dicapai Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, yang belum bisa mengatasi perpecahan sampai sekarang.

Mahbubani membandingkan, hampir satu tahun setelah Joe Biden memenangi pemilihan Presiden pada 2020, 78 persen dari Partai Republik masih tidak percaya dia terpilih secara sah. Biden menjabat sebagai senator AS selama 36 tahun, tetapi dia tidak dapat menyembuhkan perpecahan partisan Amerika.

Di Indonesia, kata Mahbubani, capres dan cawapres yang dikalahkan Jokowi dalam pemilihannya kembali 2019--Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno--kini menjadi menteri di kabinetnya.

Jokowi juga disebut berhasil membalik kekuatan politik islamis menjadi lebih inklusif. Mahbubani menyebut Jokowi telah menetapkan standar baru dalam pemerintahan Indonesia. Hal inilah yang, menurutnya, membuat negara demokrasi lain iri.

Sepanjang artikelnya, Mahbubani hanya memuja-muji Jokowi dan sama sekali tidak memberikan pandangan kritis terhadap kebijakan Jokowi.

Sebagai ilmuwan top internasional pandangan Mahbubani ini terasa lebay. Karena itu ada yang meledeknya sebagai anggota buzzer internasional.

Ada juga yang menyebut Mahbubani sengaja berbuat demikian supaya Indonesia tetap terpuruk di bawah Jokowi. Indonesia adalah potensi kekuatan besar di Asia Tenggara. Kalau Indonesia bangkit, Singapura pasti akan terlibas.

Hubungan bertetangga Singapura dengan Indonesia tidak selalu mesra. Ketika Habibie menjadi presiden pada 1999, Singapura ketakutan setengah mati. Habibie menyebut Singapura sebagai 'the little red dot' titik merah kecil yang sering bikin gatal.

Singapura takut dan protes terhadap pernyataan itu. Indonesia yang demokratis dan maju secara teknologi di bawah kepemimpinan Habibie, tentu sangat menakutkan bagi Singapura.

Karena itu, Singapura tidak suka terhadap kepemimpinan Habibie, dan secara tidak langsung melakukan manuver politik untuk mengadang Habibie. Kedekatan Habibie dengan kalangan Islam juga makin membuat Singapura ngeri.

Kepemimpinan Indonesia yang otoritarian di bawah Soeharto lebih disukai Singapura. Bahkan politik Singapura di bawah Lee Kuan Yew sangat mirip dengan model kepemimpinan politik Soeharto.

Dua orang-orang itu sama-sama berideologi ‘’developmentalism’’ atau pembangunanisme, yang lebih memprioritaskan pembangunan ekonomi dengan mengabaikan pembangunan demokrasi.

Dua pemimpin ini sama-sama berhasil menumbuhkan ekonomi, tetapi dua-duanya juga berhasil mematikan kehidupan demokrasi. Soeharto tumbang karena gerakan reformasi yang kemudian memunculkan kepemimpinan yang demokratis.

Singapura, sampai sekarang, masih tetap mempertahankan status quo, dan melanggengkan nepotisme politik dari Lee Kuan Yew ke anaknya, B.G Lee yang sekarang menjadi perdana menteri.

Indonesia dengan wajah Orde Baru tentu lebih aman bagi Singapura. Indonesia dengan wajah neo-Orde Baru seperti sekarang, juga pasti lebih aman bagi Singapura.

Karena itu pantas saja Singapura memakai Prof. Mahbubani untuk memuja-muji Jokowi sebagai presiden jenius. Jenius untuk siapa? Tentu, jenius untuk Singapura. (*)


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler