jpnn.com, JAKARTA - Ketua Komite Tetap Energi Terbarukan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Muhammad Yusrizki mengungkap pentingnya perubahan regulasi dalam rangka mendorong energi baru terbarukan (EBT) dan pada akhirnya ke transisi energi.
Yusrizki menyampaian itu saat mewakili Kadin dalam peluncuran Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2022 oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) di Jakarta, Rabu (22/12).
BACA JUGA: Yusrizki Meyakini Program Kadin Net Zero Hub Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca
“Transisi energi tidak hanya berhenti pada teknologi pembangkitan, atau bagaimana energy mix antara energi fosil dan energi EBT,” katanya saat berbicara mewakili Kadin secara daring.
Menurutnya, tidak ada yang menyangkal bahwa aspek pembangkitan punya peranan penting.
BACA JUGA: Bamsoet Sebut Kadin Berperan Penting dalam Pencegahan Korupsi di Dunia Usaha
Namun, ujar dia, kebutuhan akan pembangkitan listrik tidak berdiri dalam ruang hampa.
“Teknologi tersebut harus didukung dengan regulasi yang mendukung ekosistem transisi energi,” ungkap Yusrizki.
BACA JUGA: Lagi, Jokowi Tunjuk Luhut Amankan Proyek Energi Baru Terbarukan
Dia meyakini apabila berbicara mengenai regulasi spesifik apa yang harus diubah dan diperbaiki, asosiasi-asosiasi dan pemangku kepentingan memiliki pemahaman yang lebih komprehensif.
Terlebih lagi, lanjut dia, apabila aturan tersebut menyangkut aspek teknis atau operasional.
“Namun, sebagai perwakilan Kadin yang mengemban tugas atas transisi energi dan net zero emission, saya menekankan pada pentingnya peraturan yang memberikan korelasi antara teknologi pembangkitan dan emisi karbon yang dihasilkan,” lanjut Yusrizki.
Dalam kesempatan itu, Yusrizki menjelaskan pula mengenai pentingnya korelasi teknologi pembangkitan dengan emisi karbon.
Menurut dia, target utama transisi energi adalah menurunkan emisi karbon hingga mencapai net zero emission.
“Dalam konteks transisi, apabila kita masih memerlukan listrik dari energi fosil dengan pertimbangan security dan reliability, menurut saya, merupakan hal yang wajar dari sisi teknis,” papar Yusrizki.
Namun, lanjut dia, apabila memilki formula harga yang terhubung dengan tingkat emisi, terutama dalam siklus perencanaan ketenagalistrikan, otomatis harga tersebut tidak hanya merefleksikan kepentingan pasokan listrik, tetapi juga tingkat emisi.
Dia mencontohkan apabila Indonesia masih membutuhkan PLTU batu bara untuk alasan stabilitas sistem, maka bisa saja PLN tetap menjalankan pembangkit itu.
Namun, lanjut dia, harga listrik dari PLTU batu baru tersebut disesuaikan dengan tingkat emisi yang dihasilkan.
Yusrizky menjelaskan apabila menggunakan pola pikir seperti ini, maka tentu saja sumber-sumber EBT akan sangat bersaing dengan emission adjusted price dari PLTU.
“Saat ini harga jual listrik EBT selalu dibandingkan dengan BPP nasional atau setempat, yang kita sudah pahami bahwa BPP banyak dibentuk oleh pembangkit listrik tenaga fosil tanpa memperhitungkan emisi gas buang,” katanya.
Oleh karena itu, lanjut dia, sampai hari ini konteks perencanaan dan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan masih berpatokan kepada satu faktor, yakni harga.
“Emisi sama sekali belum diperhitungkan sebagai faktor dalam perencanaan,” lanjut Yusrizki.
Oleh karena belum terwakilinya emisi dalam siklus perencanaan infrastruktur ketenagalistrikan, Yusrizky menekankan perlunya revolusi sektor ketenagalistrikan untuk mendukung agenda transisi energi Indonesia.
“Saya yakin jika revolusi ini terjadi, maka peraturan-peraturan operasional, misalnya dalam tubuh PLN, akan beradaptasi dengan perubahan ini,” tutupnya. (boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy