jpnn.com, JAKARTA - Juru Bicara paslon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) Surya Tjandra menilai Ketua Dewan Pengarah TPN Prabowo-Gibran Airlangga Hartarto gagal paham mengenai konsep contract farming.
Surya mengatakan tujuan program food estate mungkin baik. Namun menuai perdebatan publik, karena dari sejak awal perencanaan program ketahanan pangan itu memang bermasalah dan tidak dikelola dengan baik.
BACA JUGA: Tolak Food Estate, Anies Tegaskan Komitmen Kembangkan Contract Farming
“Pendekatannya lebih banyak berorientasi proyek, yaitu industrialisasi pertanian untuk menggenjot lumbung pangan, dan sama sekali tidak mempertimbangkan aspek historis subjek petani yang akan mengerjakannya, maupun pertanian kultural yang mendasari para petani lokal bekerja”, terang Surya dalam keterangannya, Jumat (1/12).
Mantan Wakil Menteri ATR/BPN ini memberikan dua contoh proyek food estate di Kalimantan Tengah dan Papua yang justru mengalienasi atau meminggirkan para petani lokal. Dalam proyek food estate di Kalimantan Tengah, Surya menyoroti lahan pertanian yang adalah milik negara dan beredar isu di media akan dikelola oleh yayasan yang berisi para politikus dan pengusaha yang dekat dengan Kementerian Pertahanan sebagai pemegang kuasa program.
BACA JUGA: Aktivis Lingkungan: Food Estate Bukan Solusi Ketahanan Pangan
“Untuk food estate di Kalimantan Tengah, kan, petani juga tidak punya lahan sendiri, mereka pekerja. Tanahnya tanah negara, yang menurut laporan media pengelolaannya akan diserahkan kepada PT Agro Industri Nasional (Agrinas), yang menurut laporan media yang sama, isinya adalah orang-orang yang dekat Menteri Pertahanan Prabowo. Masak, Pak Menko Airlangga tidak tahu itu?” kata Surya.
Sedangkan proyek food estate di Merauke, Papua, sambung dia, konversi hutan yang dianggap tak produktif, bahkan telah memicu pergeseran pola pangan yang menyebabkan masalah gizi dan kesehatan masyarakat setempat.
BACA JUGA: Jubir Anies Sebut Kegagalan Food Estate Disebabkan Salah Konsep
“Sungguh tragis nasib masyarakat Marind Anim di Merauke sana, sudah akses terhadap hutannya dihapus, pola pangan mereka dipaksa berubah secara cepat, akibatnya mereka amat merugikan. Semua karena kebijakan Pemerintah yang semena-mena dan tidak tepat,” tegas Surya.
Selain justru tidak berpihak kepada petani lokal, lanjut Surya, kebanyakan hasil proyek food estate saat ini amat rendah. Surya memaparkan contoh data proyek food estate di Merauke, Papua yang dibuka sejak 2011, di mana dari 1,23 juta hektare kawasan hutan hanya 400 hektar yang masih berjalan. Sedangkan di Ketapang, Kalimantan Barat yang dikerjakan sejak 2013, kata dia, dari 886.959 hektare, pemerintah baru sanggup mengusahakan 100 ribu hektare.
“Sekarang pemerintah kembali mau membuka hutan dan menjadikannya food estate. Masalahnya hutan dan kayunya sudah lenyap, food estate yang dijanjikan tidak juga jelas perkembangannya. Masyarakat pun jadi bertanya-tanya, ini proyek bangun food estate, atau strategi sekelompok orang mendapat kayu secara cepat dan menguntungkan?” cetusnya.
Surya menambahkan adanya masalah krusial lain dari proyek food estate saat ini adalah hilangnya posisi subjek, yaitu masyarakat petani itu sendiri. Menurut dia, program ini berorientasi proyek, mengakibatkan food estate hanya dari luasnya, jumlah investasi, modal kerja, dan sarana produksi.
“Dilaksanakan oleh perusahaan yang ditunjuk pemerintah, petani menjadi pekerjanya. Budaya pertanian dan karakter ekosistem setempat justru malah tidak dipertimbangkan, kearifan lokal dan nilai-nilai pertanian kultural dipinggirkan," ujar dia.
Dibanding membangun food estate baru yang merusak hutan dan berpotensi kembali gagal, kata Surya, paslon AMIN akan memulai dengan mendorong maksimalisasi dan perlindungan lahan pertanian produktif yang sudah ada saat ini di Indonesia, terutama di daerah-daerah lumbung pangan.
“Anies Baswedan ingin mengoreksi kebijakan yang tidak tepat tersebut, dan ingin mengembalikan kedaulatan petani sebagai subjek utama. Kearifan lokal dan pertanian kultural menjadi pedoman bagi pemerintah untuk bekerja. Ukuran keberhasilannya adalah kalau mereka berhasil dimuliakan, dengan kita bisa memperkuat ketahanan pangan, petani lokal sejahtera,” pungkas Surya.
Polemik terkait program food estate terus menghangat, setelah calon presiden (capres) nomor urut 1 Anies Baswedan melontarkan visinya akan mengganti program lumbung pangan itu menjadi contract farming atau pertanian kontrak di Jakarta pada Sabtu (25/11).
Gagasan Anies itu lantas mendapatkan kritik atau sanggahan dari Ketua Dewan Pengarah Tim Pemenangan Kampanye pasangan calon nomor urut 2 (Prabowo-Gibran), Airlangga Hartarto. Airlangga menyebutkan bahwa jika contract farming diterapkan, itu artinya para petani tidak memiliki tanahnya sendiri.
Menurut Ketua Umum Partai Golkar itu, contract farming adalah petani yang tidak memiliki tanah. Ia mencontohkan misalnya di Pulau Jawa yang lebih dikenal sebagai petani buruh atau pekerja buruh sawah. Padahal, menurut Airlangga, petani harus memiliki tanah atau lahan sawahnya sendiri. (Tan/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pakar Sebut Food Estate Prabowo Mirip Tanam Paksa Era Kompeni
Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga