jpnn.com, WASHINGTON - Jumlah kasus COVID-19 terkonfirmasi di Amerika Serikat (AS) telah menembus angka 5 juta pada Minggu (9/8) seiring. Rekor tidak sedap itu makin menyoroti masalah mengakar di masyarakat AS serta menimbulkan keraguan pada kualitas kepemimpinan Presiden Donald Trump.
Menurut data Universitas Johns Hopkins pada Senin (10/8) pukul 00.00 GMT atau pukul 07.00 WIB, AS telah melaporkan 5.041.473 kasus positif dan 162.913 kematian terkait COVID-19
BACA JUGA: Facebook Akhirnya Berani Cabut Unggahan Donald Trump
Hanya ada sedikit tanda yang menunjukkan bahwa penyebaran virus tersebut melambat di AS.
Meski merupakan kekuatan ekonomi terbesar dan memiliki salah satu sistem kesehatan paling maju di dunia, AS menjadi negara yang paling terpukul tidak lama setelah pandemi COVID-19 menyebar di seluruh dunia.
BACA JUGA: Rusia Mencoba Melemahkan Joe Biden, China Ingin Trump Kalah
COVID-19 saat ini menjadi penyebab utama kematian di Negeri Paman Sam, membunuh lebih banyak orang per hari dibandingkan kanker atau penyakit jantung, menurut grafik data yang dipublikasikan di Newsweek pada 9 April. Penyakit itu juga telah membunuh lebih banyak orang Amerika dibandingkan gabungan jumlah warga negara tersebut yang tewas dalam Perang Korea, Perang Vietnam, Perang di Afghanistan, dan Perang Irak.
Sikap sejumlah politisi AS yang tidak memedulikan kehidupan manusia, ketidaksetaraan rasial yang mengakar dalam, serta kesenjangan kekayaan yang kian melebar telah memperburuk situasi mengerikan itu.
BACA JUGA: Donald Trump Ogah Tonton NBA Lagi, Enggak Ada yang Peduli
Dengan meremehkan cakupan dan bahaya pandemi, Presiden Donald Trump berulang kali mengklaim bahwa AS memiliki salah satu tingkat kematian COVID-19 terendah di dunia.
Namun, pada kenyataannya tingkat kematian di negara tersebut tercatat 1 per 100.000 penduduk, lebih tinggi dibandingkan beberapa negara lain seperti Kanada, Jerman, Prancis, dan Belanda, menurut artikel terbaru yang diterbitkan surat kabar The Hill.
"Akan tetapi, Trump tidak fokus pada angka-angka itu," dan malah terpaku pada angka yang disebut tingkat kematian kasus (persentase orang yang meninggal setelah tertular COVID-19) untuk membingungkan orang-orang serta menutupi tingkat kematian yang sangat tinggi dibandingkan proporsi populasi, papar artikel tersebut.
Terlebih lagi, kelompok rentan di negara itu, yang meliputi warga lanjut usia (lansia), warga miskin, warga Amerika keturunan Afrika, dan warga Amerika keturunan Latin, telah menanggung dampak dari COVID-19 dan masih menjadi yang paling berisiko.
Di setidaknya 23 negara bagian di AS, sebagian besar kematian COVID-19 diketahui terkait dengan panti wreda, menurut The New York Times. Per 15 Juli, kematian di fasilitas perawatan jangka panjang menyumbang lebih dari 42 persen dari total kematian akibat pandemi COVID-19 di negara itu.
Ben Shapiro, Kepala Redaksi The Daily Wire, situs berita sayap kanan Amerika, menyebutkan dalam sebuah wawancara pada 30 April lalu bahwa nyawa warga lansia tidak layak untuk diselamatkan.
"Jika seseorang yang berusia 81 tahun meninggal karena COVID-19, itu tidak sama dengan seseorang berusia 30 tahun yang meninggal karena COVID-19. Jika seorang nenek meninggal di panti wreda pada usia 81 tahun, itu tragis dan mengerikan. Selain itu, angka harapan hidup di Amerika Serikat adalah 80 tahun," katanya.
Populasi minoritas juga sangat terpukul oleh pandemi COVID-19 di negara itu.
Namun, terlepas dari seruan para pakar kesehatan masyarakat untuk memprioritaskan masyarakat minoritas dalam penanggulangan virus, pemerintahan Trump belum mengambil tindakan yang cukup.
Hingga 12 Juni, warga kulit hitam non-Hispanik memiliki tingkat infeksi atau kematian akibat COVID-19 sekitar lima kali lebih tinggi dibandingkan warga kulit putih non-Hispanik, sementara orang Hispanik atau Latin memiliki tingkat kematian sekitar empat kali lebih tinggi dibandingkan orang kulit putih non-Hispanik, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Centers for Disease Control and Prevention/CDC) AS dalam sebuah pernyataan pada 25 Juni.
Pandemi COVID-19 di AS tidak menyediakan platform untuk kerja sama di kalangan para politikus, melainkan medan pertempuran bagi mereka untuk berseteru satu sama lain.
Saat kasus COVID-19 melonjak di seluruh wilayah AS, partai Republik dan Demokrat semakin memandang penyakit ini dengan cara yang sangat bertolak belakang, menurut laporan yang diterbitkan oleh Pew Research Center pada 25 Juni.
Partai Demokrat dan pihak independen yang condong ke partai tersebut dua kali lebih mungkin dibandingkan Partai Republik dan pendukungnya untuk mengatakan bahwa masker harus selalu dipakai. Sementara itu, Partai Republik jauh lebih mungkin mengatakan bahwa masker tidak harus selalu dipakai atau tidak dipakai sama sekali dibandingkan Partai Demokrat, papar laporan tersebut.
Perpecahan yang lebar antara faksi politik yang berbeda itu tidak hanya menghambat warga AS untuk bertindak sesuai dengan pedoman pencegahan, tetapi juga menghalangi negara tersebut untuk membuat rencana antipandemi yang komprehensif.
Alih-alih mengikuti saran ilmuwan dan pakar kesehatan masyarakat serta mendengarkan suara publik, beberapa politisi AS memilih untuk memprioritaskan kepentingan politik mereka sendiri.
Segelintir warga Amerika menginginkan sekolah-sekolah di daerah mereka dibuka kembali untuk kegiatan belajar-mengajar tatap muka seperti biasa atau bahkan dengan sedikit penyesuaian mengingat situasi COVID-19 yang parah, menurut jajak pendapat terbaru yang dirilis pada 22 Juli.
Hanya 8 persen warga Amerika yang mengatakan bahwa sekolah taman kanak-kanak hingga kelas 12 lokal harus dibuka untuk kegiatan belajar-mengajar tatap muka seperti biasa, dan 14 persen berpikir sekolah dapat dibuka kembali dengan sedikit penyesuaian, ungkap survei yang dilakukan oleh The Associated Press-NORC Center for Public Affairs Research.
Namun, Trump dan pemerintahannya memaksakan sekolah untuk dibuka kembali pada musim gugur mendatang dengan mengancam akan menahan pendanaan federal bagi sekolah yang tidak mematuhi aturan tersebut. Trump memandang pembukaan kembali sekolah sebagai langkah penting untuk memulai kembali ekonomi negara demi kampanye pemilihannya kembali.
Menyaksikan ketidakmampuan dan kefanatikan pemerintah AS dalam menangani krisis COVID-19, lebih dari 1.200 ilmuwan di negara tersebut menandatangani sebuah surat terbuka, yang menuduh pemerintahan Trump mengabaikan "keahlian ilmiah."
Mereka juga memperingatkan bahwa tidak disertakannya bukti ilmiah dalam perumusan kebijakan telah memengaruhi bidang ilmu sosial, biologi, lingkungan, dan fisik secara luas."
"Di dunia yang sempurna, pandemi yang belum pernah terjadi sebelumnya ini akan menjadi kesempatan bagi warga Amerika untuk mengesampingkan perbedaan mereka dan mendukung negaranya. Tapi secara keseluruhan, pandemi telah memperdalam polarisasi, dan kemungkinan akan semakin buruk seiring berjalannya waktu," kata Francis Fukuyama, seorang ilmuwan politik terkenal, dalam artikel terbaru berjudul "The Wages of American Political Decay".
Sejak awal pandemi, pemerintahan Trump sibuk melempar kesalahan kepada pihak lain, berulang kali melontarkan tuduhan tak berdasar terhadap Tiongkok dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk mengalihkan perhatian warga Amerika dari virus tersebut.
Melabeli COVID-19 sebagai "virus Tiongkok", pemerintahan Trump mengklaim bahwa virus tersebut dibuat di laboratorium di Wuhan dan menyalahkan Tiongkok karena menyembunyikan kebenaran. Padahal, faktanya Tiongkok segera menginformasikan kepada WHO, AS, dan negara lain setelah negara itu mengidentifikasi wabah COVID-19.
Pada 12 Januari lalu, Tiongkok merilis seluruh urutan genom virus corona, yang terbukti penting untuk diagnosis dan pengobatan penyakit tersebut secara global.
Teori konspirasi yang mengklaim bahwa virus corona dibuat di Institut Virologi Wuhan di Tiongkok juga telah dibantah oleh para ilmuwan terkenal di seluruh dunia.
Ian Lipkin, Direktur Pusat Infeksi dan Imunitas di Universitas Columbia, juga mengatakan kepada The Washington Post tidak ada bukti yang mendukung gagasan bahwa (COVID-19) ini dilepaskan dengan sengaja atau tidak sengaja.
Studi tentang asal mula virus itu dengan jelas menunjukkan bahwa virus corona muncul secara alami bukan dari lembaga mana pun.
WHO, yang didirikan untuk meningkatkan kesehatan global, tidak luput dari sasaran pemerintahan Trump.
Bahkan, pemerintah AS telah mulai menarik diri dari WHO bulan lalu, menuduhnya terlalu dekat dengan Tiongkok dan salah menangani pandemi COVID-19, yang mengejutkan banyak ahli di negara tersebut.
Langkah AS itu tentu saja memberikan pukulan bagi kerja sama global yang sudah rapuh dalam pengendalian pandemi.
Prancis dan Jerman memutuskan untuk menghentikan pembicaraan tentang reformasi WHO karena Amerika Serikat, meskipun telah memutuskan untuk keluar dari organisasi itu, ironisnya masih berusaha untuk memimpin perundingan tersebut, menurut laporan Reuters pada Jumat (7/8).
"Tidak ada yang ingin diseret ke dalam proses reformasi dan mendapatkan garis besarnya dari negara yang baru saja keluar dari WHO," kata seorang pejabat senior Eropa yang dikutip oleh laporan itu.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus pada Kamis (6/8) pekan lalu mengatakan bahwa pandemi COVID-19 tidak dapat dikalahkan di dunia yang terpecah, dan dia berharap AS akan "mempertimbangkan kembali posisinya" terkait keputusan untuk menarik diri dari organisasi tersebut.
"Sekarang saatnya untuk bekerja sama, saatnya untuk fokus memerangi virus ini. Jadi, saya berharap AS akan mempertimbangkan kembali posisinya," ujar kepala WHO tersebut di Forum Keamanan Aspen melalui tautan video. (ant/dil/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Adil