Sultan Rif'at Alfatih terlihat sumringah karena kedatangan Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM (Menko Polhukam) Mahfud MD.
Tapi kunjungan Menko Polhukam itu tidak dalam situasi yang ideal.
BACA JUGA: Australia Ubah Regulasi Bantuan ke Luar Negeri demi Menyaingi Tiongkok
Komunikasi antara Mahfud dan Sultan, meski berjalan lancar, hanya bisa dilakukan lewat teks atau tulisan.
Sudah tujuh bulan terakhir Sultan tidak bisa makan atau bicara layaknya orang normal.
BACA JUGA: Presiden Timor Leste: Indonesia Damai & Stabil, Rakyatnya Bebas, Perlu Apa Lagi?
Pita suara dan kerongkongannya rusak parah, sehingga ia harus makan dan minum melalui selang nasogastrik (NGT) Silikon yang dimasukkan melalui hidung.
Karena kondisinya, ia terancam malnutrisi akibat kurangnya asupan gizi dari makanan yang masuk. Berat badannya menyusut dari 67 kilogram menjadi 46 kilogram.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Panen Dolar, Film Barbie Memecahkan Rekor Baru
Kondisi ini dialami Sultan setelah ia terkena sambaran kabel yang menjuntai di ruas Jalan Pangeran Antasari, Jakarta Selatan, pada Januari lalu.
Saat itu, Sultan yang tengah menghabiskan waktu libur semesternya di Jakarta, mengendarai sepeda motor bersama teman-temannya dari rumahnya di Bintaro ke arah Jalan TB Simatupang.
Tak berapa lama setelah masuk Jalan Pangeran Antasari, tiba-tiba ada mobil SUV yang berhenti di depan motornya karena ada kabel fiber optik yang melintang di tengah jalan.
Sopir SUV kemudian bergerak perlahan untuk melewati kabel menjuntai, namun diduga tak menyadari kabel tersebut menyangkut di bagian atap mobil.
"Karena kabel fiber optik terbuat dari serat baja, kabelnya jadi tidak putus saat tertarik beberapa meter. Kabel berbalik ke arah belakang dan menjepret leher anak saya," ujar ayah Sultan, Fatih.
"Seketika itu juga anak saya langsung terjatuh akibat jeratan kabel," sambung dia.
Sultan yang tak sadarkan diri kemudian dilarikan ke Rumah Sakit Fatmawati untuk mendapat pertolongan pertama.
Kondisi Sultan mulai mendapat perhatian publik akhir bulan Juli, saat kasusnya mencuat ke publik dan viral, sampai akhirnya ia mengirimkan sepucuk surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo dan Mahfud MD tertanggal 2 Agustus 2023.Bali Tower bantah telah lalai
Belakangan diketahui bahwa kabel yang menjerat leher Sultan adalah milik PT Bali Towerindo Sentra Tbk atau Bali Tower.
Dalam keterangan persnya pekan lalu, kuasa hukum Bali Tower, Maqdir Ismail, menjelaskan kronologi peristiwa yang dialami Sultan versi hasil investigasi perusahaan, termasuk cuplikan video animasi yang menurutnya bisa menggambarkan kejadian saat berlangsung.
Ia menduga kabel telah terlebih dulu menyangkut di muatan truk yang dikemas terlalu tinggi hingga melebihi tinggi kabel.
Setelah tertarik oleh muatan truk, kabel meregang hingga menjuntai terlalu rendah dan kembali menyangkut pada badan kendaraan roda empat yang ada di belakang truk, sebelum terlontar dan melukai Sultan.
Maqdir membantah Bali Tower lalai dan menganggap apa yang dialami Sultan adalah murni kecelakaan.
"Ini bukan terjadi karena kelalaian kami, perusahaan secara rutin melakukan perawatan berkala untuk memastikan ketinggian kabel berada dalam kondisi normal dan tidak mengganggu lalu lintas," kata Maqdir Ismail.
Maqdir menyebutkan perusahaan melakukan perawatan berkala terhadap tiang di lokasi kejadian, dan peninjauan ketinggian kabel.
Ia memastikan posisi kabel dalam kondisi normal pada tanggal 7 dan 26 Desember 2022.'Jangan lempar batu sembunyi tangan'
Kepada ABC Indonesia, kuasa hukum Sultan, Tegar Putuhena, mengatakan saat ini kondisi kliennya mulai mengalami kemajuan.
"Sultan saat ini dirawat di RS Polri, ... ditangani oleh sekitar 40 tenaga medis yang dikerahkan untuk merawat Sultan dan dari hari ke hari walaupun sedikit, sudah ada kemajuan."
Tegar menceritakan setelah kedatangan Menko Polhukam Mahfud MD, pihak keluarga telah menyampaikan apa yang mereka inginkan.
"Yang utama adalah kesembuhan Sultan, dan yang kedua tentu saja kami minta ada sedikit bentuk pertanggungjawaban dari Bali Tower selaku pemilik kabel dan pihak Kemenko Polhukam juga akan mengupayakan pertemuan antara keluarga dengan pihak Bali Tower ... teknisnya seperti apa, kita juga masih belum tahu."
Tegar menambahkan, meski saat ini Sultan sudah dirawat dan sudah mendapat perhatian, pihaknya masih akan memperjuangkan keadilan untuk Sultan.
"Bicara soal keadilan kan bukan hanya soal itu (perawatan dan perhatian), tapi juga siapa yang bertanggung jawab yang harus hadir dan mempertanggungjawabkannya."
Tegar menambahkan, sebagai stakeholder, pemerintah Pemda DKI punya perah yang cukup besar dalam peristiwa ini, meski menurutnya Bina Marga pernah mengatakan bahwa tempat kejadian Sultan bukan wilayah kerjanya.
"Apa pun itu pemerintah harusnya bekerja secara kompak dan secara team work mencari solusi untuk masalah ini, jangan lempar batu sembunyi batu seperti yang sudah-sudah."Tanggung jawab siapa?
Sultan bukan satu-satunya korban kabel semrawut di Jakarta.
Pada 29 Juli lalu, seorang pengemudi ojek online meninggal dunia setelah koma sejak semalam sebelumnya.
Vadim, menjadi korban sambaran kabel menjuntai yang terlontar ke arahnya, saat ia melintas di kawasan Palmerah, Jakarta Barat.
"Banyak saksi yang mengatakan sebelum kena almarhum kabel tersangkut di truk depannya. Jadi kabel itu ketarik. Bentangan semakin kuat. Lalu njepret ke belakang pas kena leher almarhum," tutur Idi, kakak Vadim, kepada Tempo.
"Badan bagian luar tidak ada luka sama sekali. Jepretan kabel lebam hitam di leher. Luka parah di kepala istilahnya kayak gegar otak," tambahnya.
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti Jakarta, Niwono Joga mengatakan, dua kejadian terakhir menjadi catatan bahwa apa yang menimpa Sultan dan Vadim bisa menimpa siapa saja, baik pengguna jalan atau pejalan kaki, mengingat banyaknya kabel semrawut di Jabodetabek.
"Dan karena ini merupakan fasilitas publik, maka penanggung jawab utama harusnya ada di pemerintah daerah," kata Nirwono kepada Hellena Souisa dari ABC Indonesia.
"Karena apa? Semua kabel yang terpasang itu selalu harus melalui izin dari pemerintah daerah, artinya pemerintah pun punya wewenang untuk menindak dan memberi sanksi kepada pemilik kabel kalau ditemukan ada unsur kelalaian, membahayakan pejalan kaki atau pengendara, dan bahkan bisa mengambil tindakan ekstrem seperti pemutusan kabel," tambahnya.
Nirwono menambahkan, peristiwa yang marak belakangan ini seharusnya juga bisa menjadi momentum untuk semua pihak, termasuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menata ulang kabel-kabel yang ada ke bawah tanah.
"Sebenarnya sudah ada upaya sejak 2019 untuk merevisi Perda Nomor 8 tahun 1999 tentang jaringan utilitas."
Revisi tersebut antara lain mengatur kewajiban memindahkan kabel ke bawah tanah oleh pemilik kabel sehingga tidak membebani APBD, dan sanksi tegas pemutusan untuk penyedia jasa utilitas yang tidak mau dipindahkan.
"Hal-hal itu yang selama ini tidak bisa dilakukan karena secara teknis kita tidak punya payung hukumnya," kata Nirwono.
Jika keluarga Vadim, yang sampai saat ini tidak mengetahui siapa pemilik kabel yang menewaskannya, mengaku tidak akan menempuh jalur hukum, tidak demikian dengan Sultan.
Tegar Putuhena mengatakan, masalah kabel semrawut telah berlangsung lama dan menjadi masalah yang serius, sehingga tim kuasa hukum Sultan juga akan "mengambil langkah yang lebih serius juga, yakni langkah hukum."
"Ini bukan hanya untuk Sultan, tapi lebih supaya ada efek jera kepada pemilik kabel itu, sekaligus sebagai kritik dan protes kita terhadap pemerintah untuk lebih memperhatikan keselamatan warga."
Saat ini tim kuasa hukum Sultan tengah membangun konstruksi hukum untuk melayangkan gugatan pidana dan perdata terhadap pihak-pihak terkait.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengemudi Ojol Tewas Terjerat Kabel Semrawut di Jakbar, Telkom Harus Tanggung Jawab!