Kalah-Menang Konvoi Motor Keliling Kota

Jumat, 11 Juli 2014 – 06:43 WIB
Suasana acara nobar pertandingan antara timnas Belanda melawan Argentina di sebuah kafe di Ambon, Kamis dini hari. Foto: DIAR CANDRA/JAWA POS/JPNN.com

Kekalahan timnas Belanda dalam adu penalti melawan Argentina di semifinal Piala Dunia Brasil, Kamis dini hari(10/7), tidak menyurutkan dukungan warga Ambon, Maluku, kepada Arjen Robben dkk. Memang, ada hubungan historis yang amat dekat antara warga Maluku dan Negeri Kincir Angin itu.
 
DIAR CANDRA, Ambon
 
Ferry Manuputty sudah merasa kecewa menjelang laga semifinal antara Belanda versus Argentina Kamis dini hari (10/7). Sebab, keinginannya untuk membeli jersey timnas Belanda sebelum pertandingan tidak terpenuhi. Tidak ada satu pun kios jersey sepak bola di Ambon Plasa yang biasanya menjual banyak kostum timnas Oranje yang masih punya stok hari itu. Semua ludes.
 
"Mereka bilang sejak Selasa (8/7) jersey Belanda habis. Kalau ada, tinggal yang orisinal dan harganya mahal. Saya ingin beli yang KW-1 buatan Thailand saja," kata Ferry kepada Jawa Pos (Induk JPNN.com).
 
Pernyataan Ferry itu dibenarkan, Fingky, salah seorang pedagang di Ambon Plasa. Menurut dia, jersey timnas Belanda memang paling laris selama perhelatan Piala Dunia berlangsung. Di kios Fingky, yang banyak dipajang adalah kaus timnas Belanda, mulai yang orisinal dengan harga termahal sampai KW-3 (kualitas nomor tiga) yang termurah. Jersey orisinal dibanderol Rp 500 ribu"Rp 600 ribu per potong. Kualitas KW-1 dihargai Rp 170 ribu"Rp 180 ribu. Lalu, KW-2 dihargai Rp 110 ribu"Rp 100 ribu dan paling murah KW-3 Rp 70 ribu.
 
"Paling laris yang KW-1 dan KW-2. Dalam sehari bisa laku 15"20 potong. Kalau Belanda main, bisa terjual sampai 30 potong sehari," ucap pria Manado itu.
 
Fingky membeberkan, para pembeli rata-rata punya jersey lebih dari satu. Yakni, seragam kandang dan tandang. Finky yang berjualan jersey tim-tim sepak bola di Ambon Plasa sejak 2008 mengaku penjualan tahun ini merupakan yang terbanyak.
 
"Mungkin karena Belanda mainnya bagus sehingga ikut menaikkan omzet saya tahun ini," ujar Fingky yang lantas menjelaskan bahwa jersey KW-1 sampai KW-3 dia peroleh dari distributor di Tanah Abang, Jakarta.
 
Bukan hanya jersey, Fingky juga menjual syal, bendera, topi, serta tas timnas yang berlaga dalam Piala Dunia 2014. Selama sebulan pelaksanaan Piala Dunia, omzet Fingky mencapai Rp 60 juta"Rp 70 juta. "Ya, ini berkah Piala Dunia. Kalau hari-hari biasa, ya tidak tentu," ungkapnya.
 
Menurut Ferry, menonton laga Belanda dengan mengenakan jersey timnas asuhan Louis van Gaal itu "wajib" hukumnya. Bapak dua anak itu pun tidak pernah absen mengikuti acara nonton bareng (nobar), terutama saat timnas Belanda bertanding. Ada beberapa titik nobar di Ambon yang dipenuhi warga. Antara lain, Kafe Bagadang dan Kafe Blitz di Jalan Diponegoro. Tapi, yang paling banyak digelar di kampung-kampung. Sejauh ini, Ferry berpindah-pindah tempat nobar. Mulai di dekat tempat tinggalnya di Karangpanjang hingga di Jalan Diponegoro.
 
Menurut dia, yang membuat dirinya selalu ingin menyaksikan Piala Dunia dengan nobar adalah atmosfernya yang seru. Sorak sorai dan celetukan penonton mewarnai sepanjang pertandingan. Apalagi, setelah pertandingan, biasanya pendukung tim yang menang merayakan dengan berkonvoi keliling kota.
 
"Terlebih kalau Belanda yang menang, pasti konvoinya lebih ramai di jalan-jalan. Sayangnya, hari ini (Kamis kemarin, Red) Belanda kalah di semifinal oleh Argentina. Jadi, pawai pun tak seramai pas Belanda menang," tutur pria 35 tahun yang mengaku memiliki darah Belanda dalam tubuhnya itu.
 
Perayaan dengan arak-arakan kendaraan terbesar, ungkap Ferry, terjadi ketika Belanda menang atas Meksiko di babak 16 besar. Belanda yang sempat tertinggal 0-1 akhirnya bisa membalik keadaan dan menang 2-1 lewat gol Wesley Sneijder dan penalti Klaas Jan Huntelar. Warga Ambon pun tumpah ruah menggeber kendaraan mereka sambil membunyikan klakson keras-keras.
 
Seingat Ferry, ribuan orang tumplek blek di jalan-jalan utama Kota Ambon. Rutenya mulai Jalan Diponegoro, Jalan A.M. Sangaji, Tugu Trikora, Jalan Sam Ratulangi, sampai Lapangan Merdika. Daerah di pinggiran kota juga tidak kalah meriah. Misalnya, di kawasan Passo dan Tulehu.
 
Nobar Kamis dini hari kemarin juga sangat ramai. Ribuan anak muda sudah bersiap merayakan kemenangan tim favorit masing-masing. Bukan hanya pendukung timnas Belanda, para suporter tim Tango Argentina juga tidak kalah banyak. Karena itu, sejak sore aparat kepolisian berjaga-jaga di sejumlah titik keramaian untuk mengantisipasi segala kemungkinan.
 
Namun, lantaran pagi itu Belanda kalah, konvoi pendukung timnas Oranje tidak seberapa banyak. Apalagi pertandingan tersebut berlangsung hingga matahari terbit. Meski begitu, tetap saja ada yang merayakan kekalahan Belanda dan kemenangan Argentina. Seorang di antaranya adalah Martin Sapulete.
 
"Saya penggemar Lionel Messi dan Barcelona. Kalau negara, saya jagokan timnas Belanda, baru Argentina. Tapi, karena Belanda kalah, saya ikut konvoi Argentina," ucap pemuda Ambon itu.
 
Selain Belanda, kata Martin, ada empat timnas yang punya banyak fans di Ambon. Yakni, Brasil, Argentina, Jerman, dan Portugal. Setiap tim-tim tersebut menang, selalu ada pendukungnya yang berkonvoi keliling kota.
 
Menurut Wenas Tangkilisang, pelatih PPLP Maluku, cerita soal fanatisme masyarakat Ambon terhadap timnas Belanda memang ada sejak dulu. Setidaknya sejak Piala Dunia 1974, yakni ketika Belanda dikalahkan Jerman di final.
 
"Dulu kami dengar siaran radio BBC dari gelombang SW. Kalau Belanda main, yang dengarkan sangat banyak. Biasanya kumpul di rumah Bapak Raja (setingkat lurah atau kepala desa, Red) untuk mendengarkan ramai-ramai," tutur pria berusia 68 tahun itu.
 
Seingat Wenas, konvoi-konvoi setelah Belanda menang baru ada pada Piala Dunia 2006 atau ketika Piala Dunia berlangsung di Jerman. Fanatisme pendukung Belanda di Ambon meningkat tajam dalam satu dasawarsa terakhir. Misalnya, yang terlihat pada Piala Dunia 2014.
 
Wenas mengungkapkan, yang juga menarik adalah ekspresi warga Ambon dalam mendukung tim kesayangannya. Tidak lagi didominasi pendukung timnas Belanda, melainkan juga timnas-timnas lainnya. Hal itu bisa dilihat dari kibaran bendera negara favorit mereka di depan rumah. Pada era Wenas dahulu, 70-an sampai 90-an, hanya beberapa orang yang berani mengibarkan bendera negara lain di Ambon. Maklum, pada masa Orde Baru, mengibarkan bendera selain Merah Putih bisa ditangkap dengan alasan subversif. Kini bendera Belanda, Argentina, Jerman, dan Brasil banyak dijumpai di sudut-sudut Kota Ambon.
 
"Setelah kerusuhan 1999, semua membaik. Kondisi kehidupan antarumat beragama makin bagus. Gesekan tak separah dulu. Bahkan, kini saya katakan Ambon begitu damai," tutur Wenas.
 
Pria berdarah Manado-Maluku itu juga memahami dukungan fanatik warga Ambon kepada timnas Belanda karena banyak saudara mereka yang tinggal di Belanda. Ibarat Makkah yang menjadi jujukan umat muslim untuk berziarah, sebagian orang Ambon harus bisa ke Belanda untuk menjenguk tanah leluhur mereka.
 
Sayangnya, meski punya fanatisme tinggi untuk sepak bola dunia, Ambon tidak memiliki klub besar yang muncul dalam peta sepak bola profesional Indonesia. Menurut Wenas, PS Ambon yang punya banyak pemain bertalenta sering salah urus. Terutama dalam bidang manajemen.
 
Akhirnya, pemain-pemain berdarah Ambon lebih terkenal sebagai pemain klub kota lain. Wenas menyebut Ferrel Raymond Hattu yang besar bersama Persebaya Surabaya. Juga, Ronny Pattinasarany yang ngetop ketika membela Warna Agung Jakarta.
 
"Sebetulnya fanatisme itu kalau dikelola baik-baik hasilnya luar biasa. Terbaru, masyarakat Ambon sedang demam film soal bola, Cahaya dari Timur: Beta Maluku. Di warung kopi atau di mana pun semua bicara soal film itu," ungkap Wenas. (*/c5/ari)

BACA JUGA: Jokowi Tiga Kali Telepon Hanya Minta Doa Restu

BACA ARTIKEL LAINNYA... Anindito Respati Giyardani Penemu Tongkat Narsis alias Tongsis


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler