jpnn.com, JAKARTA - Tim jaksa penuntut umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencecar Wakil Presiden Ke-11 RI Boediono yang bersaksi pada persidangan terhadap terdakwa perkara korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syafruddin A Temenggung di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (19/7).
Jaksa dari lembaga antirasuah itu bertanya ke Boediono selaku menteri keuangan 2001-2004 yang mengetahui penghapusbukuan (write off) utang Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim sebesar Rp 2,8 triliun.
BACA JUGA: Kesaksian Boediono untuk Terdakwa Korupsi BLBI
Boediono pada persidangan itu awalnya mengaku lupa saat ditanya tentang usulan write off utang Rp 2,8 triliun tersebut. Usulan itu muncul dari Syafruddin A Temenggung selaku kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dalam rapat terbatas (ratas) di Istana Negara, Februari 2004.
"Persetujuan begitu itu tentu ada semacam kesimpulan. Saya tidak ingat akhir rapat itu ada kesimpulan atau tidak," kata Boediono di kursi saksi.
BACA JUGA: SKL BLBI Bukan Keputusan Pribadi Pejabat tapi Kolektif
JPU lantas memperlihatkan notulensi rapat itu. Merujuk notulensi itu pula maka ratas menyepakati keputusan untuk menghapusbukukan utang Sjamsul Nursalim sebesar Rp 2,8 triliun.
Namun, Boediono menepisnya. Menurutnya, dalam ratas itu belum ada keputusan untuk menghapusbukukan utang Sjamsul Nursalim sebesar Rp2,8 triliun. “Bahwa sampai akhir sidang kabinet, tidak ada kesimpulan yang dibacakan. Jadi sampai selesai (tidak ada keputusan)," ucap guru besar ilmu ekonomi di Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.
BACA JUGA: Eks Deputi Ungkap Alasan BPPN Terbitkan SKL untuk Bos BDNI
Setelah ratas di Istana Negara pada Februari 2004, kata Boediono, masih ada rapat lanjutan di Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). Rapat itu dihadiri BPPN.
Sedangkan JPU menyatakan, Syafruddin pada rapat di KKSK tetap menyuarakan penghapusbukuan utang. Alasannya, usulan itu telah disepakati dalam ratas di Istana Negara.
Dalam perkara ini, Syafruddin selaku mantan kepala BPPN didakwa melakukan korupsi dalam pemberian surat keterangan lunas (SKL) BLBI untuk BDNI. Kasusnya berawal pada Mei 2002 ketika Syafruddin menyetujui keputusan KKSK tentang kewajiban BDNI menjalani restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset ole kepada BPPN sebesar Rp 4,8 triliun.
Namun, Syafruddin pada April 2004 malah mengeluarkan SKL bagi Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali BDNI yang masih memiliki kewajiban kepada BPPN. Acuan SKL itu adalah Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 yang ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri.
Namun, SKL itu mengakibatkan kerugian negara hingga Rp 4,5 trilin. JPU lantas mendakwa Syafruddin melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.(rdw/JPC)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kubu Syafruddin Sebut Legal Audit Konsultan BPPN Prematur
Redaktur : Tim Redaksi