jpnn.com, JAKARTA - Presiden Joko Widodo langsung merespons pernyataan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, yang menganggap aturan presidential threshold (PT) 20-25 persen di UU Pemilu, sebagai lelucon politik.
Jokowi, sapaan presiden, mengatakan, angka PT 20 persen kursi DPR dan 25 persen suara pemilu nasional yang ada di UU Pemilu sudah dua kali digunakan, yakni saat Pilpres 2009 dan 2014.
BACA JUGA: Hamdalah, Komunikasi Prabowo dan SBY Mulai Cair
"Nah apalagi sudah dua kali presidential threshold 20 persen, 2009 dan 2014 kenapa dulu tidak ramai?" ucap Jokowi menjawab wartawan usai meluncurkan Pendidikan Vokasi Industri di kawasan Cikarang, Bekasi, Jawa Barat pada Jumat (28/7).
Mantan gubernur DKI Jakarta itu mengatakan bahwa adanya ambang batas pencalonan presiden di UU Pemilu diperlukan dalam rangka penyederhanaan dalam proses politik.
BACA JUGA: Prabowo Pilih Panggil SBY Dengan Pak Presiden
"Coba bayangkan, saya ingin berikan contoh, kalau nol persen, kemudian satu partai mencalonkan dan menang. Coba bayangkan nanti di DPR. Kita dulu yang 38 persen saja kan waduh. Ini proses politik yang rakyat harus mengerti," kata dia.
Karena itu dia meminta jangan ada upaya memunculkan kesan bahwa aturan PT di UU Pemilu sebagai hal yang salah. Padahal, itu bagian dari produk demokrasi.
BACA JUGA: Nama Bu Rini Disebut-sebut Lagi
"Ini, sekali lagi, ini produk demokrasi yang ada di DPR. Ini produknya DPR, bukan pemerintah dan di situ juga ada mekanisme proses demokrasi yang ada di DPR dan kemarin juga sudah diketok dan aklamasi, betul? Nah itulah yang harus dilihat oleh rakyat," tutur mantan wali kota Surakarta.
Andai masih ada yang tidak setuju dengan adanya PT di UU Pemilu, maka ada mekanisme yang bisa ditempuh, yakni melalui Mahkamah Konstitusi (MK).
"Jadi ya silakan itu dinilai, kalau masih ada yang tidak setuju, kembali lagi bisa ke MK. Inilah negara demokrasi dan negara hukum yang kita miliki," tandasnya. (fat/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Inilah Skenario Poros Pilpres 2019 yang Mungkin Muncul
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam