Kadek 'Jango' Pramartha, 10 Tahun Mempromosikan Budaya Bali lewat Majalah Kartun

Promosi dengan Cara Tinggalkan Majalah di Kursi Pesawat

Kamis, 24 Maret 2011 – 08:21 WIB
Kadek Pramartha menunjukkan majalah kartun Bogbog saat ditemui Jawa Pos di kantornya, sebuah ruko dua lantai di Jl Veteran, Denpasar, Selasa lalu (22/3). Foto: Gunawan Sutanto/Jawa Pos

Sebagai kartunis, Kadek Pramartha ingin total berkiprahSalah satu karyanya adalah Bogbog

BACA JUGA: Jurus Gigolo Asli Tak Laku di Bali

Itu adalah nama majalah kartun yang dia dirikan sejak 10 tahun lalu
Oleh Muri (Museum Rekor Indonesia), Bogbog disebut sebagai majalah kartun pertama yang berbahasa Inggris

BACA JUGA: Film Cowboys in Paradise Gelap

Apa yang membuat majalah itu bertahan?
 ------------------------------ --------------
 GUNAWAN SUTANTO, Denpasar
------------------------------ ---------------
Sebuah majalah Bogbog volume 9 terbitan 2010 ditunjukkan Kadek kepada Jawa Pos yang menemuinya di kantornya, sebuah ruko dua lantai di Jl Veteran, Denpasar, Selasa lalu (22/3).

Dalam edisi tersebut, Bogbog dibuat dengan cover berisi komik setrip dengan cerita seorang bule asal Amerika yang jatuh cinta pada budaya Bali
Si bule itu memutuskan untuk tinggal dan membuka bisnis pariwisata di Pulau Dewata

BACA JUGA: Cowboy Merasa Diperdaya

Si bule yang dalam cerita komik tersebut diberi nama Mr Smith itu kemudian mempekerjakan dua warga Bali untuk membantu usaha pariwisatanyaKeduanya bernama Wayan Kari dan Desak Nyoman.

Dalam perjalanan usahanya, Smith pusing bukan main ketika para karyawannya sering meminta liburMereka izin libur untuk mengikuti berbagai upacara adat di kampung masing-masing"Nah, seperti itulah karya-karya kami," ucap Kadek yang lebih akrab disapa Jango ituMenurut dia, memang begitulah kondisi masyarakat BaliMeski hidup di tengah globalisasi, sebagian orang masih memegang keteguhan adat

Melalui Bogbog, Jango ingin mengangkat budaya-budaya Bali melalui bahasa yang universal"Selain itu, kami ingin mengemas kritik sosial yang bisa dimengerti siapa saja, tapi membuat mereka yang membaca tetap tertawa," ungkapnya.  Bagi Jango, kartun merupakan bahasa universal yang efektif untuk menyampaikan sebuah pesan

Hal itu setidaknya dirasakan Jango saat mengenyam pendidikan di Univesity of Western Australia (UWA) pada 1993?1995Di tengah kuliah tersebut, dia juga diminta menjadi asisten dosen oleh Carol Waren, antropolog yang biasa melakukan penelitian di Bali

Ketika menjadi asisten dosen, Jango sering diminta memberikan materi kuliah"Waktu itu bahasa Inggris saya masih parah, sehingga saya sering menggunakan bahasa kartunSering ketika saya menjelaskan melalui kartun, mahasiswa di kelas itu malah mengerti dan mereka menikmati dengan tertawa-tawa," jelas pria 45 tahun tersebutDari situ, akhirnya dia yakin keahliannya menggambar selama ini sangat bermanfaat.

Sepulang dari Australia, Jango kemudian berupaya mewujudkan impiannya untuk membuat sesuatu dari keahliannya membikin kartun"Saya ingin bagaimana kartun menjadi suvenir Bali yang cerdas," ucap suami Putu Sefty Virgantini tersebutSejak muda Jango memang dikenal sebagai kartunisSetidaknya belasan tahun dia tercatat sebagai kartunis lepas salah satu media di Pulau Dewata

Sembari mengajak ke ruang workshop majalah Bogbog, dia mulai menjelaskan penerbitan majalah yang didirikan sejak 2001 tersebutSepulang dari Aussie, Jango tidak langsung membuat majalah BogbogDia awalnya memilih berbisnis T-shirt untuk suvenir dengan berisi aneka desain kartun bermuatan kritik sosial serta globalisme Bali.

Melalui T-shirt itu, selain bisnis, ada sisi idealisme yang ingin dicapai JangoMelalui kartun, dia dan kawan-kawannya ingin mengajak orang Bali serta masyarakat dunia melihat globalisme di BaliDia lantas menunjukkan sebuah kartun bertulisan gloBALIsme

Mantan president of Indonesian Cartoonist Association itu menyatakan, majalah Bogbog awalnya dibuat atas kefrustrasian Jango dan beberapa temannya karena usaha T-shirt-nya gulung tikar lantaran terus melambungnya harga sewa stan di Kuta.

Dari situ, Jango memikirkan bagaimana agar idealismenya tetap bisa diwujudkan hingga akhirnya terpikirlah untuk membuat majalah kartunDimulailah penerbitan Bogbog pada 1 April 2001"Kami sengaja pilih pas April MopKarena itu namanya Bogbog," ucapnya

Dalam bahasa Bali, bogbog berarti bohongMenurut Jango, ada banyak filosofi dari kata bogbogSalah satunya, dalam pandangan dia, selama ini banyak berita dan informasi bohongSelain itu, nama bogbog sesuai dengan isi majalahYakni, hampir 99 persen berisi kartun dengan kisah fiktif

Sejak awal penerbitan, segmen pasar yang dibidik majalah bulanan itu adalah turis asingTak heran, bahasa dalam Bogbog dibuat bilingual, yakni Inggris dan IndonesiaAwalnya, Bogbog dijalankan tiga kartunisSelain Jango, ada Putu Adi Supardi dan CeceriberuMulanya mereka bekerja tanpa memperoleh gajiBaru setahun setelah berjalan mereka bisa menikmati hasilnya.

Kantor redaksinya pun awalnya menumpang di rumah JangoSekarang majalah tersebut sudah punya kantor mandiri di sebuah ruko dua lantai di Jalan Veteran, DenpasarJango mengakui, sebagian pendanaan majalah itu awalnya banyak disuplai sumbangan teman-temannyaBaik sesama kartunis maupun teman Jango di luar komunitas kartun"Kan waktu itu belum dapat banyak iklan," ucapnya

Pada awal penerbitan, beberapa orang meragukan majalah tersebut bisa eksisNamun, toh akhirnya majalah berdimensi 25 x 20 itu bisa bertahan hampir 10 tahun"Keyakinan saya bukan pada banyaknya modal untuk menjalankan majalah ini, tapi pada energi positif yang kami punya," jelasnya"Perusahaan ini bukan padat modal, tapi padat kreativitas," sambung bapak tiga anak tersebut.

Tiga edisi perdana majalah itu diterbitkan secara gratisSebenarnya Jango dan teman-temannya masih ingin menggratiskan majalah tersebutNamun, kenyataannya, ketika dibagikan secara gratis, majalah itu malah tidak bisa sampai ke target market-nyaYakni, wisatawan mancanegara (wisman)Sesampai di tempat distribusi, majalah itu langsung habis diserbu tukang parkir dan pelayan hotel atau restoran tempat majalah tersebut disebar

Melihat kondisi itu, Jango mengaku senang sekaligus sedih"Senangnya ya banyak yang tertarikTapi, masalahnya, majalah ini kan kami harapkan untuk mendukung pariwisata BaliOtomatis harapannya yang membaca ya wisatawan," jelasnyaUntuk harga, majalah tersebut dulu dibanderol Rp 5.000Kini harga terakhir Rp 8.000.

Untuk mempromosikan majalah itu, Jango punya strategi menarikYakni, dia sering meminta teman-temannya yang naik pesawat terbang untuk menaruh majalah tersebut di kursi penumpang

"Saya minta kepada teman yang akan bepergian ke luar negeri atau daerah untuk meninggalkan majalah ini di kursi penumpangHasilnya ternyata efektifAda beberapa orang dari luar Bali yang menghubungi untuk berlangganan," jelasnyaKini, majalah tersebut beroplah sekitar 10 ribu eksemplarAwalnya, tiras Bogbog hanya seribu eksemplar

Dalam perjalanannya, majalah itu mengalami pasang surutPuncaknya, penurunan oplah terjadi pascabom BaliKala itu memang terjadi penurunan jumlah wisatawan besar-besaran di Pulau DewataBukan hanya Bogbog, dalam catatan Jango, setidaknya ada 10 majalah pariwisata terbitan Bali yang gulung tikar"Syukurlah kami tidak sampai gulung tikarSaya yakin itu semua berkat energi positif kami," tegasnya.

Waktu itu, semangat yang diusung awak Bogbog hanyalah bagaimana membuat Bali tetap tersenyum dan bangkit.Pascatragedi kelam tersebut, Bogbog hanya absen dua edisi alias dua bulan tidak terbitMajalah itu tetap terbit setelah di-support materi oleh beberapa orang yang peduli terhadap seni dan BaliKini eksistensi Bogbog pun tetap terjagaMajalah tersebut telah tersebar ke beberapa daerah di luar BaliBahkan, dalam catatan yang ditunjukkan Jango, ada beberapa universitas di Australia, Belanda, serta AS yang menjadi pelanggan tetap Bogbog.

Bahkan melalui brand Bogbog, beberapa orang dan instansi di Bali memberikan kepercayaan kepada JangoSelain menjalankan usaha penerbitan, Bogbog kini kerap di-hire sebagai event organizer acara tertentu"Tapi, even yang kami kemas tetap melibatkan kartun," papar pria kelahiran 21 Desember 1965 tersebut

Bahkan, Jango kini bisa mengembangkan bisnis T-shirt yang dulu gulung tikar karena tidak kuat menyewa stanDia mengaku saat ini belum berpikir untuk mengembangkan Bogbog dengan mengangkat budaya Indonesia secara umumSebab, menurut dia, untuk mengangkat budaya daerah lain, diperlukan pemahaman budaya tersebut"Kalau budaya Bali kan saya memang sudah paham," tegas pria asli Denpasar itu.

Meski begitu, kadang Jango masih kerap berkonsultasi dengan tokoh adat sebelum mengeluarkan kartun berisi kritik sosial seputar budaya BaliKini, Bogbog telah beberapa kali menjadi official magazine festival seni dan konferensi internasional yang diselenggarakan di BaliBahkan, pada 2003, majalah itu meraih penghargaan MURI sebagai majalah kartun pertama di Indonesia yang berbahasa Inggris dan berlatar belakang budaya Bali(c5/kum)

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Bali   Kartunis   Muri   Pulau Dewata  

Terpopuler