Kaisar Sambo

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Jumat, 19 Agustus 2022 – 20:10 WIB
Ilustrasi - Irjen Ferdy Sambo. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Kalau Ferdy Sambo seorang kaisar, maka Putri Candrawathi adalah permaisurinya.

Kalau Menko Polhukam Mahfud MD menyebut Ferdy Sambo adalah ’raja’ yang memimpin kerajaan di tubuh Polri, maka Putri Candrawathi adalah sang permaisuri.

BACA JUGA: Soal PTDH Ferdy Sambo, Komjen Agung Bilang Begini

Papa Charlie -begitu call sign untuk menyebut Putri Candrawathi atau PC- akhirnya ditetapkan sebagai tersangka setelah main petak umpet berminggu-minggu.

Ferdy Sambo, sang kaisar, disebut memimpin sebuah organisasi besar yang menjadi bayang-bayang Polri. Konon organisasinya lebih powerful dibanding Polri sendiri.

BACA JUGA: Ferdy Sambo & Putri Candrawathi Terancam Hukuman Mati, Motif Pembunuhan Brigadir J Masih Rahasia

Organisasi klandestin ini begitu digdaya dan ditakuti karena kemampuannya mengakumulasi keuangan nyaris tidak terbatas.

Secara legal, organisasi bayang-bayang ini disebut sebagai Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Merah Putih yang dibentuk atas dasar surat keputusan petinggi Polri semasa Idham Aziz.

BACA JUGA: Trimedya Minta Polisi Lakukan Ini Agar Irjen Ferdy Sambo Dipecat

Sekarang Satgassus sudah dibubarkan begitu saja oleh Kapolri Listyo Sigit Prabowo. Akan tetapi, itu bukan the end of story, karena justru malah mejadi awal cerita yang panjang.

Publik mendesak Kapolri menjelaskan dan mempertanggungjawabkan operasionalisasi Satgassus itu. Makin ditutup-tutupi, makin liar isu yang berkembang.

Skema kekaisaran Sambo yang beredar luas di media sosial menggambarkan jaringan operasional yang dipimpin oleh Ferdy Sambo

Beberapa perwira tinggi Polri -termasuk beberapa kapolda- diduga terlibat dengan jaringan itu.

Jaringan itu diduga mengendalikan bisnis perjudian -dikenal dengan sandi 303- yang beroperasi di seluruh Indonesia

Jaringan 303 inilah yang disebut-sebut sebagai gudang uang untuk kerajaan Sambo.

Dalam skema itu tertulis secara jelas orang-orang yang disebut sebagai bandar-bandar besar. Ada nama jelas, foto, bahkan nomor teleponnya.

Beberapa orang yang dikonfirmasi membantah menjadi bagian dari jaringan itu.

Beberapa nama yang muncul dalam jaringan itu tercatat sebagai orang-orang kaya mendadak yang sering disebut sebagai ‘’crazy rich’’.

Selama ini publik bertanya-tanya dari mana orang-orang kaya mendadak itu bisa mendapatkan uang ratusan miliar dengan begitu mudah.

Dengan beredarnya skema jaringan Konsorsium 303 Kaisar Sambo, publik pun mengaitkan para crazy rich itu dengan perputaran uang haram dari judi online.

Menko Polhukam Mahfud MD menyebut Kekaisaran Sambo sebagai submabes atau Mabes Polri Bayangan yang kekuasaannya bisa lebih besar dari Mabes Polri yang asli.

Submabes itu disebut sebagai jaringan mafia di tubuh Polri. Disebut sebagai mafia karena jaringannya diduga sudah menjalar jauh masuk ke struktur-struktur penting di kepolisian.

Mahfud MD tentu tidak asal bicara. Selama ini dia paling rajin berkomentar mengenai kasus Sambo.

Tentu dia sudah mendapat izin dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang terlihat sangat gerah oleh kasus ini.

Awalnya, Jokowi masih bersemangat mengomentari kasus ini. Akan tetapi, sekarang dia sudah lelah dan tidak mau lagi berkomentar.

Jokowi sudah menjadikan Mahfud MD sebagai juru bicara yang vokal. Nyaris tidak ada hari tanpa komentar Mahfud MD soal kasus Sambo.

Dia menyalak ke sana kemari. Melempar sinyalemen submabes, lalu mengungkap motif-motif ‘’dewasa’’ di balik kasus Sambo.

Namun, Mahfud tidak menjelaskan secara terperinci apa yang dimaksud dengan kasus dewasa itu, sehingga rumor liar soal adanya cinta segitiga alias asmara terlarang dalam kasus itu menggelinding.

Tidak cukup sampai di situ, rumor itu menyebutkan Sambo terlibat skandal cinta segiempat yang melibatkan perempuan dan pria idaman lain. Walhasil, rumor tentang cinta sesama jenis juga menyeruak dari kasus itu.

Kalau tengara Mahfud MD soal submabes di Polri maupun jaringan ‘’Kaisar Sambo’’ dengan konsorsium 303 itu mempunyai unsur-unsur kebenaran, pengeroposan di tubuh Polri sudah sampai pada stadium akut.

Ibarat terkena kanker stadium empat, Polri sudah mengalami metastasis atau penularan yang menjalar ke seluruh organ tubuh yang paling vital.

Sesuai undang-undang, Polri berada di bawah kekuasaan presiden. Di era Jokowi sekarang, Polri menjadi institusi strategis yang memegang peran penting dan menentukan dalam berbagai hal.

Dahulu di era Orde Baru, Presiden Soeharto memakai Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sebagai alat kekuasaan dengan fungsi ganda yang disebut sebagai dwifungsi.

Dengan fungsi ganda itulah ABRI punya senjata untuk menjaga pertahanan dan keamanan, sekaligus terlibat langsung dalam kegiatan politik.

Di era Jokowi sekarang, Polri menjadi institusi serbaguna. Bukan hanya dwiguna sebagaimana ABRI di era Pak Harto, Polri menjadi institusi multi-fungsi yang masuk ke seluruh sektor penting.

Polri sudah menjadi institusi yang powerful dan full power, tetapi Jokowi mengalami kesulitan mengendalikannya.

Setiap institusi yang powerful selalu memunculkan sub-power di dalamnya.

Semasa ABRI sangat berkuasa di era Pak Harto, muncul polarisasi di internal ABRI dengan munculnya jenderal-jenderal yang punya basis ideologi yang berbeda.

Salah satu faksi yang mewakili arus besar di ABRI ketika itu adalah kelompok Jenderal LB Moerdani yang ketika itu menjadi Panglima ABRI. Benny -panggilan kondangnya- adalah seorang perwira intelijen yang punya pengalaman kuat di lapangan.

Leonardus Benyamin Moerdani -nama panjangnya- merupakan seorang Nasrani nasionalistis yang ditugasi oleh Pak Harto untuk mengontrol kekuatan politik Islam supaya tidak menjadi kekuatan yang merongrong rezim Orde Baru. Benny menjalankan tugas itu dengan baik.

Akan tetapi, diam-diam Moerdani juga membangung basis politik sendiri di dalam ABRI. Pengaruhnya makin kuat.

Ia membentuk jaringan tentara-tentara nasionalis yang kemudian dikenal sebagai ABRI Merah Putih. Pak Harto--jenderal yang sangat matang oleh pengalaman dan tajam penciuman politiknya—bisa mengendus manuver Benny.

Pak Harto pun memunculkan faksi baru di ABRI yang lebih berorientasi ke Islam. Muncullah faksi ABRI Hijau yang lebih islamis.

Pak Harto tahu persis bagaimana memainkan politik kesimbangan. Pak Harto tahu Benny membangun kekuatan yang punya potensi untuk membahayakan kekuasaannya.

Karena itu, Pak Harto memainkan kartu baru untuk mengimbangi manuver Benny. Power play, permainan kekuasaan, di antara dua orang itu berlangsung panas, tetapi dingin dan tersembunyi di balik pintu.

Ketika tahu dukungan dari ABRI mulai menipis, Pak Harto memainkan kartu baru, yaitu politik Islam. Maka pada akhir 1990 berdirilah Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di bawah kepemimpinan B.J Habibie.

ICMI menjadi basis baru kekuatan politik Pak Harto untuk mengimbangi kekuatan ABRI. Pak Harto memainkan politik keseimbangan dengan cermat, tetapi akhirnya terpeleset juga oleh people power gerakan reformasi 1998.

Joko Widodo sering disebut sebagai ‘’The Little Soeharto’’ atau Soeharto Kecil. Pendekatan pembangunanisme Pak Harto banyak ditiru oleh Jokowi.

Pak Harto mengutamakan pembangunan ekonomi dan meminggirkan demokrasi. Jokowi kurang lebih menempuh strategi yang sama dengan Pak Harto yang menjadikan ekonomi sebagai sumber legitimasi kekuasaan.

Pak Harto memakai ABRI sebagai basis dukungan, sedangkan Jokowi menggunakan Polri sebagai mitra kekuasaan. Bedanya, Pak Harto bisa mengendalikan ABRI dan dengan cepat mengendus faksionalisasi dan penumpukan kekuasaan yang ada di dalamnya.

Adapun Jokowi terlambat -kalau tidak bisa disebut gagal- mengendus faksionalisasi dan operasionalisasi gelap di tubuh Polri sampai meledaknya kasus Sambo.

Drama Sambo memasuki babak baru dengan ditersangkakannya Papa Charlie. Publik ingin melihat seberapa serius Polri membenahi diri.

Pertaruhan besar ada di depan mata. Dan Jokowi harus mempertanggungjawabkannya. (*)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler