Kakao Anjlok, Petani Makin Sulit

Rabu, 29 September 2010 – 17:42 WIB
JAKARTA - Ketua Asosiasi Kakao Indonesia, Ir Zulhefi Sikumbang mengatakan merosotnya nilai jual kakao satu bulan terakhir hingga ke level Rp15 ribu per kilo, lebih disebabkan banyak faktorYaitu kian merosotnya kualitas biji kakao produksi petani Indonesia dan pemberlakuan Bea Keluar (BK) kakao oleh pemerintah dengan indeks 5 sampai 15 persen, serta membanjirnya produk kakao dari Afrika.

Khusus terhadap kualitas biji kakao Indonesia yang saat ini berada di pasar kata Zul, sudah berada di titik terendah dengan bean count rata-rata 125/100 dari patokan standar 110/100, kadar kotoran dari 3 persen menjadi 8 persen dan endapan jamur dari 3 persen naik menjadi 7 persen.

"Kalau pemerintah punya niat baik terhadap petani kakao, maka inilah waktunya bagi pemerintah untuk menolong mereka dengan cara (untuk sementara) membebaskan bea keluar kakao hingga petani akan menerima harga jual kakaonyo sebesar Rp21 ribu per kilo

BACA JUGA: BNI Juga Gandeng Medco E&P

Kalau keputusan pembebasan BK kakao tidak diambil oleh pemerintah maka petani harus menerima harga kakao Rp15 ribu per kilo dan sebentar lagi kita akan saksikan petani akan memusnahkan pohon kakao dan mengganti dengan tanaman lainnya," kata Zulhefi, di Jakarta, Rabu (29/9).

Tapi pemerintah terkesan untuk tetap memberlakukan BK kakao tanpa memikirkan kesulitan petaninya dalam menghadapi musim yang tak menentu ini
"Dalam prakteknya, ada dua hal pokok yang menyebabkan petani kakao meradang, pertama, akibatnya rendahnya mutu kakao terjadi pemotongan harga mencapai US$250 per ton, setara dengan Rp2.250.000,- dan kedua, pemerintah tetap memberlakuan BK

BACA JUGA: Matahari Buka 12 Hypermart Baru

Jelas pemotongan sebesar itu secara signifikan sangat mempengaruhi pendapatan petani kakao
Sebaliknya, bagi petani dan pedagang yang memiliki kakao dengan standar mutu terpenuhi, mendapatkan tawaran harga justru diatas harga pasar yakni Rp25 ribu per kilo, jelas Zul.

"Pada sektor industri pengolahan, mereka lebih mengutamakan biji kakao yang berkualitas baik untuk menghasilkan produk olahan yan bermutu tinggi

BACA JUGA: Sudah Tembus 3400, IHSG Bisa Sentuh 3500

Untuk menjaga konsistensi kualitas biji kakao yang bermutu itu kita tidak lagi bisa melepaskannya pada petani dengan segala keterbatasan keahlian yang mereka miliki," tegas Zulhefi.

Menurut dia, seiring dengan perubahan alam yang cendrung ekstrim akhir-akhir ini, secara empiris berpengaruh besar terhadap penurunan kualitas produk biji kakaoJika melihat pada locus permasalahannya, untuk memproduksi biji kakao berkualitas internasional tidak hanya bisa meletakan kesalahan semata-mata ada di tingkat petani"Kebijakan pemberlakuan BK secara kaku pun punya andil besar merugikan petani kakao," tegasnya.

Terkait dengan BK Kakao, lanjutnya, dalam banyak kesempatan Askindo sudah menyampaikan masukan terhadap pemerintah tentang kelemahan kebijakan BK yang diberlakukan"Askindo bahkan meminta waktu penundaan BK enam bulan untuk sosialisasi kebijakan tersebut," kata Ketum Askindo, Zulhefi.

Ada sejumlah ketidakadilan dalam BK kakao itu, antara lain dalam penghitungan tarif BK dilakukan dengan mengikuti patokan harga internasional yang menggunakan mata uang Dollar Amerika"Akibatnya tarif BK juga mengikuti naik turunnya harga pasar dan juga kurs nilai mata uang rupiah terhadap Dollar AmerikaSehingga tarif BK menjadi tidak terukurBagi pebisnis tentunya ketidak-pastian ini menjadi biaya tambahan yang harus diperhitungkan."

Lalu soal indeks tarif BK mulai dari 5 persen, 10 persen dan 15 persenItu kami nilai terlalu jauhPerbedaan prosentase ini mengakibatkan selisih tarif yang cukup tinggiBagi eksportir untuk meminimalisasi resiko ketidakpastian, maka potongan harga yang dikurangkan adalah resiko tertinggi.

"Kedua permasalahan tersebut di atas, mengakibatkan ketidakpastian dalam penetapan tarif BKBisa saja tarif BK bulan ini sebesar 5 persen tetapi bulan berikutnya bisa ditetapkan 15 persenUntuk itu kami mengusulkan supaya penetapan tarif dilakukan dengan menggunakan mata uang rupiah, dan ditetapkan secara spesifik (tidak berubah-ubah), yaitu maksimum BK adalah Rp1.000, per kilo," jelasnya(fas/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kadin Diminta Fokus Bangun Daerah


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler