Jokowi Lempar Wacana Hukuman Mati Koruptor, Pengamat: Bakal Layu Sebelum Berkembang

Selasa, 10 Desember 2019 – 15:27 WIB
Presiden Jokowi peringati Hari Antikorupsi Sedunia di SMKN 57 Jakarta, Senin (9/12). Foto BPMI Setpres

jpnn.com, JAKARTA - Presiden Jokowi mewacanakan hukuman mati bagi koruptor dengan suatu kondisi tertentu, jika ada kehendak kuat dari masyarakat.

Menurut pengamat komunikasi politik, Emrus Sihombing, kehendak  bisa muncul secara natural, tetapi juga bisa dikonstruksi atau diciptakan para elite, utamanya pemerintah bersama-sama DPR RI.

BACA JUGA: Yasonna Laoly Bicara soal Hukuman Mati bagi Koruptor

Sebab, dua lembaga negara itu merupakan representasi kehendak rakyat melalui Pemilu 2019, serta mempunyai sumber daya yang mampu mengondisikannya.

Emrus menilai, presiden dengan para menteri bersama DPR dapat menggelorakan dengan berbagai teknik kemasan pesan komunikasi, jika ingin masyarakat menghendaki koruptor dihukum mati.

BACA JUGA: Hasanuddin Tertunduk Lemas Dituntut Hukuman Mati

Misalnya, dalam bentuk parodi para menteri bersama DPR, di mana dilakukan secara sistematis dan masif sehingga menimbulkan dorongan yang kuat dari rakyat.

"Menurut hemat saya, wacana hukuman mati bagi kotuptor yang dilontarkan presiden dapat diurai dari dua sisi," ujar Emrus dalam pesan elektronik yang diterima, Selasa (10/12).

BACA JUGA: NasDem Tolak Politik Mahar dan Eks Koruptor di Pemilu

Pertama, kata dosen di Universitas Pelita Harapan ini, presiden melontarkan wacana itu sebagai bentuk kegalauan terhadap perilaku koruptif yang tak kunjung berhenti, yang dilakukan para elite dari berbagai kalangan dan bidang kehidupan.

Bahkan, di kementerian urusan agama pernah terjadi perilaku koruptif. Belum lagi yang memanfaatkan pengaruhnya seperti yang dilakukan direktur utama Garuda baru-baru ini.

"Jadi, jika ingin menangkap dan memanfaatkan peluang yang tidak pernah datang dua kali, sejatinya wacana presiden harus disambut baik dan direalisasikan semua kalangan masyarakat untuk membentuk opini publik, bahwa hukuman mati kepada koruptor sangat wajar dan mendesak diwujudkan," ucapnya.

Emrus juga mengatakan, realitas menunjukkan perilaku koruptif sudah pada stadium membahayakan keuangan negara dan sekaligus mengancam keberadaan nilai seni kelima Pancasila, 'Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia'.

"Jika hukuman mati koruptor sekadar wacana, sangat disayangkan di tengah maraknya perilaku koruptif di negeri ini," katanya.

Direktur Eksekutif EmrusCorner ini mengajak para anggota DPR dari semua fraksi menyambut wacana yang dilontarkan presiden tersebut, dengan memasukkan pada revisi RUU Tindak Pidana Korupsi. DPR dapat mencantumkan, misalnya, setiap WNI yang melakukan korupsi lebih satu miliar rupiah, mutlak dieksekusi mati.

"Jika DPR dalam kurun waktu tertentu, misalnya satu tahun, tidak menunjukkan kehendak politik yang positif terhadap wacana presiden, tidak ada salahnya presiden melanjutkan wacanakan dengan mengatakan segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) hukuman mati koruptor.

"Kedua, wacana hukuman mati koruptor saya kira bisa dimaknai sebagai slogan semata oleh publik, bila pemerintah hanya sekadar mewacanakan. Pemerintah sama sekali belum tampak berinisiatif menyusun rancangan atau revisi undang-undang yang memasukkan aturan soal hukuman mati bagi koruptor," tuturnya.

Emrus menyebut wacana yang dilontarkan presiden bakal berhenti begitu saja, tanpa adanya wacana lanjutan untuk mengeluarkan Perppu bila DPR tidak memberi sinyal yang kuat.
"Dengan demikian, wacana hukuman mati koruptor, dipastikan akan layu sebelum berkembang. Hilang begitu saja, tanpa wujud. Hanya terdengar tanpa realisasi.

Wacana itu hanya bagian catatan yang tertinggal di jejak digital saja. Sangat disayangkan. Mari direnungkan," pungkas Emrus. (gir/jpnn)


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler