jpnn.com - JAKARTA - Berdasarkan analisis atas 40 disertasi doktoral yang di diterbitkan di jurnal internasional menyimpulkan, open access dan unbundling pada pipa gas justru akan mendongkrak harga jual ke konsumen.
Demikian dikatakan Ketua Pusat Stusi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Deendarlianto dalam Seminar Nasional dengan tema Quo Vadis Tata Kelola Gas Bumi di Indonesia di Kampus UI Salemba, Jakarta.
BACA JUGA: Tarif Naik, Menhub Minta Maskapai Tingkatkan Pelayanan
"Berdasarkan hasil analisis historis di negara-negara Eropa, ternyata terdapat korelasi positif antara penerapan open access dan unbundling pada kenaikan harga gas,” kata Deendarlianto.
Lebih lanjut dikatakan, open access dan unbundling juga memicu fluktuasi dan ketidakstabilan harga jual gas.
"Di negara yang menerapkan open access dan unbundling, kenaikan harga jual gas ditentukan oleh mekanisme pasar, sehingga menyebabkan fluktuasi yang memicu ketidakstabilan harga,” kata Deen.
Kondisi fluktuasi ini semakin parah manakala dipicu kondisi abnormal seperti musim dingin yang ekstrem, serangan teroris dan lainnya. “Fakta yang ditemukan, pada tanggal 1 Januari 2014, Amerika Serikat mengalami musim dingin yang ekstrem dan membuat harga gas melonjak drastic,” Deendarlianto menambahkan.
Sementara, berdasar hasil analisis ilmiah pada negara–negara yang tidak menerapkan open access dan unbundling, misalkan Rusia dan Thailand, ternyata harga gas justru jauh lebih murah dibandingkan negara yang menerapkan open access dan unbundling.
Untuk kasus Rusia, negara yang termasuk pemilik cadangan minyak dan gas bumi lima terbesar dunia, temuan dari ahli energi UGM ini menunjukan bahwa Rusia melakukan ekspor gas ke Eropa dengan harga yang tinggi, karena terindeksasi dengan harga minyak.
Kemudian keuntungan ekspor ini mensubsidi harga gas domestik sehingga menjadi lebih murah. Harga gas di Rusia tidak ditentukan mekanisme pasar tapi ditentukan oleh pemerintah. Fluktuasi harga pun tidak terjadi pada negara yang tidak menerapkan open access.
BACA JUGA: Tiket Pesawat Naik Rp 50-60 Ribu, Menhub: Itu Tidak Berat
“Harga gas di negara yang tidak menerapkan open access dan unbundling terbukti lebih stabil”, kata Deen.
Deendarlianto menambahkan, Indonesia masih miskin infrastruktur gas, terbukti dari hasil pengukuran indeks infrastruktur gas Indonesia yang dilakukan oleh Pusat Studi Energi UGM. Indeks panjang jaringan gas bumi di Indonesia hanya sebesar 6,4 km/m2. Indeks infrastruktur ini merupakan perbandingan antara panjang pipa dengan luas area.
“Dibandingkan dengan negara tetangga, Indonesia masih tertinggal jauh. Kita hanya memiliki sekitar 6,4 km/m2 pipa gas, sedangkan Thailand indeks infrastrukturnya mencapai 11 km/m2 dan Malaysia sebesar 19 km/m2,” katanya.
Indonesia, kata Deen, masih memiliki pekerjaan rumah besar untuk merealisasikan pembangunan infrastruktur gas bumi dalam rangka memperluas dan meningkatkan pemanfaatan gas bumi domestik.
Jobi Triananda, Direktur Pengusahaan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGN),menyebutkan, saat ini Indonesia hanya memiliki sekitar 12 ribu km pipa gas atau baru 20 persen dari seluruh panjang pipa yang direncanakan dalam Rencana Induk.
Salah satu penyebab terhentinya pengembangan infrastruktur gas, menurutnya, adalah aturan tata kelola gas bumi yang menimbulkan tidak sinkronnya pasokan, infrastruktur dan pasar.
“Pasokan Gas Bumi dialokasikan kepada pihak yang tidak memiliki infrastruktur, sehingga pengembangan ke area baru menjadi terhambat” kata Jobi.
BACA JUGA: Kemenhub Lantik Hermanto Dwiatmoko Jadi Direktur Perkeretaapian
Menurutnya, lambatnya pengembangan infrastruktur gas inilah yang kemudian memicu ekspor gas karena produksi gas bumi tidak dapat menunggu, harus dialirkan segera setelah proses produksi berjalan. (sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... PGN Resmikan Proyek Jaringan Gas Rumah Tangga di Tangerang
Redaktur : Tim Redaksi