Jualan Sabu Demi Kuliah Anak di Kedokteran, Sedih, Menangis

Senin, 18 September 2017 – 08:53 WIB
Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com - Wayan Hasan Basri, 38, seorang supir nyambi jualan narkoba demi membiayai anaknya yang kuliah di Fakultas Kedokteran.

Kini, Warga Kepaon, Denpasar Selatan, Bali, itu harus menjalani hari-harinya di balik jeruji Mapolresta Denpasar, Bali.

BACA JUGA: Lima Kampus Usul Buka Fakultas Kedokteran

Dia ditangkap pada Kamis (7/9) sekitar pukul 23.30 wita. Langkahnya ragu, tanpa alas kaki berjalan menuju ruang Kasat Resnarkoba Polresta Denpasar beberapa hari lalu.

Dengan memakai kaos putih tipis, tak ada senyum yang menghiasi wajahnya. Terlihat pasrah saat salah seorang petugas kepolisian menggiringnya.

BACA JUGA: Kontrak Dosen Kedokteran UI, Papua Barat Gelontorkan Rp 71,4 Miliar

“Saya saat itu akan menempel (menjual, red) sabu. Awalnya saya dikasih 25 paket namun sudah banyak yang tertempel dan masih sisa 13 paket yang saat itu akan saya tempel di wilayah Sesetan,” pengakuannya.

Pekerjaannya sebagai supir pariwisata freelance dengan penghasilan yang dirasanya cekak membuatnya harus banting setir mencari sumber penghasilan lain.

BACA JUGA: Laporan Lengkap Pernikahan Mewah yang Seserahannya Rp 2 Miliar

Apalagi tagihan kuliah anak pertamanya yang sudah semester IV di salah satu Fakultas Kedokteran di Surabaya mulai membengkak.

Istrinya bekerja membuka salon kecil-kecilan di rumah. Dan keduanya menghidupi dua orang putri cantiknya.

“Penghasilan saat ini sangat minim. Kalau sepi ya kisaran Rp5 juta-an sebulan. Dan itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan membayar kasbon yang menumpuk. Bapak saya juga belum panen, musim panen cengkeh belum tiba. Setiap bulan saya harus mengirimi anak sejumlah Rp 2 juta untuk keperluannya di Surabaya. Itupun dibantu oleh bapak saya,” terangnya.

Sambil duduk dan melipat tangannya, dia menceritakan awal mula mengenal barang haram. Bermula dari pertemuan beberapa tahun silam di Kuta dengan seorang yang bernama Maskur.

Lama terpisah, akhirnya keduanya bertemu lagi hingga pihaknya memutuskan menawari Maskur untuk menginap di kosannya. Pasalnya, menurut cerita Maskur, dia harus bolak-balik Negara ke Denpasar karena tak punya kos.

“Dulu pernah ketemu sebagai supir. Saya sebenarnya takut nyentuh barang tersebut karena kepepet ekonomi dan tergiur akhirnya saya pilih jalan itu,” ungkapnya lirih.

Pada pertemuan ketiga, Maskur sengaja main ke kosnya. Lalu dia diajak ke kafe untuk minum dan dikenalin dengan bosnya Maskur.

Perbincangan melalui telepon mengarah tawaran kerja sama dengan berbagai iming-iming uang yang akan diterimanya.

“Awalnya tidak tahu. Saya hanya disuruh mengambil barang dan menempel sisanya dengan upah Rp50 ribu per alamat. Baru saja selesai 12 alamat yang saya tempel di wilayah Sesetan dan Teuku Umar. Setelah semua selesai saya dijanjikan mendapat bonus Rp2 juta,” jelasnya.

Baru 20 hari bekerja sebagai kurir, tak dapat hasil. Bonus yang dijanjikan uang sebesar Rp2 juta hangus. Total upah sekitra Rp3,25 juta tidak jadi diterimanya.

Dia masih ingat betul saat itu bosnya mengatakan bahwa jika terjadi apa-apa, semua akan ditanggung olehnya. Jadi Basri tidak perlu kawatir.

“Tahunya hingga detik ini tidak ada apa-apa. Saya pasrah dan menerima karena sudah terjadi. Saya juga belum dapat bayaran apa-apa. Tahu begini saya mending jadi kuli bangunan,” sesalnya.

Tangisnya pecah ketika dia cerita soal firasat buruk yang dialaminya. Malam itu Maskur terlihat di gang kosannya, seakan –akan mengawasi kamar kosnya.

Namun sengaja tidak ingin mampir. Dia hanya bicara lewat telepon, meminta agar menghabiskan stok sabu terakhirnya.

“Dia bilang ini terakhir nanti akan dapat bonus. Eh, belum sempat menempel ditangkap duluan,” imbuh sembari menangis, saat ditemui di ruangan Kasatnarkoba siang itu.

“Saya pasrah apapun yang terjadi saya jalani dan saya terima,” terangnya sambil terisak.

Kini baik bosnya maupun Maskur tidak pernah menampakkan batang hidungnya.

Istri tercintanya dan orang tuanya juga tidak mengunjunginya, lantaran keduanya dalam kondisi sakit.

“Biasanya saya tidur sendiri di kos sekarang banyak teman senasib. Terkadang bosan tapi mau gimana lagi. Hanya bisa saling curhat dengan teman. Nyanyi-nyanyi bersama teman, gembira di balik penjara tapi hati tidak tahu ke mana. Susah tidur rasanya. Takutnya kalau dipendam sendiri malah mengambil jalan yang tidak baik,” curhatnya.

Dia juga cerita, sebelumnya pernah mimpi berada di penjara. “Saya bermimpi bersama banyak orang di penjara. Dan salah seorang tertawa, duduk dipojokan sambil memakai topi. Namun wajah mereka tidak jelas. Saya baru sadar setelah beberapa hari di balik jeruji. Mimpi itu datang jadi kenyataan. Sama persis, dan saya heran kok bisa ya,” tandasnya. (afi)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pernikahan Mewah, Mempelai Wanita Mahasiswi Kedokteran


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler