Kadin Net Zero Hub: Tanpa Dekarbonisasi Industri, Indonesia Sulit Mencapai Target NDC

Kamis, 20 Oktober 2022 – 18:55 WIB
Kadin Net Zero Hub menyatakan bahwa tanpa dekarbonisasi industri, Indonesia sulit mencapai target NDC. Foto: Dokumen pribadi Yusrizki

jpnn.com - JAKARTA – Ketua Kadin Net Zero Hub (NZH) M. Yusrizki menilai dekarbonisasi industri sangat mendesak guna menyelamatkan bumi dan ekonomi bangsa. 

Oleh karena itu, Kadin Net Zero Hub berharap adanya pemahaman tepat dalam upaya mencapai agenda penurunan emisi karbon nasional yang disepakati dalam Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia. 

BACA JUGA: Lewat Cara ini, SIG Dukung Upaya Kementerian BUMN Wujudkan Dekarbonisasi 2060

Dia menegaskan tanpa dekarbonisasi industri, Indonesia sulit mencapai target NDC.  

Menurutnya, penggunaan energi fosil di sektor industri tanah air hingga kini masih sangat tinggi. 

BACA JUGA: Ketua KADIN Ajak Pengusaha Jadi Bagian dari Masa Depan Indonesia Baru

Hal itu mengacu data dari Handbook of Energy and Economy Statistics of Indonesia (ESDM, 2021).

“Penting untuk diketahui bahwa hampir 80 persen konsumsi energi sektor industri di Indonesia berasal dari batu bara, gas alam dan minyak bumi, sedangkan sisanya berasal dari listrik,” kata Yusrizki di sela-sela kegiatan “Cut The Tosh Collaboration Summit” yang berlangsung 18-19 Oktober 2022 di Jakarta. 

BACA JUGA: Yusrizki: Transisi Energi Harus Didukung Teknologi dan Regulasi 

Dengan kata lain, lanjut alumnus ITB itu, sektor industri merupakan kelompok konsumen energi fosil terbesar di Indonesia dan penyumbang emisi karbon cukup besar. 

Ketua Komite Tetap Energi Baru dan Terbarukan Kadin Indonesia itu mengatakan pada 2019, industri manufaktur dan konstruksi menghasilkan emisi sebesar 137.040 Gg CO2e, meningkat 29,5 persen dari tahun sebelumnya. 

Kenaikan emisi ini memang sejalan dengan kenaikan konsumsi bahan bakar industri, yaitu sebesar 30 persen per tahun (ESDM, 2020).

Sejalan dengan kenyataan itu, industri bertanggung jawab atas lebih dari 70 persen total emisi gas rumah kaca (GRK) global, dan sektor energi menyalurkan hingga 33,19 persen emisi GRK. 

Menurut dia, Indonesia merupakan penyumbang emisi GRK terbesar ke-8 di dunia. 

“Tidak ada pilihan selain membenahi penyediaan energi di sektor industri dalam upaya pencapaian target NDC. Sekali lagi, industri bergerak dengan energi yang mayoritas berasal dari bahan bakar fosil, bukan listrik,” kata Yusrizki.

Dia menambahkan industri menggunakan listrik dan energi non-listrik dalam kegiatan produksinya. 

Pabrik-pabrik menggunakan energi fosil guna memproduksi energi secara mandiri kemudian digunakan untuk menjalankan sistem pemanas (heating), menggerakan boiler (untuk menghasilkan uap panas atau steam), sistem pembakaran, pendinginan (cooling), dan untuk memproduksikan feedstock atau bahan mentah untuk diolah menjadi produk jadi.

Yusrizki menyayangkan selama ini fokus penurunan emisi karbon nasional masih sangat terfokus kepada sektor kelistrikan, yang sebenarnya porsi penggunaannya jauh lebih kecil, yakni 24 persen dibandingkan energi fosil, 76 persen, oleh sektor industri nasional. “Tanpa pemahaman yang tepat mengenai konsumsi energi di sektor industri kita, akan sulit untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam dekarbonisasi industri,” paparnya.

Lebih lanjut dia menuturkan bahwa dekarbonisasi industri saat ini sudah menjadi agenda penting ekonomi-ekonomi besar dunia. 

Dalam konteks ekonomi, kata dia, dekarbonisasi industri memiliki makna penting selain penyelamatan bumi, yaitu penyelamatan ekonomi nasional.

Dia menyatakan dekarbonisasi industri dilakukan bukan saja untuk memitigasi dampak perubahan iklim kepada bumi.

“Namun, juga untuk memitigasi perekonomian Indonesia yang akan sangat terdampak oleh kebijakan-kebijakan perdagangan global yang akan memasukkan komponen komitmen atas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sebagai syarat,” paparnya.

Yuzrizki mencontohkan kebijakan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang disahkan oleh Uni Eropa pada tahun ini akan memberlakukan pajak tambahan bagi produk-produk tinggi emisi karbon tinggi. 

Kandungan emisi karbon termasuk jumlah karbon yang diproduksikan dalam proses produksi, sehingga produk dari negara-negara dengan tingkat emisi karbon tinggi akan dikenakan pungutan pajak tambahan. 

“Jika Indonesia tidak dapat menurunkan kandungan emisi karbon dalam produk-produk ekspornya, akan ada pajak tambahan yang harus ditanggung. Ini jelas akan menurunkan daya saing atau competitiveness produk ekspor Indonesia di pasar dunia,” pesannya.

Yusrizki menekankan faktor mitigasi perubahan iklim juga akan menjadi pertimbangan bagi investor dalam menentukan negara tujuan investasi. 

“Yang menjadi parameter baru bagi para investor global dalam menentukan wilayah tujuan investasi adalah hal-hal seperti ketersediaan energi bersih dan faktor emisi karbon dalam sistem kelistrikan (grid emission factor) nasional,” tambah Yusrizki. 

Dia menyatakan dekarbonisasi industri adalah sebuah agenda urgen bagi Indonesia. 

Sebagai catatan, saat ini grid emission factor Indonesia berada di angka 788 gram CO2e/kWh, sedangkan Thailand dan Vietnam berada di angka 549 dan 602 CO2e/kWh.

“Dalam perspektif ekonomi nasional, dekarbonisasi industri adalah aksi penyelamatan ekonomi bangsa,” pungkas Yusrizki dalam keterangan tertulisnya, Kamis (20/10). (boy/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Kusdharmadi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler