Jokowi, Prabowo dan Media

Kamis, 10 Juli 2014 – 00:22 WIB
Calon presiden nomor urut 2, Joko Widodo usai menggunakan hak pilihnya di pemilu presiden (pilpres) Rabu (9/7) di Jakarta. Foto: Ricardo/JPNN.Com

jpnn.com - DUNIA secara keseluruhan, demikian Cavallaro (2004) menuliskan, dapat dipahami secara metaforis sebagai sebuah teks. Bukan teks yang linear dan naratif, bukan pula teks dengan alur yang transparan,  melainkan sebuah carut-marut cerita di mana satu aliran putaran yang konstan kembali pada dirinya sendiri.

Dengan demikian benar adanya bahwa membaca adalah tugas menafsirkan teks yang carut marut tersebut sesuai dengan frame of reference (kerangka berpikir) dan field of experience (cakupan pengalaman) kita. Pada akhirnya, parameter keberhasilan pembacaan itu bukan pada benar-salah dalam menafsirkan teks, melainkan bagaimana hasil menafsir tersebut dapat menjadi teks bagi pihak lain untuk ditafsirkan kembali.

BACA JUGA: 4.000 Peacekeepers: Pilihan atau Keniscayaan?

Percayalah, para calon presiden yang mendeklarasikan diri mereka sebagai pemenang pemilu versi hitung cepat (quick count) tidak menyadari bahwa mereka telah didorong oleh kekuatan media (massa) untuk menjadi seperti sekarang ini. Lebih jauh lagi, bisa jadi media telah mengkreasi sebuah skenario besar untuk menjadikan seseorang sebagai pemenang atau pecundang, termasuk dalam kontestasi pemilu presiden kali ini.

Joko Widodo atau Prabowo Subianto, bagi media adalah sekadar komoditas informasi karena mereka berdua adalah calon presiden yang bertarung secara head to head pada pemilu presiden kali ini.

BACA JUGA: Kampanye Mendidik dan Beretika

Hasil hitung cepat pemilu presiden 9 Juli menghadirkan sejumlah fenomena politik baru di tanah air. Pertama, kredibilitas kinerja lembaga survei dipersoalkan karena ada sejumlah lembaga survei yang melakukan quick count dengan menempatkan pasangan nomor urut 2, Joko Widodo-Jusuf Kalla memperoleh persentase suara terbanyak. Di sisi lain juga ada lembaga survei yang justru memenangkan pasangan nomor urut satu yaitu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Kedua, hasil hitung cepat yang secara metodologis dapat dipertanggungjawabkan validitas dan akurasinya –dan semula dimaksudkan untuk mengontrol munculnya tindak kecurangan praktik pemilihan umum seperti pilpres ini- justru menjadi klaim politik secara positif maupun negatif. Kalau kemudian masing-masing pasangan capres-cawapres mendeklarasikan dirinya sebagai pemenang pemilu presiden versi hitung cepat, maka saat ini kita memiliki dua presiden terpilih versi hitung cepat.

BACA JUGA: Keadilan dalam Kepastian Hukum dan Kepastian Hukum dalam Keadilan

Ketiga, sampai di sini banyak pihak berharap Komisi Pemilihan Umum (KPU) bertindak dan bersikap independen dan profesional untuk memastikan suara rakyat yang akan diumumkan pada 22 Juli mendatang tidak dicurangi oleh kepentingan-kepentingan politik sesaat.

Keniscayaan Media
Dari media massa kita mengetahui bagaimana reaksi dan respon Jokowi maupun Prabowo menanggapi hasil hitung cepat yang beragam tersebut. Membicarakan hasil survei dan hasil hitung cepat sejumlah lembaga berarti membicarakan praktik komunikasi politik bermedia. Mendiskusikan praktik (komunikasi) politik di Indonesia dewasa ini berarti membicarakan (secara langsung) bagaimana media menjadi bagian tak terpisahkan dalam proses politik yang diharapkan akan semakin demokratis. Sementara mengkaji media (komunikasi) massa di Indonesia tentu tidak bisa dilepaskan dari persoalan-persoalan demokrasi dan politik yang mengiringinya.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers misalnya, tidak akan lahir dalam suasana politik yang masih otoriter (baca: belum demokratis). Demikian pula dengan undang-undang penyiaran, keterbukaan informasi publik dan lain sebagainya. Maka tesis McNair (2011) tentang kompleksitas hubungan politik, media dan demokrasi adalah keniscayaan yang patut diperhatikan secara lebih mendalam.

Brian McNair dalam bukunya An Introduction to Political Communication (5th Edition, 2011) menegaskan bahwa media tidak lagi sekadar saluran komunikasi untuk praktik-praktik politik yang dijalankan, lebih dari semuanya media telah menjadi bagian penting dalam proses politik yang terjadi –utamanya di Inggris dan Amerika Serikat. Media, dengan demikian juga memilih jalan politiknya sendiri untuk berpihak atau tidak berpihak pada isu-isu politik yang sedang berlangsung.

Keberpihakan sejumlah media cetak, televisi dan media online pada kedua pasangan capres-cawapres pada pemilu kali ini menjadi sangat kentara, dan patut dimaklumi karena faktanya para pemilik media tersebut adalah orang-orang penting di belakang kontestasi Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Fenomena ini menjelaskan tesis McNair bahwa saat ini media (sebagai teks dan konteks) adalah aktor politik itu sendiri.

Jokowi atau Prabowo?
Bagi kita masyarakat pembaca media, pilihan antara Jokowi atau Prabowo sudah selesai saat kita menggunakan hak pilih pada 9 Juli kemarin. Meski secara subjektif banyak orang sudah dapat menduga siapa yang akan menjadi presiden kita untuk lima tahun ke depan, sebagian yang lain lebih rasional untuk menunggu pengumuman resmi dari KPU.

Bagi media pilihan antara Jokowi atau Prabowo adalah pertaruhan kredibilitas mereka di masa yang akan datang. Maka selain sejumlah media yang telah menyatakan partisan untuk berpihak pada calon presiden tertentu, media-media lain yang masih menyatakan sikap untuk independen dan objektif bersikap lebih hati-hati melihat fenomena menang/kalah tipis pertarungan Jokowi dan Prabowo ini.

Sebenarnya jika kita boleh menuduh dan menuding, hampir sebagian besar media mainstream dan sejumlah sosial media cenderung lebih “suka” kepada Jokowi. Bukan karena Jokowi lebih hebat dari Prabowo jika kemudian salah satu dari mereka benar-benar jadi presiden, akan tetapi karena secara keseluruhan Gubernur DKI Jakarta nonaktif itu mampu menjaga momentum hubungan baik dengan media. Dan hal itu disadarinya sejak memutuskan berkarir di politik sebagai Wali Kota Solo pada 2005 silam.

Praktik media relations yang dibangun Jokowi dan keberhasilannya bertarung pada pilpres kali ini menjelaskan tesis awal tulisan ini bahwa demokrasi modern yang meniscayakan kehadiran lembaga survei dan hitung cepat dalam waktu yang bersamaan meniscayakan kehadiran dan peran-peran media untuk mengartikulasi dan mengagregasi kerja-kerja politik seseorang agar sampai kepada masyarakat secara lebih luas.

Jadi, jika kemudian Prabowo yang menjadi presiden RI 2014-2019, maka dia patut berterima kasih kepada para kolega politiknya yang memberikan ruang publisitas lebih lewat sejumlah media yang dimilikinya. Berbeda jika kemudian Jokowi yang akhirnya menjadi presiden, maka relasi yang terbangun adalah “cerita yang terus berlanjut” karena antara Jokowi dan media telah terbangun gain-gain relations atau relasi saling menguntungkan.

Anhar Widodo
Dosen komunikasi di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

 


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler