Kubu Syafruddin Sebut Legal Audit Konsultan BPPN Prematur

Selasa, 10 Juli 2018 – 17:41 WIB
Mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung. Foto: JPG/Rmol

jpnn.com, JAKARTA - Sebuah fakta baru terungkap dalam persidangan lanjutan dugaan tindak pidana korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atas terdakwa mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung.

Sejumlah saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (9/7), memberikan kesaksian bahwa mereka baru melakukan audit setelah perjanjian (Master Settlement and Acquisition Agreement) di Closing, release and discharge (R&D) telah diterbitkan dan aset-aset telah diserahkan kepada BPPN serta BDNI telah dibekukan dan sepenuhnya dalam kekuasaan BPPN.

BACA JUGA: KPK Dituding Bermain Opini di Kasus SKL BLBI

"Beberapa dokumen dan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, baik dokumen yang ada di dalam MSAA maupun keterangan beberapa saksi itu, masalah petani tambak itu tidak pernah ada dokumen yang menyatakan dia bahwa dijaminkan oleh yang namanya Sjamsul Nursalim. Dan ini terbukti lagi bahwa dokumen yang menyatakan bahwa itu dijaminkan oleh PT DCD (Dipasena Citra Darmaja) dan PT Wahyuni Mandira," kata Kuasa hukum terdakwa Syafruddin Arsyad Tumenggung, Ahmad Yani ketika dikonfirmasi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (9/7).

Menurut Ahmad Yani, saksi Timboel Thomas Lubis dari konsultan LGS (Lubis Ganie Surowijoyo/Konsultan Hukum BPPN) dalam persidangan mengaku ragu apakah pihaknya mengeluarkan legal audit berdasarkan isi MSAA atau pun berdasarkan audit dari Ernest & Young.

BACA JUGA: Sudah Inkrah, Perkara BLBI Jangan Digoreng Lagi

"Apa yang disebutkan memenuhi atau tidak memenuhi perjanjian itu kan basisnya kan harus kita lihat dalam MSAA, nah di dalam MSAA itu sendiri bahwa petani tambak itu tidak pernah dijamin oleh Sjamsul Nursalim dan juga tidak pernah menyatakan bahwa kredit petani tambak itu adalah lancar. Kalau kita lihat skim waktu itu memang sejak awal, sejak bank itu dibekukan memang sudah bermasalah, karena yang menyalurkan kredit itu adalah bank. Ini kan ada perjanjian, tadi kan terungkap perjanjian antara BDNI di satu sisi, terus petani petambak di satu sisi dan DCD sebagai penjamin," ungkapnya.

Dia menambahkan, Tim LGS sendiri dalam persidangan menyatakan tidak diberikan bukti-bukti, tidak pernah mendapatkan yang namanya R&D.

BACA JUGA: SKL Perkara Perdata, Tidak Bisa Dipidana

"Artinya, kesimpulan yang dibuat oleh legal audit oleh LGS prematur, nah oleh karena prematur sebenarnya tidak bisa dijadikan pijakan. Apalagi auditnya LGS itu kan diserahkan kepada TPBH, TPBH menyerahkan kepada KKSK, KKSK bisa mengambil keputusan yang berbeda. Ada keputusan-keputusan yang berbeda ada keputusan yang mengakomodir," katanya.

Dalam persidangan terungkap juga sewaktu audit dilaksanakan semua data berasal dari BPPN, data mana yang diberikan atau yang tidak diberikan hanya BPPN yang mengetahuinya.

Sejak BDNI di BBO, MSAA di tandatangani September 1998, waktu due diligence sepanjang 8 bulan sampai dengan Closing MSAA pada 25 Mei 1999, BPPN tidak pernah mempermasalahkan hutang petambak kepada Pemegang Saham BDNI (PS BDNI).

Setelah DCD dibawah kendali BPPN dan mengalami kerusuhan besar karena keadaan yang tidak menentu pada krisis dan adanya gangguan external, BPPN baru mempermasalahkan hutang petambak. Dari pihak PS BDNI sama sekali tidak mengetahui dan tidak mencampuri audit tersebut oleh karenanya hasil audit tersebut tidak bisa diterima sebagai dasar kesaksian.

Untuk diketahui, perihal Hutang Petambak Surat Glen tanggal 1 Nov 1999, menulis bahwa PS BDNI menyatakan hutang petambak lancar. Dalam kesaksian Farid Hariyanto di persidangan 2 Juli 2018 menyatakan bahwa PS BDNI tidak pernah hadir dalam pembahasan mengenai hutang petambak dan tidak pernah memberikan pernyataan tersebut. Perjanjian hutang petambak ditandatangani oleh pihak BDNI, Petambak dan DCD.

Dalam perjanjian tersebut ditegaskan, jaminan diberikan dari pihak DCD bukan PS BDNI dan jaminan tersebut menyatakan jikalau ada petambak yang hutangnya macet, DCD diberi waktu 6 bulan untuk mencari petambak baru sebagai pengganti dan BDNI akan memberikan pinjaman baru untuk menyelesaikan hutang petambak sebelumnya yang macet karena BDNI tetap memegang jaminan rumah dan tambak tersebut.

"Tetapi sebelum 6 bulan BDNI sudah dibekukan oleh BPPN dengan sendirinya tidak bisa menyalurkan kredit baru kepada petambak pengganti," ungkap Yani.

Dia menegaskan, berdasarkan fakta tersebut dengan sendirinya perjanjian itu tidak bisa dilanjutkan, karena ada pihak yang tidak dapat melaksanan janjinya disebabkan telah dibekukan oleh BPPN. Ditambah lagi setelah closing MSAA, DCD sudah diserahkan pemilikannya kepada BPPN.

MSAA sendiri adalah perjanjian yang bersifat Perdata dan ditanda tangani sewaktu Glenn Yusuf menjabat sebagai Ketua BPPN pada tahun 1998, tidak ada hubungannya dengan SAT yang baru menjabat sebagai Ketua BPPN pada April 2002.

"Jikalau adanya perselihian dalam penyelesaian MSAA harus sesuai dengan apa yang diatur dalam perjanjian tersebut yaitu harus melalui jalur Pengadilan Perdata. Melihat kondisi saat ini di Pengadilan Tipikor yang hanya membicarakan permasalahan penyelesaian MSAA, adalah salah alamat dan tidak benar. Atau memang punya tujuan untuk memaksa permasalahan perdata ke pidana," tandasnya. (dil/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kasus SKL BLBI: Petambak Tak Pernah Terima Uang BDNI


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler