Jumlah Petani Turun Terus Merosot, Ini Penyebabnya

Senin, 09 Maret 2015 – 06:46 WIB
Ilustrasi.

jpnn.com - JAKARTA - Target Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang akan membawa Indonesia bisa swasembada beras pada 2017 benar-benar berat. Bukannya meningkat, produksi beras nasional malah terancam menurun. Penyebabnya, jumlah petani yang semakin sedikit. 

"Dalam setahun terjadi penurunan jumlah rumah tangga petani sekitar 500 ribu," kata Menteri Pertanian Amran Sulaiman akhir pekan lalu (7/3) 

BACA JUGA: 8 Warga Surabaya Hilang di Turki, Ini Langkah Rismaharini

Dalam survei pertanian yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), diketahui jumlah rumah tangga usaha tani di Indonesia pada 2003 masih 31,17 juta. Tapi, sepuluh tahun kemudian (2013), jumlahnya menyusut jadi 26,13 juta. Turun sekitar 5 juta selama sepuluh tahun. Atau kalau dirata-rata 1,75 persen per tahun.

Menurut Amran, penurunan itu sebagian besar berasal dari para petani kecil yang memiliki luas lahan minim, sekitar 0,3 hektare. Mereka meninggalkan profesi sebagai petani karena penghasilannya yang sangat minim. Sekitar Rp 200 ribu per bulan, sangat jauh dari kebutuhan.

BACA JUGA: Sekeluarga Warga Solo Hilang di Turki, Satu Bocah Enam Tahun

Kondisi itu, lanjutAmran, bisa berbahaya jika tidak segera diatasi. Sebab, saat jumlah petani menurun, kebutuhan masyarakat akan pangan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk. 

Melihat kondisi itu, pemerintah akan menggenjot tingkat produktivitas petani yang ada. "Di antaranya melalui penggunaan benih unggul dan pemakaian alsintan (alat mesin pertanian)," terangnya.

BACA JUGA: 16 WNI yang Hilang Pakai Visa Wisata

Dari total anggaran APBN 2015 untuk pertanian Rp 16,9 triliun, Kementan memberikan porsi yang besar untuk alsintan. Dengan mesin pertanian yang lebih canggih, diharapkan jumlah lahan yang diolah lebih banyak meski jumlah petani menyusut. "Kita mencoba tetap bisa meningkatkan produksi dengan bantuan mesin," tuturnya.

Amran mencontohkan, tahun ini ada pengadaan traktor roda empat sebanyak 1.000 unit dengan anggaran Rp 444,7 miliar. Lalu traktor roda dua 20 ribu unit senilai Rp 500 miliar. Rice transplanter juga diproduksi mencapai 5.000 unit senilai Rp 315 miliar. Untuk pemanenan, dibikin mesin perontok padi 2.000 unit senilai Rp 60 miliar. "Itu jumlah yang sangat besar dibanding sebelum-sebelumnya," papar Amran.

Dikonfirmasi terpisah, Ketua Umum Koperasi Pedagang Pasar Induk Cipinang Jakarta Zulkifly Rasyid membenarkan adanya ancaman turunnya produksi beras. Selain jumlah petani yang semakin minim, dia menyinggung terus berkurangnya lahan pertanian. Sementara pertumbuhan penduduk terus terjadi. Mau tidak mau, ancaman kekurangan suplai beras dari dalam negeri terbuka. 

Itulah sebabnya Zulkifly tidak yakin Indonesia bisa mencapai swasembada beras dalam pemerintahan Jokowi. Dia berharap impor tetap dilakukan dalam jumlah yang wajar untuk menjaga pasokan. Kalau tidak, naiknya harga beras bisa terulang pada awal 2016. "Presiden SBY yang sepuluh tahun memimpin saja gagal," ucapnya.

Selain itu, sistem buka tutup terhadap pasokan beras Bulog dilakukan dengan momen yang tepat. Buktinya, setelah ada operasi pasar, harga beras terus merangkak turun. Harga beras di PIBC untuk IR-64 I mencapai Rp 10.450 per kg, IR-64 II Rp 9.400, dan IR-64 III Rp 8.800. Untuk stok beras, ada 25.319 ton. (wir/dim/c9/ang)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kubu Agung tak Akui Hasil Penjaringan Balon Kada


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler