Kajian InterCAFE: Rakyat Makin Terpuruk

Jumat, 20 Februari 2009 – 20:32 WIB

JAKARTA - Hasil kajian lembaga penelitian International Center for Applied Finance and Economics (InterCAFE) menemukan sejak empat tahun terakhir, Indonesia telah kehilangan satu fundamental ekonomi terpentingnya, yaitu stabilitas.

“Paket kebijakan yang diterapkan tidak tepat, ujung-ujungnya tingkat penderitaan rakyat makin dalam.Terutama dalam satu tahun terakhir ini,” kata Direktur InterCAFE, Iman Sugema kepada wartawan, Jum’at (20/2) di Jakarta.

Ciri-ciri tidak adanya stabilitas itu, lanjut Iman, tingginya tingkat inflasi, nilai tukar rupiah yang buruk, cadangan devisa menukik tajam, penurunan harga sama“Muaranya tingkat kesengsaraan masyarakat makin besar,” ujarnya.

Berdasarkan catatan InterCAFE, inflasi pada 2005 yang sebesar 18,3% merupakan tertinggi sepanjang 10 tahun terakhir

BACA JUGA: Juga Bahas Pencurian Ikan

Kemudian, dilanjutkan dengan kolapsnya bursa saham sebesar 60%
Bahkan saat ini, nilai tukar rupiah juga sudah menembus angka psikologis, yaitu Rp12.000 per dollar AS, sementara intervensi oleh Bank Indonesia yang menggunakan cadangan devisa terus dilakukan

BACA JUGA: ICW Kecam Kejagung

Akibatnya, cadangan devisa sudah tertelan di pasar valuta lebih dari USD10 miliar.

Mestinya, menurut Iman, situasi ini tidak terjadi mengingat modal yang digunakan pemerintahan sekarang, sangat bagus
Pada tahun 2004, katanya, “inflasi sedang turun, suku bunga terkendali, dan bursa saham terjaga.”

Bahkan, Bank Indonesia juga mencatat bahwa kegiatan usaha telah mengalami penurunan pada kuartal keempat tahun lalu

BACA JUGA: RI -Thailand Godok MoU Energi

Pada kuartal pertama tahun ini, kondisi tersebut akan berlangsungPemutusan hubungan kerja secara massal, makin dekat.

Situasi ini, ekonom dari InterCAFE, Nunung Nuryantono menekankan, jumlah orang yang terkena PHK dalam situasi sekarang sangat besarAlasannya, daya beli masyarakat sedang mengalami penurunan, sehingga barang produksi akan mengalami penumpukan“Nah, kalau sudah begitu, pengusaha akan banyak PHK buruhnya,” ujarnya.

Akibat dari semua ini semakin jelas, indeks kesengsaraan rakyat atau yang bisa dikenal dengan sebutan misery index, meningkat tajam dibandingkan tahun 2004 yang hanya 16,3% pada DesemberBulan yang sama tahun lalu, sudah melonjak sampai 19,4%.

Dengan gamblang, Nunung menegaskan bahwa angka tersebut menunjukkan posisi rakyat terus terpojok, sementara pemerintahnya tidak jujurDi antara buktinya, negara surplus berasFaktanya, harga beras di pasar justru mahal“Begitu juga dengan minyak goreng yang diiklankan sudah turun, tapi tetap tinggi harganyaIni sudah tidak masuk logika,” tandasnya.

Lebih jauh, Direktur Megawati Institut, Arif Budimantan menilai, krisis yang terjadi sekarang lantaran Indonesia berkiblat pada ekonomi neoliberalisme, yang mengacu pada Amerika SerikatBahkan ketergantunganSehingga, ketika negara tersebut mengalami krisis, Indonesia langsung terkena dampaknya.

Arif juga memiliki penilaian sama, bahwa pilihan yang akan diambil pengusaha adalah perampingan, dengan mengurangi ongkos produksiKaryawan akan menjadi objek pertama, yaitu terkena PHK“Ini semua akan memberikan kontribusi kepada angka kemiskinanJika dikatakan menurun sangat ironi, mengingat faktanya justru sedang sulit,” paparnya.

Beban rakyat juga semakin dalam, lanjut Arif, karena harga kebutuhan pokok terus naikDalam catatannya, harga beras pada dari tahun 2004 hingga 2008, justru mengalami kenaikan dua kali lipat“Kalau pemerintah bilang ada surplus, omong kosong!”

Parahnya, lanjut Iman, pemerintah tidak siap mengantisipasi sejak awal krisis terjadi di Amerika SerikatBanyak ekonom yang bilang, termasuk pemerintah, Indonesia tidak akan terpengaruhFundamental ekonomi Indonesia cukup kuatFaktanya, “Kondisinya jadi jauh lebih buruk.”

Terbuai dengan penilaian yang salah itu, pemerirntah jadi lengahAkhirnya, tidak ada rumusan atau antisipasi kebijakan mengatasi pengangguranAnggaran pun tidak disiapkan untuk atasi krisis.

Hal ini, menurut Iman, menunjukkan dua hal : pemerintah tidak peduli dengan situasi yang dialami rakyat, atau salah membuat kajian sehingga terapi yang dikeluarkan pun tidak tepat.

“Lihat saja stimulus ekonomi, yang sebagian besar hanya untuk saving pajakPadahal yang dibutuhkan adalah bagaimana ekonomi bisa bergerak secara langsung, misalnya lewat konsumsi,” ujarnya(fas/JPNN)

BACA ARTIKEL LAINNYA... SBY-Abhisit Sepakat Tingkatkan Kerjasama Perdagangan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler